BAB 1

682 31 0
                                    

Sakura tidak pernah berfikir akan menikah muda di umurnya yang baru menginjak 20 tahun. Menurutnya itu terlalu dini, Sakura belum puas menikmati masa mudanya. Apalagi setelah tau calon suaminya mempunyai fisik yang lemah.

Pernah, Ia mengancam kedua orang tuanya jika terus memaksa Sakura menikah, maka ia lebih baik mengakhiri hidupnya. Meskipun begitu, ancamannya tidak membuahkan hasil. Nyatanya pernikahan ini tetap berjalan dengan baik hingga Sakura sah menjadi seorang istri dari Keivan Mahendra.

Dipaksa untuk tersenyum itu sangat menyiksa. Ini yang tengah di alami Sakura. Melempar senyuman manis dan menyapa satu persatu tamu undangan di pernikahan mereka.

Dimana Keivan? Seharusnya mempelai lelaki berada di sampingnya ikut serta senyum ramah menyapa, tetapi kenyataannya sisi sampingnya kosong tidak berpenghuni. Setelah ijab kabul, lelaki itu langsung diberi jeda untuk istirahat, meninggalkan Sakura dengan ribuan tamu undangan.

"Selamat ya Sakura, udah sold out aja," ledek Yura teman semasa sekolah. "Aku denger-denger suami kamu tampan yah?" Kepalanya bergerak menolah-noleh mencari hingga tanpa sadar Sakura mendengus sebal.

Sakura akui. Keivan cukup tampan baginya. Bahkan saat pertama kali melihat ketika akan ijab kabul, Sakura terpana beberapa detik sebelum sadar bahwa lelaki itu mempunyai kekurangan yang membuka Sakura sebal jika ingat. Belum apa-apa, Sakura sudah berfikir bahwa mungkin sisa hidupnya yang tersisa adalah menjadi seorang budak perawat lelaki tampan penyakitan seperti Keivan.

"Biasa aja," jawab Sakura lalu kembali melanjutkan menyapa tamu-tamu yang lainnya.

*
"Ini terakhir kamu manja sama Bunda," ucap Nami sang Ibundanya. Memberi suapan terakhir lalu menyodorkan air putih. Sakura menerimanya, menenggak hingga habis.

"Cape banget tau Bun, nyapa ribuan tamu kaya gini," Keluh Sakura yang hanya ditanggapi senyum ledek. "Belum apa-apa udah cape, gimana nanti kamu rawat suamimu."

Mimik wajah Sakura seketika berubah drastis. "Apa sih Bun. Siapa juga yang mau ngerawat dia. Kan bisa cariin perawat khusus. Jadi aku engga usah repot-repot."

"Hush, terus apa gunanya kamu jadi istrinya."

"Aku engga minta diperistri kan," balas Sakura tidak mau kalah, berakhir mendapatkan sentilan di dahinya. Sakura mengaduh sakit.

"Sana bersih-bersih, setelah itu langsung naik lantai dua, temui suamimu. Dia sedang ditemani Ibunya sambil nunggu kamu dateng gantiin."

"Maksudnya apa nih. Gantian sift buat rawat dia. Ogah banget!"

"SAKURA!"

Sakura sengaja sedikit berlama-lama di kamar mandi agar ada waktu untuk istirahat. Mengusap sabun muka di kulitnya dengan pelan dan lembut, kapan lagi coba. Mungkin kegiatan sepele seperti ini akan jarang ia lakukan hari kedepannya gara-gara si Keivan itu.

Setelah selesai dengan kegiatan di kamar mandi. Sakura berdiri depan lemari bingung memilih baju yang tepat.

"Sakura!"

"Ish," dengusnya kala mendengar teriakan sang Ibunda di balik pintu kamar. "Sabar Bunda." Menarik satu kaos putih dengan celana bermotif kotak-kotak. "Mandi aja lama banget," sembur Nami saat Sakura sudah membuka pintu.

"Keringetan Bunda."

Sang Ibunda menuntun Sakura menuju lantai dua. "Masuk gih." Sang empu yang disuruh diam tak bergeming. "Bunda engga ikut masuk?" Malah bertanya dulu.

"Buat apa Bunda ikut masuk. Sana! Di dalam kan ada Ibu Amira nanti kamu bisa ngobrol-ngobrol."

Sakura memutar bola matanya. Siapa juga yang mau ngobrol. Niatnya masuk, menyapa, lalu tidur. Dan satu lagi, abaikan mahluk suaminya itu. "Iya iya." Meraih kenop pintu dengan hati-hati.

Sakura menongolkan kepalanya, di ikutti seluruh bagian tubuhnya dengan gerakan pelan. Dilihat, sang Ibunda Keivan yang tengah duduk di tepi ranjang. "Eh, Sakura, sini," perintahnya. Sakura berjalan kikuk menghampiri.

"Wangi banget, habis mandi yah?"

"Hehe iya Bun," jawab Sakura sopan. Bola matanya bergerak turun. Melihat pada sesosok lelaki yang tengah terbaring dengan-hah! Dia tidak salah lihat kan?

"Setelah ijab kabul. Keivan ngeluh kalau badannya sakit semua. Ini buat duduk aja Keivan engga mau." Sakura menatap bergantian lelaki itu dengan sang mertuanya. "Makanya Ibu bantu Keivan minum pake dot biar gampang airnya engga meluber kemana-mana," ucap Amira menjelaskan begitu melihat raut terbingungnya sang mantu.

Sumpah, Sakura lumayan syok. Keivan terlihat santai tidak merasa malu dan terganggu dengan kehadirannya. Jakunnya bergerak menenggak air putih di dalam dot. Amira mengelap ujung bibir anaknya itu setelah selesai lalu tersenyum manis kepada Sakura. "Gapapa, nanti kamu juga terbiasa kok."

"Sakura udah makan?" Tanya Amira berusaha mengajaknya mengobrol untuk menghilangkan rasa canggung antara mereka.

"Iya udah." Sakura sedikit kepo, mengintip untuk melihat Keivan yang ternyata juga tengah menatapnya. Dengan cepat Sakura memutuskan kontak mata. Tapi sayangnya, sekali mengintip. Sakura ketagihan, seperti belum puas memandang. Benar kata Yura. Suaminya tampan.

Cuma minus sedikit. Penyakitan.

"Em Sakura, Ibu tinggal engga papa kan?" Tanya Amira begitu hati-hati. "Jika ada sesuatu yang pengen Sakura tanyain gapapa tanya aja, engga usah sungkan."

"Iya Bunda," ucap Sakura tidak tahu harus menjawab apa.

Amira mencubit pipi gembul Sakura. "Kamu cantik banget yah." Dipuji seperti itu, membuat pipi Sakura berubah merah malu-malu. "Ibu tinggal ya, tolong jagain anak manja saya."

"Mom," panggil Keivan.

Jantung Sakura mencuat, berdebar hebat. Yang dipanggil siapa kenapa malah jantungnya yang berulah. Suara Kaivan sedikit berbeda, saat ijab kabul tidak seperti ini. Sekarang suaranya lebih berat dan jelas, begitu enak di telinganya. Sakura please deh, jangan karena suara yang diidamkan dirinya sejak dulu ada di Keivan, kau mulai menyukainya. Ingat, hari kedepannya lelaki itu akan menjadi beban bagi hidupnya.

Tapi Please ini kalau di ajak sleep call enak banget.

Mungkin suaranya begitu karena efek Keivan baru bangun tidur. Wah, bayangkan. Sakura akan mendengar suara candu itu saat bangun tidur nanti setiap harinya. Apa tidak mampus dia.

"Ada apa?"

"Bantalnya tidak enak." Iya bergerak sebagai tanda protesnya. Sakura hanya diam, memperhatikan interaksi anak dan Ibu itu.

"Keivan kamu kan sudah punya istri, kenapa tidak minta bantuannya istrimu saja," gerutu Amira. Keivan menatap Sakura sekilas tapi mampu membuat Sakura keringetan.

Sakura melirik Ibunda Amira yang tengah tersenyum padanya. "Bunda titip," ucapannya lirih menunjuk menggunakan dagu kearah Keivan. "I-ya," jawab Sakura, seperti tidak ada kosa kata lainnya.

Sakura bergerak menghampiri, sedikit membungkuk. Dengan jarak sedekat ini, tercium bau mint segar dari tubuh Keivan. Sakura menumpuk beberapa bantal. "Nyaman nggak?" Keivan hanya mengangguk saja.

Amira tidak bisa menahan senyumnya untuk merekah. Sebelum benar-benar menarik kenop pintu. Amira bersuara, "Udah cuaca hujan gini bakal dingin Ra. Keivan rapuh banget kalau soal dingin. Di bawah lemari ada beberapa kaos kaki sama jaket tebal. Nanti kamu inisiatif buat makein ya. Takutnya si Keivan masih malu-malu mau minta tolong sama kamu."

"Iya."

Tebak. Berapa kali dia hanya menjawab 'iya'

To be continued....

KEIVANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang