Chapter 4

76 10 2
                                    

Suasana di bar terasa penuh hiruk-pikuk. Musik keras mengalun dan suara tawa temannya mengisi udara. Namun, Alvano hanya duduk terpuruk di sudut, matanya kosong menatap gelas wine yang berisi setengah minuman. Garry duduk di sampingnya, mencoba mencari cara untuk menghibur Alvano, tetapi tampaknya semua usaha terasa sia-sia.

"Vano, ayo dong. Kita harus bersenang-senang. Jangan terus-terusan kayak gini," ujar Garry dengan suara lembut. Dia tahu betapa hancurnya hati Alvano, tetapi dia ingin temannya merasa sedikit lebih baik.

Alvano hanya menggelengkan kepala. "Aku benci dia, Gar. Kenapa dia bisa selingkuh? Apa semua yang kita lalui selama ini nggak berarti buat dia?" Suaranya bergetar, dan rasa sakit di hatinya seakan kembali menghantam.

Garry menarik napas dalam-dalam. "Kadang orang berbuat kesalahan, Vano. Mungkin dia memang salah, tapi kamu nggak bisa terus menyalahkan diri sendiri. Kamu sudah berusaha sekuat mungkin."

"Berusaha sekuat mungkin? Untuk apa? Supaya dia pergi ke orang lain?" Alvano menatap Garry dengan mata berkaca-kaca. "Aku udah muak dengan semua ini."

"Kalau begitu, kita fokus ke hal lain. Sekarang, kamu bisa buktikan bahwa kamu lebih baik tanpa dia," Garry berusaha memberi semangat. Dia tahu Alvano adalah orang yang kuat, meskipun saat ini dia terlihat rapuh.

Alvano terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Garry. "Kamu selalu ada buat aku, ya?"

"Iya, selalu," jawab Garry sambil tersenyum. Dia berusaha keras untuk menyembunyikan rasa cemas yang mulai tumbuh di dalam hatinya.

Beberapa saat kemudian, Nara dan Tarendra datang menghampiri mereka. "Eh, Vano, kenapa kamu cemberut mulu? Kita kan di bar, harusnya bersenang-senang!" ujar Nara sambil mendorong bahu Alvano.

"Dia lagi galau, Nara. Kamu jangan bikin dia tambah stres," kata Garry, berusaha melindungi Alvano dari lelucon yang mungkin menyakitkan.

"Ah, masa sih? Coba kita ajak joget! Pasti bisa bikin mood kamu balik!" Tarendra menyodorkan tangan ke arah Alvano, mengundangnya untuk bergabung.

Alvano menatap teman-temannya sejenak, lalu menghela napas. "Oke deh, coba aja." Meski masih merasa berat, dia berusaha tersenyum dan berdiri. Garry mengikutinya, merasa sedikit lega melihat Alvano mencoba.

Mereka berjalan ke area dansa, dan Garry berusaha menggeser perhatian Alvano dari kesedihannya. Mereka mulai bergerak mengikuti irama musik, tawa dan gerakan tubuh mereka mulai menghangatkan suasana hati Alvano.

Setelah beberapa menit, Alvano merasa sedikit lebih baik. "Kamu tahu, Gar. Mungkin ini yang aku butuhkan. Hanya bersenang-senang dengan teman-teman."

"Kan aku udah bilang!" Garry tertawa, senangnya melihat Alvano sedikit lebih ceria. Namun, saat Alvano berbalik untuk mengambil minuman, pandangan Garry tertangkap oleh sosok yang tak asing.

Aurora berdiri di ujung bar, tertawa bersama Chandra, tampak bahagia seolah tak ada yang terjadi. Rasanya jantung Garry terhenti sejenak. "Vano," bisiknya, menunjuk ke arah Aurora.

Alvano berbalik dan melihat Aurora. Ekspresinya langsung berubah, gelas minumannya terjatuh dari tangannya, pecah berkeping-keping di lantai. "Dia di sini?!"

Garry merasakan ketegangan di antara mereka. "Vano, tenang. Jangan buat masalah."

"Aku mau bicara sama dia," ujar Alvano tegas, langkahnya beranjak menuju Aurora tanpa menunggu respon dari Garry.

"Alvano, jangan!" Garry berteriak, tetapi Alvano sudah terlanjur melangkah maju. Dia tahu ini akan menjadi konfrontasi yang tak terhindarkan.

Alvano menghampiri Aurora dengan mata penuh emosi. "Aurora, kita perlu bicara."

Unspoken HeartBeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang