Prolog

1 0 0
                                    

“Aku ingin menikahi mu.”

Aku tersenyum miris. Pernikahan adalah hal tak pernah aku pikirkan selama ini. Aku bukan takut menikah, hanya saja aku merasa belum waktunya untuk aku sampai ke jenjang sana.

"Tidak, mas. Aku masih memiliki tanggung jawab yang ngga bisa aku tinggalkan."

Laki-laki itu terdiam mendengar jawabanku. Aku sempat merasa khawatir, tapi semoga saja dia bisa menerima jawabanku dengan lapang dada.

Aku baru mengenalnya beberapa waktu lalu secara virtual. Lebih tepatnya laki-laki itu yang ingin berkenalan denganku. Tetanggaku berperan penting dalam pengenalan kami karena dia yang memberikan nomor ponselku padanya.

Sejak aku lulus sekolah dua tahun lalu, aku hanya memfokuskan diriku pada karir dan tanggung jawabku sebagai tulang punggung keluarga. Selama itu aku sama sekali tak menjamah dunia asmara dengan seorang pria manapun. Mungkin pernah, tapi tidak bertahan lama karena memang fokusku bukan ke arah kesana.

Usiaku baru menginjak 19 tahun. Di saat temanku yang lain melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, aku justru memilih untuk bekerja untuk bertahan hidup di dunia yang amat keras ini. Sementara laki-laki itu 5 tahun lebih tua dari aku. Masa main-mainnya mungkin sudah cukup makanya beberapa kali sempat mengajakku untuk naik ke jenjang lebih serius.

"Biar aku yang menggantikannya."

Aku terkekeh kecil. Orang waras mana yang mau setengah hidupnya dihabiskan untuk membantu orang yang sama sekali tak menguntungkan untuknya?

"Kamu sudah bertemu dengan ibu?" tanyaku mengalihkan topik.

"Iya. Aku sudah bertemu dengan ibu, dan sepertinya beliau cukup menyukaiku," balasnya dengan bangga.

Aku bergumam setuju. Ibu juga mengatakan hal yang sama. Beliau bilang kalau mas Rio ini adalah laki-laki baik dan terlihat sangat bertanggung jawab. Jarak rumah kami memang tidak begitu jauh, hanya berbeda desa saja makanya laki-laki itu bisa datang ke rumah untuk menemui ibuku. Aku yang mengenalnya lebih dulu malah belum bisa bertemu dengan mas Rio, justru ibu ku lah yang lebih dulu bisa melihat wajahnya secara langsung.

"Ibu pasti membicarakan perihal tanggung jawabku 'kan?"

"Untuk melunasi hutang ayah dan sekolah adikmu, bukan?" sahutnya yang ku balas dengan gumaman pelan.

Ayahku pergi merantau ke luar kota 4 tahun lalu saat aku masih duduk di bangku SMA kelas 10. Awalnya semua berjalan baik-baik saja, hutang ayah perlahan terbayar meski sedikit-sedikit, pun dengan biaya anak-anaknya yang bisa terpenuhi dengan selamat. Tapi semua itu hanya berlangsung beberapa bulan saja, bahkan tidak sampai satu tahun. Ayah tiba-tiba hilang kabar.

Di saat seperti itu lah ibu mulai kewalahan untuk bernegosiasi dengan orang yang kami hutangi itu. Melihat itu aku tentu tidak tega, akhirnya dengan aku yang sebagai tameng, ibu berkata pada mereka bahwa aku lah yang nanti akan menanggung jawab semuanya. Ibu meminta keringanan waktu sampai aku lulus sekolah. Mereka awalnya tidak setuju karena aku masih butuh waktu dua tahun lagi untuk bisa bekerja. Tetapi akhirnya dengan kemurahan hati salah satu anggota keluarga mereka, kami pun mendapat keringanan itu.

"Ibu tidak bilang berapa nominal hutang ayah, tapi apakah kamu bersedia kalau aku ingin ikut membantunya?" ujarnya dengan suara tegas.

Aku mendesis kesal. "Berhentilah bergurau mas, hutang ayah bukanlah uang yang sedikit!" sentak ku tanpa sadar.

"Aku serius, Kansa! Untuk apa aku bercanda? Aku niat memperistri kamu yang itu artinya semua masalahmu akan jadi masalahku juga."

Aku terenyuh mendengar suaranya yang juga ikut meninggi, tapi bukan itu yang sedang aku pikirkan. Entah kenapa mendengar kalimatnya barusan membuat hatiku sedikit bergetar. Perasaan yang sempat ingin aku kubur dalam-dalam perlahan mulai mekar kembali seperti sedia kala.

Ya, aku memang mencintai laki-laki ini. Perasaan yang tidak seharusnya aku miliki, tapi malah aku rawat dengan baik di sini. Aku tak memiliki alasan yang berarti kenapa aku bisa mencintainya. Kami bahkan belum pernah bertemu. Hanya bermodalkan ponsel. Katakan saja kalau ini adalah cinta paling gila, tapi aku benar-benar merasakannya sekarang.

"Mas...."

"Aku ngga pernah bercanda sama perasaanku, Sa."

Helaan napas pelan lagi-lagi keluar dari mulutku. "Biar besok aku bicarakan dengan ibu perihal ini, mas," tandasku.

Entahlah, aku tidak yakin benar-benar bisa melakukannya besok. Belum menyampaikannya saja aku sudah bergetar sendiri membayangkannya. Aku paham betul ibu itu seperti apa.

***

Designing Happiness Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang