Selepas pulang bekerja aku segera membasuh tubuhku agar bisa cepat beristirahat. Hari ini pekerjaanku tidak begitu menumpuk, tapi badanku sangat terasa lelah sekali. Itu semua karena pikiranku yang seolah ditindih dengan puluhan ton beban berat, membuat hariku jadi melelahkan seperti ini.
Rambutku tergelung bersama dengan handuk agar airnya bisa sedikit terserap pada kain berbulu itu. Tubuhku bergetar karena kelaparan. Sejak pagi sampai sekarang jam sudah menunjukkan pukul 8 malam aku sama sekali belum menyentuh nasi.
Segera aku ambil sepiring nasi panas yang baru aku masak sebelum aku mandi tadi. Lauknya seadanya karena nafsu makan ku pun ikut berkurang kalau sedang banyak pikiran seperti ini.
Usai menghabiskan makanan aku segera meraih ponsel yang tadi ku lempar asal ke atas kasur.
"Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikumsalam, Kansa. Ada apa, nak?"
Aku menghubungi ibu tanpa mengabari beliau terlebih dahulu. Sebenarnya ada sedikit rasa takut untuk membahas soal kemarin, tapi kalau tidak segara dituntaskan akan semakin berat pikiranku nanti.
"Ibu sehat 'kan?" tanya Kansa basa-basi.
"Alhamdulillah sehat. Kamu sudah makan, sayang?"
"Sudah Bu, baru saja selesai."
Aku bercerita sedikit tentang pekerjaanku hari ini kepada ibu sambil menyiapkan keberanian untuk bicara.
"Oh iya, Sa mumpung kamu telpon ada yang mau ibu bicarakan sedikit sama kamu."
"Kansa juga mau bilang sesuatu Bu, tapi ibu duluan saja."
Kansa sedikit bernapas lega, ia masih memiliki kesempatan selagi ibunya itu berbicara. Aku menunggu dengan sabar, tapi ibu tak kunjung bicara sampai beberpa menit telah berlalu.
"Ada apa, Bu?" tanyaku dengan rasa tidak sabar.
"Nak, ada seorang pria yang datang ke rumah kita sore tadi."
Aku sontak mengernyitkan alisku. "Siapa?"
"Teman ibu."
"Teman?"
"Sebenarnya ibu baru mengenalnya sebulan yang lalu, dan ini pertama kalinya kita bertemu."
Tenggorokanku rasanya seperti tercekat, aku sudah mencerna kemana arah pembicaraan ini aku berlabuh. Ibunya masih dalam proses bercerai dengan ayah, bahkan surat dari pengadilan agama pun belum keluar. Tapi....
"Katakan dengan jelas, Bu," ucapku dengan nada tegas berusaha menyembunyikan lara yang hampir menggebu-gebu.
"Ibu mau menikah lagi, Kansa."
Tes
Lapisan bening yang sejak tadi ku tahan agar tak jatuh akhirnya tak lagi sanggup menahan diri. Aku menangis. Perasaanku campur aduk, aku sampai bingung bagaimana caranya aku mendefinisikan luka ini.
Aku menjauhkan ponselku yang sejak tadi menempel di pipi. Sebisa mungkin aku segera menetralkan getaran suaraku agar ibu tak mengetahuinya.
"Kansa?" panggilan ibu masih bisa ku dengar walaupun tidak ku louds speaker.
"Mba Rina sudah tau?" tanyaku spontan setelah berhasil memanipulasi gejolak perih di dada.
Ibuku memiliki tiga orang anak yang semuanya perempuan. Aku adalah anak tengah, sekaligus anak yang bisa dikatakan paling mengenal ibu dan paling dikenal ibu. Mendengar ibu akan menikah lagi tentu aku sangat kecewa. Di depan sana, aku ngga tau akan ada badai yang seperti apa. Aku... Pikiran buruk ku sudah terlalu jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Designing Happiness
General FictionDasar bahagia itu apa? Uang? Kekayaan? Atau apa? *** Ketika ayahmu membuatmu trauma karena ketidak hadirannya dalam hidupmu dan ibumu membuatmu trauma karena kehadirannya bersamamu. *** 07/11/2024