#3

219 166 45
                                    

💝🍂☘️🍂☘️💝

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

......
💝🍂☘️🍂☘️💝

"Kadang melepaskan dan melupakan itu bukan tentang melarikan diri dari kenangan. Mungkin kamu hanya perlu merelakan dengan cara mengikhlaskan."
- Dinda Elmira -

.
.
.
.


Flashback off

Tak terasa hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang menyusup melalui jendela yang terbuka sedikit. Dulu ketika ia dan Raka masih bersama, hujan adalah momen favorit mereka untuk bertukar cerita. Dengan secangkir kopi hangat dan sebuah selimut tebal, mereka menghabiskan malam berbicara tentang mimpi-mimpi, ambisi, bahkan hal-hal kecil yang hanya mereka pahami. Namun kini, aroma itu hanya mengingatkannya pada kenangan-kenangan yang terasa seperti mimpi yang tak pernah terwujud.

Dan berhentinya hujan mampu menyadarkan kembali dirinya yang terlalu lama tenggelam dalam jurang masa lalu. Tak kunjung abis berputar dalam pikirannya. Puzzle kenangan itu terangkai menjadi satu.

Sedangkan dering ponsel di atas meja juga mampu mengalihkan atensinya. Tertera nama seseorang yang selalu ada di sampingnya. Dinda Elmira, sahabat Risa sejak di bangku SMA.

"Halo kenapa Din," tanya Risa langsung kepada sang penelepon itu.

"Dimana sih? Ini sudah mau maghrib loh Sa. Pulang ya," terdengar suara khawatir dari Dinda ketika menanyakan keberadaannya.

"Kafe biasa. Nanti," jawab Risa singkat.

"Aku ke sana ya. Tunggu jangan kemana-mana," ucap Dinda yang terdengar seperti nada perintah sebelum akhirnya memutuskan panggilannya.

Risa hanya menggelengkan kepala. Bingung akan tingkah sahabatnya itu. Bukannya Ia yang menyuruh dirinya untuk pulang, lalu mengapa Ia malah akan menyusul ke kafe.

Sambil menunggu kedatangan sahabatnya, Risa kembali menghisap kopinya. Kopi yang sedari tadi mengepul itu kini berganti menjadi dingin bersamaan udara yang menguar di sekitar.

Dan tak butuh lama, Dinda datang. Suara lembut menyapanya dari belakang.

"Sendirian lagi?"

Risa mendongak, menemukan Dinda berdiri di sana dengan senyum hangat yang khas. Sahabatnya itu langsung duduk di seberangnya tanpa menunggu undangan, dengan gaya santai yang sudah sangat Risa kenal.

Risa tersenyum tipis. "Iya, lagi ingin sendiri sebentar."

Dinda mengangguk sambil menatap Risa lekat. "Dan aku datang merusak kesendirianmu, begitu?" candanya.

Risa hanya tertawa kecil, meski matanya masih terlihat sayu. "Nggak apa-apa, kok. Malah aku senang kamu datang."

Dinda menarik kursi lebih dekat, menatap Risa dengan sorot mata serius. “Aku tahu kamu belum sepenuhnya baik-baik saja, Sa. Meskipun kamu sudah banyak berubah, aku bisa lihat kalau kamu masih menyimpan sesuatu.”

Risa terdiam, pandangannya teralihkan pada cangkir kopi di depannya. "Aku… masih mencoba, Din. Walaupun kadang aku merasa sudah kuat, tapi ada saat-saat di mana rasa itu datang lagi tanpa bisa dicegah."

"Rasa apa?" tanya Dinda pelan, penuh perhatian.

“Rindu,” jawab Risa lirih.

“Aku rindu pada Raka, pada semua mimpi yang pernah kami susun bersama. Meskipun aku tahu dia sudah nggak ada di sini, rasanya ada bagian dari diriku yang tetap ingin dia ada di sampingku. Aku masih… takut kalau aku nggak pernah bisa benar-benar melepaskan" lanjutnya.

Dinda meraih tangan Risa, menggenggamnya erat. "Sa, rasa rindu itu wajar. Kamu mencintainya dengan tulus. Tapi kamu juga harus ingat bahwa kamu berhak menemukan kebahagiaan lain. Aku yakin Raka juga ingin kamu bahagia.”

Risa menatap Dinda dengan mata berkaca-kaca. "Kadang aku berpikir… bagaimana jika semua kenangan ini memang harus kubiarkan saja, bukan untuk dilupakan, tapi untuk dikenang dengan cara yang lebih sehat? Mungkin bukan Raka yang harus kulepaskan, melainkan cara pandangku terhadap kenangan itu."

Dinda tersenyum bangga. "Itu pemikiran yang bagus, Sa. Kadang melepaskan dan melupakan itu bukan tentang melarikan diri dari kenangan. Mungkin kamu hanya perlu merelakan dengan cara mengikhlaskan semua yang udah terjadi dan menerima bahwa kenangan itu akan selalu ada tanpa harus menghalangi langkahmu ke depan."

Risa mengangguk pelan. "Aku berusaha, Din. Aku berusaha untuk nggak terus-terusan tenggelam dalam rasa kehilangan. Aku salah terlalu berharap padanya untuk masa depan."

Dinda menatap Risa dengan rasa kagum yang tak disembunyikan. "Aku bangga padamu, Sa. Nggak semua orang bisa sekuat kamu. Jadikan dia motivasi, bukan beban diri."

Risa tersenyum samar, lalu menatap Dinda. "Kamu nggak bosan dengerin aku curhat soal ini terus, Din?"

Dinda tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Kalau aku bosan, aku nggak mungkin duduk di sini Sa. Lagipula, siapa lagi yang bisa tahan dengerin semua ocehan mu kalau bukan aku?”

Keduanya tertawa bersama, tetapi tawa itu segera memudar, berganti dengan keheningan yang lebih lembut.

"Sa, ingat nggak waktu kamu pertama kali cerita tentang Raka?" tanya Dinda, senyumnya samar namun penuh makna.

"Waktu itu, aku bisa lihat betapa bahagianya kamu. Bahkan, aku sampai iri karena kamu ketemu orang yang bisa buat kamu tertawa sebebas itu. Mencintainya dengan sepenuh hati itu bukan sebuah kesalahan. Karena terkadang hidup nggak sesuai harapan," lanjut Dinda, matanya menatap langit-langit kafe seakan dirinya flashback ke masa lalu.

Risa menatap sahabatnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Kamu selalu punya jawaban untuk semuanya, Din. Kadang aku pikir kamu ini bukan manusia biasa," ujarnya sambil tersenyum kecil.

Dinda tertawa, kali ini lebih keras. "Aku cuma manusia biasa yang kebetulan punya sahabat yang luar biasa. Dan sekarang, aku cuma berharap bisa sedikit membantu meringankan bebanmu."

Risa merasa hangat mendengar kata-kata itu, seolah beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia meraih tangan Dinda, menggenggamnya erat. "Terima kasih, Din. Aku nggak tahu harus bagaimana kalau nggak ada kamu."

Dinda mengangguk pelan. "Ingat Sa, setiap kali kamu merasa terjatuh aku ada di sini buat bantu kamu berdiri lagi. Kamu boleh jatuh, kamu boleh lelah, tapi jangan pernah menyerah. Raka sudah pergi, tapi kamu masih punya hidup yang panjang untuk dijalani. Dan kamu masih punya banyak mimpi untuk diraih."

Suasana kembali hening sejenak, namun hening yang terjadi di antara mereka terasa hangat. Kehadiran Dinda menjadi semacam pengingat bahwa Risa tidak sendirian dalam perjalanan ini. Meskipun kehilangan Raka masih terasa menyakitkan, dukungan dari sahabatnya memberi kekuatan baru yang tak ternilai.

Beberapa saat kemudian, Dinda menatap Risa dengan tatapan penuh semangat. “Kamu tahu Sa, aku ada ide gila.”

Tanpa mereka sadari sepasang mata yang menatap keduanya dengan sendu. Dibalik tembok yang menjadi pembatas, ia sandarkan tubuhnya yang lesu itu setelah mendengar percakapan keduanya. Sejenak ia pejamkan matanya, menikmati bulir demi bulir yang turun dari kelopak matanya. Setelah itu bola matanya terbuka lebar, menatap ke bawah sedangkan tangannya meremas kuat rambut yang kini semakin berantakan.

"Beginikah rasanya dicintai dengan hebat oleh seseorang? Maafkan aku," ucapnya lirih pada diri sendiri.
____________

Ide gila apa ya kira-kira?

Menurut kalian yang sembunyi dibalik tembok siapa???

Yuk jangan lupa tinggalkan jejak kalian buat votmen
Next??

Langit yang Tak Kembali (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang