Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malam yang semakin larut dan dengkur halus milik Johnny merupakan hal pertama yang Jehian lihat begitu kesadarannya kembali mencuat ke permukaan.
Tubuh yang dibalut kaos hitam kebesaran dan celana cargo diatas lutut Jehian gerakan menjadi posisi setengah duduk, menjadikan dipan kasur sebagai sandarannya.
Labium tipisnya mendesah nyeri ditengah usaha tangan kanannya yang memijat perlahan dada kirinya yang mulai munculkan rasa sesak seolah oksigen berlari menjauh dari sekitarnya.
"Inhale, exhale come on Yan." lirih Jehian.
"Come on please." tangannya masih setia mengurut pelan sisi tubuhnya yang ciptakan rasa sakit, dan kalau sudah begini painkiller jadi satu satunya jalan untuk Jehian tetap bisa bertahan.
Sayangnya, jangankan untuk mengambil botol obat yang Jehian sembunyikan dibalik tumpukan pakaiannya, untuk dirinya menarik nafas saja Jehian sudah kewalahan sendiri.
"Inhhh," adam's apple di tenggorokan Jehian bergerak pelan meneguk liur guna mencari sisa kekuatan, punggung yang semula bersandar perlahan ia angkat sepelan mungkin, menghindari si sulung terbangun dari tidur lelapnya.
Masih dengan debaran jantung yang menggila di dalam tubuhnya, Jehian berhasil melangkah perlahan menuju koper yang sejak awal sengaja diletakan tepat disamping sisi kasur yang ditempatnya.
Tangan yang bergetar coba Jehian masukan ke dalam pakaian, mencari dimana gerangan botol botol menunjang hidupnya berada.
Sampai tiga botol dengan dua warna yang berbeda berhasil di dapatkannya, membuka salah satu untuk Jehian ambil isinya dan meminumnya langsung tanpa bantuan air.
Dan membiarkan semilir angin sejuk airconditioner menghapus peluh yang membasahi sekujur tubuhnya, pun matanya perlahan terpejam kembali menjemput kantuk setelah lagi lagi berhasil melawan maut.
Sampai pagi tiba Jehian masih setia terlelap bersandar pada nakas kecil disamping kasur, Johnny yang lebih dulu bangun sedikitnya dibuat terkejut juga heran.
"Je," panggil Johnny, telapak besarnya menepuk perlahan pualam berisi Jehian yang terasa dingin di kulitnya.
Mungkin dampak tertidur di atas lantai dengan pakaian tipis tanpa adanya selembar selimut yang membungkusnya.
"Jehian," sekali lagi Johnny memanggil, pun tangannya masih setia menepuk pualam sang adik untuk bangun dan kembali tidur diatas kasurnya.
"Jehian Suh you hear me? Dek, adek?"
Rasa panik yang sempat singgah perlahan sirna begitu kelereng hitam Jehian terlihat.
"Abang,"
"Kamu ngapain tidur di lantai sih? Bangun, terus lanjut tidur dikasur buru."
"Sampe dingin gini coba, ada ada aja kamu."
Senyum tipis munculkan sepasang lubang di wajah Jehian, cukup merasa tersentuh dengan gerutuan penuh kekhawatiran yang kakak sulungnya ungkapkan.
Bahkan dari sejak Johnny memanggil namanya, sampai tangan sehangat matahari pagi menepuk pelan pipinya Jehian sudah sepenuhnya terbangun hanya matanya yang enggan Jehian buka karna pening yang menyerang kepalanya tanpa peringatan.
"Abang," lirih Jehian masih cukup mampu di dengar Johnny yang masih setia berdiri dihadapan sang adik.
"Apa? Kamu butuh apa?"
"Maaf kalo ngerepotin, tapi boleh tolong ambilin air anget?"
"Kamu pindah dulu ke kasur, baru abang ambilin air anget buat kamu."
"Boleh sekarang aja ngga bang? Janji abang balik aku udah di kasur."
"Oke fine abang ambilin sekarang, kamu butuh apa lagi?" kepala Jehian menggeleng pelan guna beri jawaban atas tanya yang Johnny berikan.
Dan begitu figur si sulung menghilang, Jehian kembali mengeluarkan satu butir painkiller untuk kembali ia telan. Lalu selanjutnya tubuhnya Jehian tenggelamkan dibalik selimut, mencoba kembali terpejam tanpa peduli seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamar kakaknya.