Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ada banyak tanda tanya yang tersarang di kepalanya, pun banyak keraguan yang silih berganti datang dan pergi dalam relung hatinya.
Inginnya Calvin rengkuh tubuh kembarannya yang sudah lebih tinggi darinya, inginnya pula ia goda remaja serupa dengan dirinya seperti dulu kecil supaya rona mewah menghiasi wajah putih pucat dengan sedikit cacat di kedua sisi pipinya.
Tapi egonya setinggi burj khalifa, daging tak bertulangnya jauh lebih tajam dari sembilah pedang yang selalu diasah pemiliknya.
Kakinya bahkan bergerak lebih cepat daripada isi kepalanya, menendang figur yang bersembunyi dibalik selimut tebal kakak sulungnya, dibandingkan harus memanggil Jehian dengan cara yang lebih manusiawi.
"Bang John mana?" tanyanya datar, usai menendang punggung Jehian yang buat pemiliknya bangkit perlahan.
Wajah kuyu jadi yang pertama tertangkap matanya, sekalipun kamar si sulung masihlah redup karna cahaya yang enggan masuk ke dalam. Calvin masih bisa merekam bagaimana figur Jehian kesulitan hanya untuk sekedar bangkit.
"Abhhh abang ke dapur,"
Calvin enggan berlama lama disana, kakinya yang sudah melangkah sampai diambang pintu kembali berbalik, "Lu kapan balik?" tanyanya.
"Aku cuman sebulan kok disini, kamu tenang aja." Jehian diatas kasur membalas tenang, tak ada gurat sedih maupun kecewa atas tanya yang Calvin berikan.
Pada dasarnya Jehian cukup tau diri untuk tak berlama lama tinggal dirumah orang tuanya, karna sejak awal tak pernah ada satu tempat yang mereka berikan untuk Jehian seorang.
"Bagus lah."
Punggung Calvin telah menghilang, berganti figur Travis yang datang bersama nampan berisi mangkuk yang mengepulkan asap lembutnya, lampu yang dinyalakan sang kakak buat Jehian mengerut kening kesilauan.
"Kata abang kamu sakit? Kok bisa? Jetlag apa emang lagi ngga enak badan?"
Sisi kasur yang kosong telah diisi Travis yang sibuk mengaduk bubur entah hasil membeli atau racikan sendiri, meniupnya sebanyak tiga kali lalu mendorongnya tepat dihadapan labium tebalnya.
Ekspresinya dibuat bingung sejenak karna panggilan yang Travis berikan pada Calvin yang memang baru saja keluar dari kamar bersamaan dengan Travis yang datang.
"Abang kemana kak?"
"Ye lu ditanyanya apa malah balik nanya apa."
"Aku cuman minta tolong ambilin air di dapur tapi rasanya kaya bang John ambil airnya dari gunung," celotehnya pelan.
Dan berhasil membuat Travis merengut setelahnya, "Lagi ke apotik nyari obat."
Usai mengatakan keberadaan Johnny, keduanya terdiam dengan aktivitasnya masing masing. Bubur dalam mangkuk mulai hilang separuh karna Travis yang terus memaksa Jehian untuk membuka mulut.
Padahal mual terus hilang timbul buat Jehian diam diam menahan diri untuk tak memuntahkan kembali bubur yang Travis suapi, serangan pada jantungnya akan selalu membuat Jehian kepayahan.
Tapi saat ini tidak ada paman baik yang akan selalu mendengar keluhannya tentang seberapa lelahnya Jehian berjuang melawan maut yang menghantuinya sejak dua tahun yang lalu.
"Maaf kalo Je cuman bisa nyusahin kalian," lirihnya nyaris bagai bisikan yang sukar untuk terdengar.
Tapi Travis masih disana, duduk dekat dengan Jehian yang mengutarakan kalimat lirih yang Jehian bisikan sembari bersandar pada dipan kasur dengan matanya memandang sisi luar rumah dari jendela kaca yang Travis buka sebelumnya.
"Kak, boleh tolong ambilin botol obat di koper? Aku udah kenyang mau balik tidur lagi."
TO BE CONTIUNED
Buat yang menyempatkan singgah dibuku ini, terima kasih banyak 😥 aku engga nyangka kalo buku yang aku tulis ini bakal ada peminatnya bahkan sampe nunggu next updatenya, sekali lagi terima kasih untuk yang udah berbaik hati meninggalkan vote juga commentnya 🥹🩵