Apa yang kalian pikirkan saat pertama kali mendengar tentang Jawa. Priyayi? Bupati? Gamelan? Wayang? Budaya yang kental? Ya itu semua mendeskripsikan mereka yang ada di pulau itu. Jujur aku tidak pernah mencari tau tentang Jawa, orang-orang Jawa yang kabur atau bekerja ke Sumatra banyak berkata bahwa Jawa itu sangat keras, keras dalam pendidikan kebudayaan, kasta, dan etika. Sujud menyujud selalu ada di budaya mereka, entah apa yang di pikirkan orang-orang itu ketika mereka menjilati kaki pemimpin mereka. Sungguh, harga diri...
Namaku; Dirta Adi, di panggil Adi. Aku sedang berada di kapal laut barang yang bertujuan ke pelabuhan Tanjung Perak. Setelah berjam-jam ombak membawa kapal ini, sekarang pelabuhan mulai terlihat, ramai sekali di sana banyak orang-orang berlalu lalang, bahkan suara para pedagang terdengar sampai sini. Kapal singgah di dermaga, ku pijakan kaki ku untuk yang pertama kalinya di Jawa, sungguh perasaan yang tidak familiar. Ramai sekali, banyak sekali orang kulit putih di sini; Orang Eropa, dan juga para pribumi yang berlalu lalang membawa berbagai rempah-rempah, ada juga pribumi yang mengemis di pinggir pinggir gedung atau di depan warung para pedagang. Ku lihat juga ibu-ibu dengan kain batik kumuh menggendong anaknya yang sangat kurus, sangat kurus sampai tulang nya pun terlihat, ibu itu meminta air, terdengar suara orang mengusir dari balik kedai, satu sahutan- dua sahutan- tiga sahutan dan pintu terbuka dan
Byuuurrr
Ibu itu di siram oleh orang Belanda, dengan kumis panjangnya yang berwarna putih dia mencibir
"Jij aap, vernietig mijn winkel niet"
"Dasar Monyet jangan mengotori kedai ku" ucapnya lalu menutup pintu kedainya dengan keras membuat ibu dan anak itu terkejut, anak yang di gendongan nya menangis; Kedinginan, sang ibu hanya menenangkan dan kemudian pergi.Aku menunduk, kasihan tapi kakiku tidak bisa di gerakan, mungkin Allah ingin menunjukan secara langsung sikap orang berkulit putih pada kami pribumi. Wanita pribumi jawa tidak banyak melawan, mereka di lecehkan, di pukul, di jadikan dawuh, di jadikan gundik, tidak melawan. Berbeda dengan para wanita di luar, yang berani melawan para kolonial.
Contohnya seperti wanita Aceh, mereka tangguh sangat kuat dan berani maju paling depan, dengan mengucap nama Allah tuhan kami, senjata mereka angkat dan mereka pun turun dalam lautan perang. Jika mereka tertangkap, dan mereka akan di jadikan budak untuk memenuhi nafsu para pendatang, namun mereka akan terus melawan-melawan memperjuangkan harga diri wanitanya, sampai mereka mati di tembak atau mati kelaparan. Menurut mereka, lebih baik seperti itu dari pada tersentuh tangan yang kotor.
Aku terdiam cukup lama, entah harus bereaksi seperti apa setelah kejadian tadi. Ku lihat sekeliling ku penuh dengan orang-orang yang berlalu lalang. Ku langkahkan satu langkah untuk pergi dari tempat semula ku berdiri namun ada tangan yang menepuk pundak kiriku.
"Adi! Apa yang sedang kau perbuat, berdiri di sini seperti patung?" Ah- ternyata seorang pria yang berpakaian adat minang dengan kantung kresek berisi buah jeruk.
"Saya menunggu sangat lama, kau baru sampai?" Pria itu bermulut besar, tukang ngomong. Tapi dia teman ku
"Sudah jelas saya baru sampai" Aku menunjuk koper ku, pandangan dia mengikuti tangan ku lalu ke koper ku.
"Oh, haha- baiklah-baiklah" Dia mengambil satu koper ku untuk membantuku, aku tersenyum. Dia sangat baik padaku, teman ku dari kecil. Dia tinggal di Kalimantan, satu daerah dengan ku, kami suka berburu burung, Kalimantan itu penuh dengan hutan, jarak dari hutan ke perkotaan sangat jauh, kami suka sekali pulang malam dan kemudian mama akan marah-marah.
"Saya datang ke sini sekitar lima tahun yang lalu" dia bercerita, kami sedang menunggu kendaraan.
"Kau banyak beradaptasi?" Tanya ku.
"Iya, saya banyak beradaptasi dengan budaya Eropa. Bos saya orang Eropa, saya berkerja sebagai pegawai di kedai orang Belanda. Saya bisa berbicara bahasa Belanda" lanjutnya, aku terdiam sejenak dan dia melihatku.
"Coba kau bicara Belanda" Suruh ku, dan dia tertawa. "Kau meremehkan ku~" Dia tertawa lagi, seolah-olah hidupnya yang paling bahagia.
"Kent u Javaanse suiker?" Aku memasang ekspresi bingung, tapi aku paham, orang ini pasti bertanya, karena nada bicaranya seperti sedang bertanya. Lalu aku menyuruhnya melanjutkan.
"Weet je wat zoeter is dan Javaanse suiker?" Nada bicaranya bertanya lagi, sebelum aku membuka mulutku dia melanjutkan"Wat zoeter is dan Javaanse suiker is een Javaans meisje" setelah berkata itu, dia tertawa terbahak-bahak, sedangkan aku hanya terdiam dengan ekspresi bingung.
"Apa artinya?" Suaraku membuat tawanya berhenti, dia tersenyum dan menepuk pundak ku, lalu menunjuk para gadis Jawa berkain batik yang sedang menbawa bakul berisi sayuran dan buah-buahan.
"Kau tau apa yang lebih manis dari gula Jawa?" Tanyanya, mataku tertuju ke arah tunjuknya; para gadis Jawa itu, lalu dia melanjutkan "Yang lebih manis dari gula Jawa adalah, gadis Jawa" dia tertawa lagi, akupun ikut tertawa.
"Hahaha benar-benar, tak ada tandingan" balasku.
"Sini kita ke pinggir, menunggu Dokar" ajaknya dan aku mengikuti. Kami berbincang-bincang, menikmati momen kebersaan sebagai sahabat yang telah lama tidak berjumpa.
Tak lama kemudian Dokar datang dan kami menaiki nya, sopir nya membantu kami untuk menaikan koper.
"Pira regane pak? Saka Tanjung Perak nganti Solo"
"Berapa harganya pak? Dari Tanjung Perak ke Solo"
Dia bertanya, mungkin menanyakan harga dengan bahasa Jawa, aku tidak mengerti. Setelah pak tua itu menjawab, temanku memberikan uang."Lebih nya ambil" katanya lalu tersenyum. Kuda mulai jalan dan dokar pun mulai bergerak.
YOU ARE READING
Angkasa
Historical Fiction"Cintaku seluas pulau jawa, seluas pulau Sumatra, seluas pulau Kalimantan, seluas pulau Sulawesi, seluas pulau Papua, seluas Hindia Belanda, seluas Eropa, seluas bumi, seluas Angkasa" Kisah ini aku tulis, untuk mengenang perjuanganku melawan aturan...