04

80 7 0
                                    

Hilmy menggeliat ketika terdengar suara yang masuk ke telinganya. Matanya menyipit karena silauan matahari yang masuk lewat jendela. Sepertinya gorden dibuka dengan cukup kasar hingga membuat tidurnya terusik.

"Bangun, cuci muka, abis itu ke mini market." Ujar Janu, teman Hilmy sedari sekolah menengah.

Hilmy masih menyesuaikan diri dengan alam sadarnya. Kepalanya masih pusing. Mungkin dirinya akan berhenti minum alkohol mulai sekarang. Meskipun terdengar bohong.

Lelaki itu mengedarkan pandangannya dan menyadari bahwa dirinya sedang tidak berada di ruang tidurnya, melainkan ruang tamu.

"Semalem lo tidur di mana?" Tanya Hilmy.

"Kamar lah, masa di dapur."

"Lo tidur di kamar di saat gue tidur di ruang tamu???"

"Gue udah bawa lo yang teler parah itu ke rumah ini, dan protes karena tidur di ruang tamu, iya??? Harusnya gue tinggalin lo aja di starry night biar dicium sama waria-waria sekalian."

"Jahat banget..."

"Stop lebay, cuci muka sana beliin gue lemon di mini market. Gue bikinin sup hangover."

"Bisa apa gue tanpa lo" ujar Hilmy hendak memeluk Janu, namun urung karena lelaki itu mengacungkan pisau ke arahnya, "sorry..."

Setelah melakukan hal sesuai perintah Janu, Hilmy mengambil hoodienya lalu bergegas menuju mini market yang tidak jauh dari rumahnya. Hanya perlu berjalan melewati beberapa rumah, hingga satu belokan saja.

Jujur, kepalanya benar-benar pusing. Dia jadi bertanya-tanya, sebenarnya seberapa banyak yang Hilmy minum tadi malam hingga kepalanya cukup sakit. Hilmy bahkan tidak ingat apa saja yang terjadi tadi malam. Pikirnya, memang tidak ada yang melewati batas atau kejadian aneh tentang semalam karena Janu tidak mengomelinya.

Setelah melakukan pembayaran, dosen muda itu dikejutkan dengan seseorang yang mengambil antrean di belakangnya. Jantungnya berdetak beberapa kali lebih cepat karena terkejut melihat mahasiswa yang akhir-akhir ini mengganggunya, siapa lagi kalau bukan Giandra.

"Selamat pagi, Pak Dosen."

Hilmy masih menetralkan jantungnya, lantas dia menyingkir dari kasir. Dia mempersilakan perempuan itu untuk melakukan pembayaran di kasir tanpa memedulikan panggilan darinya. Tanpa disuruh pun, dia akan menunggunya untuk melakukan sedikit interogasi. Bagaimana mungkin anak muridnya itu berkeliaran di daerah tempat tinggalnya. Hilmy takut rasa suka perempuan itu padanya menjadi suatu obsesi yang tidak terelakkan. Dia hanya tidak ingin mahasiswanya melakukan hal kejahatan yang tidak dia sangka seperti stalking.

Setelah menunggu Gia melakukan pembayaran, mahasiswanya itu baru saja membuka pintu mini market dan langsung disuguhi oleh sebuah kultum.

"Gimana kamu bisa tahu tempat tinggal saya? Bahkan saya nggak pernah menyebutkan secara rinci di mana rumah saya ketika mengajar. Gimana kamu bisa tahu? Kalau saya menemukan bukti kamu melakukan stalking terhadap saya, saya nggak akan tinggal diam. Saya laporin kamu ke polisi."

Gia bingung, dia bahkan belum diberi kesempatan untuk berbicara tiba-tiba kantor polisi.

"Kenapa kamu diem aja?"

"Saya udah boleh bicara?"

"Nggak ada yang ngelarang kamu bicara."

Gia menghela napas sebentar, "oke, pertama, saya nggak stalking, jadi saya nggak tahu rumah Bapak ada di mana. Kedua, saya cuma ngelakuin sesuai perintah. Kata Kak Janu, saya harus ke sini kalau mau—"

"Gimana bisa kamu kenal Janu?"

"Bapak nggak inget semalem?" Tanya Gia.

Hilmy diam. Sebenarnya ada yang janggal ketika keduanya habis minum, tapi keesokan harinya, Janu tidak mengomel seperti biasa karena lelah membawanya dalam keadaan mabuk. Mungkin tadi, mengomel, namun biasanya lebih parah dari tadi pagi.

"Kelihatannya nggak inget, sih. Whatever, saya diharuskan ikut ke rumah Bapak sesuai kata Kak Janu."

"Apa buktinya kalau saya harus bawa kamu atas nama Janu."

"Bapak bawa HP? Tanya aja sama Kak Janu."

"Nggak, saya nggak bawa."

Tepat setelah berkata demikian, ponselnya berdering menandakan beberapa notifikasi yang dia dapat dari Janu.

Sebenarnya Hilmy sedikit canggung karena telah berbohong pada Gia, namun perempuan itu mempersilakan dosen muda tersebut untuk memeriksa notifikasi yang dia dapatkan.


Janu
|udah ketemu gia?
|kalau lo berkenan, bawa dia ke sini
|sarapan bareng


Hilmy mengalihkan pandangan dari ponsel lalu melirik Gia. Janu sialan, dia akan menghabisi lelaki itu setelah ini.

"Maaf, saya nggak bisa ajak kamu ke rumah saya. Saya nggak kenal kamu, jadi nggak ada alasan saya untuk ajak kamu."

"Okay, understandable, sih. Saya sama Kak Janu juga nggak serius kok, Pak. Saya pamit dulu kalau gitu." Jelas Gia.

Sebelum benar-benar meninggalkan mini market, dia berpesan pada Hilmy agar dosen muda mengingat kejadian tadi malam. Hal tersebut membuat Hilmy makin berpikir keras untuk berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Hingga dirinya sampai di rumah, dan bertemu dengan Janu yang baru saja selesai memasak. Lelaki itu duduk di kursi meja makan.

"Gimana bisa lo kenal sama mahasiswa gue?"

"Gia?" Ujar Janu sembari memberi Hilmy sepiring nasi, "lo beneran nggak inget semalem, Hil? Mikirin apa coba minum sampai teler gitu."

Hilmy benar-benar frustasi karena mereka terus bertanya hal yang sama, sedangkan Hilmy sama sekali tidak mengingatnya. Dosen muda itu terlihat masih berputar dengan pikirannya bahkan ketika Janu sudah pergi dari rumahnya.


***

Alunan bising musik bergema di ruang dengan pencahayaan redup tersebut. Hilmy tidak ingat berapa botol yang dia habiskan. Dia hanya mengetahui bahwa ada seorang perempuan yang berdebat dengan seseorang lainnya.

Ketika dia membuka matanya untuk melihat dengan jelas, apa yang sedang terjadi. Samar-samar terlihat perempuan yang belum lama ini ditemuinya di sekitar komplek perumahannya, sekaligus mahasiswa yang dia ajar di kamusnya.

Entah apa yang merasuki pikiran Hilmy hingga dirinya mencondongkan diri untuk mencium perempuan itu. Hingga akhirnya, Hilmy menjauhkan dirinya dengan tubuh yang masih di bawah pengaruh alkohol.

"You stole the start..."

Setelah itu Gia menarik kerah dari kemejanya dan kembali menyatukan kedua bibir mereka. Gia tidak mengambil kesempatan, Hilmy merespons dengan baik. Ciuman yang awalnya didominasi oleh Gia, kemudian diambil alih oleh Hilmy. Lelaki itu bahkan mengganti posisi dengan Gia yang bersender di bahu sofa karena Hilmy telah mendorongnya dengan perlahan.

Gia akui, ciuman Hilmy benar-benar membuatnya mabuk bahkan tanpa dirinya menegak minuman beralkohol itu.

Karena posisi keduanya yang ambigu, mereka dilerai oleh Janu. Dia takut temannya itu sembarangan mencium orang lain meskipun memang benar faktanya, namun Gia menjelaskan hingga tidak ada kesalahpahaman.

Setelah itu Hilmy mengingat sekelebat momen ketika Janu dan Gia berbincang sebelum akhirnya tidak sadarkan diri.

Mengingat hal tersebut, Hilmy langsung menjambak rambutnya karena merasa dirinya telah melalukan hal yang sangat bodoh. Dia berjanji tidak akan menyentuh alkohol lagi.

Unexpected LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang