Sejak Renjun kecil, keluarganya sudah menyadari bahwa dia bukan anak biasa. Di usianya yang baru lima tahun, ia sering berkata-kata aneh atau menunjuk ke arah yang tak dilihat orang lain. Orang tuanya, meski awalnya kebingungan, berusaha menerima kenyataan bahwa anak mereka memiliki kepekaan khusus. Mereka tahu bahwa kemampuan Renjun bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja—mereka harus belajar mendampingi dan melindungi Renjun agar ia tidak merasa sendirian dengan kelebihannya.
Suatu sore, ketika mereka sedang duduk di ruang keluarga, Renjun yang duduk di pangkuan ayahnya tiba-tiba menggenggam lengan sang ayah dengan erat. “Ayah, nanti jangan pulang lewat jalan biasa ya,” bisiknya dengan wajah khawatir.
Ayah menatap anak bungsunya dengan lembut, mengusap kepala Renjun yang bersandar di dadanya. “Kenapa, Sayang?”
“Ada sesuatu di sana… Gelap, besar...” Renjun tidak bisa menjelaskan lebih jelas, tapi matanya yang kecil memancarkan ketakutan.
Ayahnya tidak pernah mengabaikan firasat Renjun. Meskipun terlihat biasa-biasa saja di mata orang dewasa, ia tahu betapa akurat kata-kata Renjun. “Baik, Ayah nggak akan lewat sana,” ujarnya, lalu mencium kening putranya dengan lembut.
Ibu yang duduk di sebelah mereka mengusap pipi Renjun, berusaha menenangkan. “Terima kasih sudah bilang sama Ayah, Sayang. Kami selalu butuh bantuan kamu.”
Renjun tersenyum kecil, merasa dihargai meskipun masih diliputi rasa takut. Ia kemudian melingkarkan kedua lengannya ke leher ayah, meringkuk nyaman dalam pelukan itu. Ayahnya adalah tempat teraman baginya—tempat di mana segala ketakutan seolah hilang.
Malamnya, ibu menemani Renjun tidur. Ini adalah rutinitas yang sering terjadi saat Renjun merasa gelisah. Sebelum tidur, mereka punya kebiasaan membacakan dongeng bersama. Renjun selalu memilih cerita-cerita fantasi, meskipun yang ia alami sehari-hari jauh lebih aneh daripada buku mana pun.
“Kalau Renjun jadi ksatria, apa yang Renjun lakukan kalau ada monster?” tanya ibu sambil menutup buku dongeng setelah selesai membacakannya.
Renjun mengernyit sejenak, berpikir serius. “Renjun bakal bilang ke monster itu kalau dia nggak boleh nakut-nakutin orang. Kalau dia nggak mau, Renjun bakal minta tolong sama Ayah dan Abang Jeno.”
Ibu tertawa kecil dan memeluk Renjun erat. “Itu rencana yang bagus. Tapi, kamu tahu nggak, ksatria kecil? Kami selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi.”
“Benar ya, Bu?”
“Benar, Sayang.” Ibu mengecup kening Renjun, lalu menyelimutinya dengan rapat. “Sekarang tidur, ya. Besok kita jalan-jalan pagi sama Ayah.”
Renjun mengangguk pelan, lalu memejamkan mata. Kehangatan dan cinta ibunya selalu membuat malam terasa lebih ringan. Meski terkadang ia masih mendengar bisikan-bisikan aneh saat malam, dengan ibu di dekatnya, ia merasa tak perlu takut.
Keesokan paginya, mereka sekeluarga pergi ke taman kota. Ibu membawa keranjang piknik berisi bekal—nasi kepal dengan ikan teri kesukaan Renjun, roti, dan buah-buahan. Ayah menggandeng tangan Renjun sepanjang jalan, tidak pernah melepaskan genggaman itu. Mereka berjalan santai sambil sesekali berhenti untuk melihat burung-burung di pepohonan.
“Ayah, kenapa kita selalu ke taman, sih?” tanya Renjun, menengadah memandang ayahnya.
Ayah tersenyum hangat. “Karena udara di sini segar dan bikin kamu jadi lebih tenang. Kalau kamu merasa tenang, semua akan terasa lebih mudah.”
Renjun mengangguk kecil, meskipun belum sepenuhnya mengerti. Yang ia tahu, bersama keluarganya, ia merasa semua masalah jadi tak berarti.
Di taman, mereka duduk di atas tikar sambil menikmati bekal. Renjun menyuapkan sepotong buah jeruk ke mulut ibunya dengan senyum manis. “Ini buat Ibu.”
“Terima kasih, Sayang,” jawab ibu lembut, mencubit pelan pipi Renjun.
Saat itu, Jeno dan Haechan juga bergabung setelah mereka selesai berolahraga. Jeno langsung duduk di sebelah Renjun dan mengacak-acak rambutnya dengan sayang. “Gimana tadi pagi? Ada hal aneh lagi?” tanyanya, setengah bercanda.
Renjun menggeleng sambil tertawa kecil. “Nggak ada. Aman, kok!”
Haechan tertawa. “Itu artinya kita boleh main bola nanti sore, dong?”
Renjun mengangguk antusias. Ia selalu senang bermain dengan abang-abangnya, karena mereka tak pernah membuatnya merasa berbeda. Bagi mereka, Renjun bukan sekadar anak indigo—ia adalah adik kecil yang harus dilindungi dan disayangi sepenuh hati.
Saat matahari mulai terbenam, mereka pulang ke rumah dengan hati yang penuh kebahagiaan. Di perjalanan, ayah menggendong Renjun di punggungnya, sementara ibu berjalan di samping mereka sambil menggenggam tangan Jeno dan Haechan. Momen-momen sederhana seperti ini adalah harta berharga bagi mereka sekeluarga.
“Kamu tahu nggak, Renjun?” kata ayah tiba-tiba saat mereka hampir sampai di rumah. “Ayah sama Ibu selalu merasa beruntung punya kamu. Kamu itu anak yang istimewa.”
Renjun tersenyum malu, wajahnya memerah mendengar pujian itu. “Tapi Renjun nggak suka lihat yang aneh-aneh, Yah...”
Ayah berhenti sejenak dan menatap mata putranya. “Itu nggak masalah, Sayang. Yang penting, kamu selalu ingat kalau kamu nggak sendirian. Kami semua di sini buat kamu.”
Renjun memeluk leher ayahnya erat-erat, merasa sangat bersyukur. Bagi Renjun, keluarga adalah segalanya. Meski ia harus menghadapi ketakutan yang tak bisa dilihat orang lain, dengan keluarga di sampingnya, ia tahu bahwa ia selalu aman dan dicintai.
Malam itu, saat Renjun tertidur dengan damai di kamarnya, ayah dan ibu berdiri di depan pintu, memastikan semuanya baik-baik saja. Mereka saling berpandangan dan tersenyum lega.
“Renjun akan baik-baik saja,” bisik ibu sambil menggenggam tangan suaminya.
“Selama kita selalu bersamanya, dia pasti baik-baik saja,” balas ayah dengan yakin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Family
FanfictionRenjun gak pernah takut selagi ada abang juga ibu dan ayah.