Malam itu, seluruh keluarga berkumpul di ruang tamu dengan suasana penuh kehangatan dan tawa. Setelah makan malam, Ayah dan Ibu duduk berseberangan dengan anak-anak mereka, sementara Renjun duduk di antara kedua abangnya, Jeno dan Haechan.
Di tengah obrolan, Haechan mulai iseng mengusik Jeno, seperti biasanya. Sebagai anak kedua yang paling usil, Haechan tak pernah bisa melewatkan kesempatan untuk menggoda Jeno, kakak tertuanya. “Hyung, ingat nggak dulu waktu kita kecil, kamu yang selalu kabur duluan kalau ada kecoa?” goda Haechan sambil tertawa.
Jeno, yang biasanya tenang, mendelik ke arah Haechan. “Hei, itu bukan kabur! Aku cuma... memastikan kamu nggak takut duluan!” Jeno berusaha membela diri sambil pura-pura cemberut.
Ayah dan Ibu tertawa melihat tingkah kedua anak mereka, sementara Renjun ikut tersenyum mendengar cerita masa kecil abangnya. Walaupun mereka sering bertengkar kecil, Jeno dan Haechan sebenarnya memiliki ikatan yang sangat kuat sebagai kakak beradik.
Sejak kecil, Jeno selalu berusaha menjaga Haechan dan kini juga menjaga Renjun. Sebagai anak sulung, Jeno adalah sosok yang tenang dan bertanggung jawab, tetapi Haechan sering kali menantang kesabaran kakaknya dengan kenakalannya yang tak ada habisnya. Namun, Jeno tak pernah benar-benar marah kepada Haechan. Dalam diam, Jeno selalu bangga dengan Haechan yang pintar dan selalu bisa membuat suasana menjadi ceria.
Suatu kali, saat mereka masih kecil, Haechan pernah jatuh dari sepeda, dan Jeno-lah yang langsung berlari membawanya pulang meskipun harus mengangkat Haechan di punggungnya sepanjang jalan. “Hyung, kamu ingat nggak waktu kamu ngangkat aku pulang gara-gara jatuh dari sepeda? Rasanya kaya naik roller coaster, lho!” kata Haechan sambil tertawa.
Jeno mengangguk dengan senyum kecil. “Iya, itu karena kamu beratnya kaya batu!” Haechan tertawa terbahak-bahak mendengar balasan Jeno, sementara Renjun hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah abangnya.
Renjun, yang menyaksikan keakraban itu, merasa bahagia. Ia tahu bahwa kedua abangnya sangat menyayanginya, meskipun Haechan dan Jeno sering bercanda satu sama lain. Mereka memang punya cara sendiri untuk mengekspresikan kasih sayang, dan itu membuat Renjun merasa sangat aman.
“Kalau aku nanti jatuh dari sepeda, kalian mau gendong aku juga nggak, Hyung?” tanya Renjun sambil menatap mereka penuh harap.
Haechan langsung meraih pundak Renjun dan mengusap-usapnya dengan gaya berlebihan. “Tenang aja, adikku! Kalau kamu jatuh, aku nggak akan cuma gendong. Aku akan bikin kamu naik kereta kuda biar kamu pulang dengan gaya!”
Jeno menambahkan sambil tertawa, “Iya, dan Haechan pasti yang jadi kudanya!”
Semua tertawa mendengar canda itu. Suasana rumah menjadi penuh dengan tawa dan canda yang hangat, menunjukkan betapa kuatnya ikatan keluarga mereka.
Menjelang malam, saat suasana mulai tenang, Jeno menggenggam tangan adik-adiknya dengan erat. “Apa pun yang terjadi, kita ini keluarga. Kita selalu ada untuk satu sama lain, ya?” kata Jeno dengan nada serius.
Haechan dan Renjun mengangguk dengan senyum. Meskipun Haechan sering menggoda Jeno, ia tahu betapa pentingnya Jeno dalam hidupnya. Jeno bukan hanya kakak, tapi juga sosok yang selalu menjadi pelindung. Dan bagi Renjun, kedua abangnya adalah dunianya.
Ayah mengusap kepala Renjun sambil tersenyum lembut. “Renjun, kamu tahu nggak, Ayah dan Ibu selalu bangga punya anak seperti kamu. Sejak kamu lahir, kita semua berjanji untuk melindungi kamu apa pun yang terjadi.”
Lalu ayah menatap si sulung dan si tengah "begitupun dengan kalian, ayah dan ibu selalu bangga dengan kalian, terima kasih karna telah berhasil menjadi abang yang baik untuk bungsu ayah ya. Ingatlah mau sampai kapanpun ayah dan ibu menyayangi kalian sama rata, hanya caranya sedikit berbeda."
Renjun mengangguk perlahan, merasakan hangatnya perhatian keluarganya. Tiba-tiba ia merasa emosional, menyadari betapa beruntungnya dia memiliki keluarga yang begitu peduli dan mendukungnya.
Tanpa berpikir panjang, Renjun meraih tangan kedua abangnya, Jeno dan Haechan, dan berkata dengan suara bergetar, “Hyung, terima kasih udah selalu ada buat aku. Kalau aku harus melewati hal-hal sulit, aku tahu aku nggak akan pernah sendirian, karena ada kalian.”
Haechan menggenggam tangan Renjun dengan erat, matanya berkaca-kaca. “Renjun, kita ini keluarga. Apa pun yang terjadi, kita akan selalu ada di sini buat kamu. Janji abang.”
Jeno menatap Renjun dengan penuh kasih. “Dan kalau ada yang mencoba menyakiti kamu, mereka harus berhadapan dulu sama kita. Kamu aman, Renjun, selamanya.”
Malam itu, mereka saling merangkul, membiarkan momen itu menjadi bukti keabadian cinta mereka. Dalam diam, mereka berjanji untuk selalu menjaga satu sama lain, tak peduli apa yang akan datang di masa depan.
Beberapa tahun kemudian, Renjun sudah dewasa dan menjalani kehidupan barunya, namun kenangan malam itu tetap hidup di dalam hatinya. Setiap kali ia merasa rindu atau cemas, ia mengingat tawa dan pelukan keluarganya. Ia tahu bahwa meskipun jarak memisahkan mereka, cinta keluarganya akan selalu ada untuk menemaninya, seolah mereka tak pernah benar-benar jauh.
Di akhir cerita, Renjun menatap foto keluarganya yang selalu ia bawa kemana-mana, tersenyum kecil sambil berkata dalam hati, “Kita mungkin tak selalu bersama, tapi kasih sayang kalian akan selalu menguatkanku. Kalian adalah rumahku, selamanya.”
The End
Tanpa konflik karena cerita ini memang hanya untuk memanjakan Renjun. Sampai bertemu di judul lain.

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Family
Fanfiction[TAMAT] Renjun gak pernah takut selagi ada abang juga ibu dan ayah.