Pagi di rumah keluarga Renjun selalu dimulai dengan suara ceria dan hangat. Ibu sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan, sementara Ayah bersiap untuk bekerja. Di kamarnya, Renjun masih meringkuk di bawah selimut, enggan bangun. Dia selalu malas beranjak dari tempat tidur ketika udara pagi terasa dingin. Tapi suasana damai itu tak bertahan lama, karena dua sosok berisik sudah siap mengganggunya.
“RENJUUUN!” Suara nyaring Haechan bergema di kamar Renjun. Tanpa basa-basi, Haechan melompat ke atas kasur adiknya, menggoyang-goyangkan tubuh kecil Renjun yang masih tertidur.
“Aku masih ngantuk…” gumam Renjun dengan mata terpejam, mencoba mengusir Haechan dengan tangannya.
“Bangun, Adik! Nanti Ibu marah kalau kamu nggak sarapan!” tambah Jeno sambil berdiri di pintu, menyilangkan tangan di dada.
Haechan tersenyum jahil, lalu berbisik, “Atau mau kubilang sama Ibu kalau kamu mimpi ketemu hantu lagi, hah?”
Renjun langsung membuka mata dan menatap kakaknya dengan cemberut. “Hyung jahat!” protesnya.
Jeno tertawa dari belakang. “Udah, udah. Kasihan dia, Chan. Ayo, Renjun, kita sarapan bareng. Nanti aku temenin kamu ke sekolah kalau udah siap.”
“Kalau nggak siap dalam lima menit, kamu harus kubopong ke meja makan!” tambah Haechan sambil tertawa lebar.
Renjun mendengus tapi akhirnya bangun juga, meskipun dengan malas. Ia tahu kakak-kakaknya selalu ribut seperti ini, tapi mereka melakukannya karena sayang.
Di meja makan, keluarga mereka berkumpul. Ibu sudah menyiapkan roti panggang dan susu hangat, sementara Ayah menikmati kopi paginya sambil membaca koran.
“Pagi, Sayang. Kamu tidur nyenyak tadi malam?” tanya Ibu lembut, meletakkan satu piring berisi roti di depan Renjun.
Renjun mengangguk, meskipun masih sedikit mengantuk. “Iya, Bu. Nyaman banget tidur di kamar Ibu dan Ayah.”
Ayah tersenyum sambil menyesap kopinya. “Kalau kapan-kapan kamu nggak nyaman di kamar sendiri, bilang aja. Tapi jangan keseringan ya, biar kamu berani.”
Jeno dan Haechan duduk di kedua sisi Renjun, membuat adik mereka merasa dikelilingi oleh cinta dan perhatian. Sambil makan, Haechan berusaha menyuapi Renjun dengan roti.
“Ayo buka mulut, biar abang suapin. Aaa~” godanya sambil memegang roti di ujung garpu.
Renjun tertawa kecil tapi menggeleng. “Aku bisa makan sendiri, Hyung!”
Ibu tersenyum melihat ketiganya bercanda. Kehangatan dan cinta di antara mereka selalu membuatnya bangga sebagai seorang ibu.
Setelah sarapan, Haechan dan Jeno memutuskan untuk mengajak Renjun keluar bermain sebelum sekolah. Mereka tahu betapa pentingnya bagi Renjun untuk merasa ceria dan bebas, terutama dengan kemampuan indigonya yang kadang membuatnya merasa terbebani.
Di halaman rumah, Haechan membawa bola dan mulai bermain dengan Jeno dan Renjun. Meskipun Renjun bukan yang paling jago bermain bola, ia selalu bersemangat ketika bermain bersama kakaknya.
“Renjun, coba oper ke aku!” seru Jeno. Renjun berlari kecil dan menendang bola, tapi tendangannya meleset jauh dari Jeno.
“Yah, tendangan ayam!” ledek Haechan sambil tertawa terbahak-bahak.
Renjun mencibir dan menendang bola sekali lagi, kali ini tepat mengenai kaki Jeno. “Itu bukan tendangan ayam!” teriaknya sambil tertawa.
Jeno mengacak rambut Renjun dengan lembut. “Lumayan, Adik. Nanti kita latihan lagi biar kamu jadi makin jago.”
Sore harinya, setelah bermain dan makan siang, Jeno masuk ke kamar Renjun. Ia duduk di pinggir tempat tidur adiknya dan menatap Renjun yang sedang menggambar.
“Ren, kamu nggak pernah cerita, kenapa kamu takut sendirian di kamar?” tanya Jeno hati-hati.
Renjun berhenti menggambar dan menunduk. “Kadang… aku ngerasa ada sesuatu di sana. Tapi aku nggak mau bikin Ibu dan Ayah khawatir, jadi aku nggak cerita banyak.”
Jeno mengangguk mengerti. “Kamu nggak usah takut, ya. Haechan dan aku selalu ada buat kamu. Kalau kamu ngerasa ada apa-apa, langsung bilang. Kamu nggak sendirian, Ren.”
Mendengar itu, Renjun merasa sedikit lega. Ia tahu bahwa kakak-kakaknya bukan hanya teman bermain, tapi juga orang-orang yang akan selalu mendukungnya apa pun yang terjadi.
Malam harinya, setelah semua kegiatan berakhir, mereka sekeluarga berkumpul di ruang tamu untuk menonton film. Ibu sudah menyiapkan popcorn, dan Ayah duduk di sofa dengan tangan merangkul Ibu. Renjun duduk di antara Jeno dan Haechan, merasa hangat dan aman di tengah keluarganya.
Ketika film hampir selesai, Renjun mulai mengantuk dan tanpa sadar menyandarkan kepalanya ke bahu Haechan. Kakaknya tersenyum lembut dan merangkul Renjun, memastikan adiknya tidur dengan nyaman.
“Dia benar-benar anak bungsu kesayangan kita,” bisik Haechan pada Jeno sambil menatap Renjun yang terlelap.
Jeno mengangguk. “Iya. Dan kita harus pastikan dia selalu aman, apa pun yang terjadi.”
Ayah dan Ibu melihat momen itu dengan penuh rasa bangga dan haru. Mereka tahu bahwa mereka tidak hanya memiliki anak-anak yang saling menyayangi, tapi juga keluarga yang akan selalu menjadi tempat berlindung bagi satu sama lain.
Malam itu berakhir dengan damai, dan Renjun tidur nyenyak di antara orang-orang yang ia cintai. Apa pun yang terjadi di masa depan, ia tahu bahwa selama ada keluarga di sisinya, tidak ada yang perlu ia takutkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Family
Fanfiction[TAMAT] Renjun gak pernah takut selagi ada abang juga ibu dan ayah.