Malam itu, suasana rumah tenang seperti biasanya. Ibu baru saja selesai mencuci piring di dapur, sementara Ayah duduk di ruang tamu dengan teh hangat di tangannya, menonton berita di televisi. Jeno dan Haechan berada di kamar mereka, mengerjakan tugas sekolah, sedangkan Renjun, seperti biasa, duduk di meja belajarnya, menggambar sesuatu di buku sketsanya.
Namun, malam ini ada sesuatu yang berbeda. Renjun merasakan hawa dingin yang tidak biasa di kamarnya, seolah-olah ada angin sejuk yang berhembus tanpa sumber yang jelas. Ia mencoba mengabaikannya dan fokus pada gambarnya—sebuah ilustrasi bunga teratai yang ia lihat dalam mimpi beberapa malam lalu. Tetapi perasaan itu tidak hilang.
Renjun meletakkan pensilnya dan menatap jendela kamar. Tiba-tiba, ia merasa seperti ada yang mengawasi dari luar, meskipun tidak ada siapa pun di sana. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan bulu kuduknya berdiri. Ia menelan ludah, merasa gelisah.
Renjun tahu betul perasaan ini—sebuah firasat. Sejak kecil, ia sering merasakan kehadiran makhluk yang tidak terlihat oleh orang lain. Ibu dan Ayah selalu mengatakan bahwa ia harus tetap tenang dan tidak menunjukkan ketakutan, tapi kadang-kadang sulit. Apalagi ketika ia sendirian seperti sekarang.
Dengan perlahan, Renjun melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke ruang tamu, mencari keberadaan Ayah dan Ibu. Ia tidak mau tidur sendirian malam ini.
Saat Renjun tiba di ruang tamu, Ayah langsung menoleh dan tersenyum. “Hei, kamu belum tidur?” tanyanya sambil menepuk tempat di sebelahnya di sofa.
Renjun duduk di samping Ayah, menyandarkan kepalanya ke bahu Ayah tanpa berkata apa-apa. Ibu muncul dari dapur, membawa semangkuk buah potong. “Kamu nggak bisa tidur, Sayang?” tanyanya lembut.
Renjun menggeleng pelan. “Aku ngerasa ada yang aneh di kamar…”
Ibu dan Ayah saling bertukar pandang sejenak. Mereka tahu bahwa anak bungsu mereka sering merasakan hal-hal seperti ini, dan sebagai orang tua, mereka tidak pernah menganggap remeh.
“Ada sesuatu yang kamu lihat?” tanya Ayah, nada suaranya lembut tapi penuh perhatian.
Renjun menggeleng lagi. “Nggak lihat apa-apa… cuma berasa dingin, kayak ada yang lihat aku.”
Ibu mendekati Renjun dan berlutut di depannya. “Kamu mau tidur di kamar Ibu sama Ayah malam ini?” tawarnya sambil menyentuh pipi Renjun dengan lembut.
Renjun mengangguk kecil. Ia merasa lebih aman jika bisa tidur dekat dengan orang tuanya, terutama saat perasaan aneh itu muncul.
Sebelum tidur, Ibu dan Ayah memutuskan untuk duduk lebih lama bersama Renjun di ruang tamu. Mereka ingin memastikan anak mereka merasa tenang dan tidak terbebani oleh perasaan takut.
Ibu membuka album foto lama dan mulai memperlihatkan foto-foto masa kecil Renjun, Jeno, dan Haechan. “Lihat nih, waktu kamu masih bayi. Kamu suka banget tidur sambil digendong Ayah,” kata Ibu sambil tertawa kecil.
Ayah ikut tertawa. “Iya, dulu Renjun nggak mau tidur kalau nggak digendong. Malam-malam Ayah harus muter-muter di ruang tamu biar kamu bisa tidur.”
Renjun tertawa kecil mendengar cerita itu. Ia selalu suka mendengar kisah-kisah masa kecilnya, meskipun ia tidak ingat banyak dari masa itu. Tapi yang paling ia ingat adalah perasaan aman dan hangat yang selalu ada saat ia bersama keluarganya.
Malam semakin larut. Ibu dan Ayah mengajak Renjun naik ke kamar mereka. Jeno dan Haechan, yang baru saja selesai mengerjakan tugas, melihat adiknya akan tidur di kamar orang tua dan ikut tersenyum. “Mimpi indah, Adik,” kata Haechan sambil mengacak rambut Renjun.
“Kalau ada apa-apa, langsung panggil kita, ya,” tambah Jeno.
Renjun tersenyum. “Iya, Hyung.”
Di kamar orang tua, Ibu menyiapkan tempat tidur tambahan di samping kasur mereka, tapi Renjun malah meringkuk di tengah kasur, di antara Ayah dan Ibu. Mereka tidak keberatan; malah, mereka merasa senang karena bisa memberikan rasa aman pada anak bungsu mereka.
“Sudah siap tidur?” tanya Ibu sambil menarik selimut menutupi tubuh kecil Renjun.
Renjun mengangguk dan menyandarkan kepalanya ke bahu Ibu. “Terima kasih, Bu… Ayah…” bisiknya pelan.
Ayah tersenyum dan mengusap punggung Renjun dengan lembut. “Apa pun yang kamu rasain, kamu nggak sendirian, ya. Kami selalu ada buat kamu.”
“Selalu,” tambah Ibu sambil mengecup kening Renjun.
Dengan kehangatan dan perlindungan dari orang tuanya, Renjun akhirnya merasa tenang. Hawa dingin dan perasaan tidak nyaman yang tadi menghantui sudah hilang. Ia merasa aman di antara orang-orang yang paling ia cintai.
Malam itu, Renjun tidur nyenyak di tengah-tengah orang tuanya, tanpa ada mimpi buruk atau gangguan. Kehangatan keluarga memang selalu menjadi tempat paling aman baginya, dan ia tahu bahwa apapun yang terjadi, keluarganya akan selalu ada untuknya—melindunginya dari segala hal yang tidak bisa ia mengerti.
Dan malam itu berakhir dengan damai, seolah-olah tidak ada yang salah sejak awal.
___
Maaf karna terkesan monoton, lgi kehabisan ide, mana tau ada yg mau menyumbangkan ide hoho

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Family
Fanfictie[TAMAT] Renjun gak pernah takut selagi ada abang juga ibu dan ayah.