2

898 99 3
                                    

Malam itu, langit malam tampak gelap dan hujan turun deras. Angin berdesir, menampar-nampar kaca jendela di rumah keluarga Renjun. Di dalam kamar, Renjun memeluk gulingnya erat-erat. Ia sudah berusaha tidur sejak satu jam yang lalu, tapi matanya tidak bisa terpejam. Suara petir yang menggelegar membuat suasana malam semakin mencekam.

Tiba-tiba, ia mendengar langkah pelan di koridor luar kamarnya. Itu bukan langkah biasa—terdengar seperti seseorang menyeret kaki dengan lamban. Jantung Renjun berdetak lebih cepat, tangannya meremas selimut. “Ayah? Ibu?” bisiknya pelan, meskipun ia tahu suara itu bukan berasal dari orang tuanya.

Ia mencoba menenangkan dirinya, tapi suara langkah itu semakin mendekat. Lalu terdengar bisikan samar, “Renjun…” Suara itu terdengar seolah berada tepat di balik pintu kamarnya. Ia menggigil ketakutan, lalu menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Namun, meski tubuhnya tertutup, perasaan dingin merambat hingga ke ujung jari kakinya. Bisikan itu semakin jelas, memanggil namanya berulang-ulang.

Renjun tidak bisa menahan ketakutannya lagi. Ia meloncat dari tempat tidur dan berlari keluar kamar dengan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. Dengan langkah kecil tapi cepat, ia berlari menuju kamar Haechan. Pintu kamar Haechan didorongnya hingga terbuka, dan ia langsung melompat ke tempat tidur abangnya.

“Hyung…” Renjun memeluk Haechan erat-erat, tubuhnya gemetar. Haechan, yang masih setengah mengantuk, langsung terbangun dan memeluk adiknya.

“Adik, ada apa? Kenapa kamu nangis?” tanya Haechan sambil mengusap punggung Renjun untuk menenangkannya.

Renjun hanya bisa menggeleng, terlalu takut untuk bicara. Saat itu, Jeno datang dengan wajah cemas, mendengar keributan dari kamar sebelah. “Ada apa, Renjun? Kamu lihat sesuatu lagi?” tanyanya lembut.

Renjun mengangguk pelan, menundukkan kepalanya sambil mengusap mata yang basah. “Ada di luar kamar... Dia manggil aku.”

Jeno dan Haechan saling bertukar pandang. Meski mereka tak bisa melihat apa yang Renjun lihat, mereka tahu bahwa Renjun tidak akan berbohong soal hal ini. Haechan menggendong Renjun dalam pelukannya, sementara Jeno mengintip keluar ke koridor. Tidak ada apa-apa di sana, hanya keheningan malam yang terasa dingin.

Tak lama kemudian, ayah dan ibu juga datang ke kamar Haechan, mendengar suara langkah Renjun yang berlari. Ibu segera menghampiri dan berlutut di depan Renjun. “Ada apa, Sayang? Kamu mimpi buruk?”

Renjun menggeleng sambil memeluk Haechan lebih erat. “Ada yang manggil aku, Bu. Di luar kamar…”

Ayah menghela napas dan duduk di pinggir tempat tidur. “Tenang, Ayah di sini. Semuanya aman,” katanya lembut, menepuk-nepuk bahu Renjun. “Nggak akan ada yang bisa menyakitimu kalau kamu bersama kami.”

Ibu mendekap Renjun dan mengusap rambutnya pelan. “Apa kamu mau tidur sama Ibu dan Ayah malam ini?” tanyanya dengan senyum hangat.

Renjun mengangguk cepat, merasa lebih aman di antara keluarganya. Ayah lalu menggendong Renjun di lengannya, sementara ibu menggandeng tangan Jeno dan Haechan, mengajak mereka semua ke kamar orang tua.

Di kamar orang tuanya, mereka semua tidur bersama di atas kasur besar. Renjun berbaring di tengah, dikelilingi oleh kehangatan orang-orang yang mencintainya. Ayah membetulkan selimut Renjun, memastikan adiknya tidak kedinginan, sementara ibu mengusap lembut pipi anak bungsunya itu.

Haechan yang tidur di sebelah Renjun berbisik, “Nggak usah takut, Adik. Kalau ada yang manggil lagi, biar aku jawab dan suruh dia pergi.”

Renjun tersenyum kecil, merasa sedikit lebih lega dengan candaan abangnya. Jeno, yang tidur di sisi lain, mengacak-acak rambut Renjun dengan sayang. “Kalau kamu takut, panggil kami kapan saja. Kami nggak akan marah.”

“Benar,” tambah ibu. “Kamu nggak perlu sendirian menghadapi semua ini.”

Ayah kemudian mematikan lampu kamar, menyisakan hanya cahaya redup dari lampu tidur. “Sekarang tidur, Sayang. Besok kita sarapan bersama.”

Renjun memejamkan mata, perlahan merasa tenang. Meskipun masih ada rasa takut, ia tahu bahwa dengan ayah, ibu, dan abang-abangnya di sekitarnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Keluarganya adalah benteng terkuat yang ia miliki, tempat ia merasa paling aman di dunia.

Malam itu, Renjun tidur dengan lebih nyenyak daripada sebelumnya. Hujan masih turun di luar, tapi suara rintiknya terasa menenangkan dalam kehangatan keluarga. Di tengah tidurnya, ia merasa sebuah tangan lembut menyentuh rambutnya—entah itu ibu, ayah, atau mungkin Haechan atau Jeno. Yang jelas, ia merasa dicintai dan dilindungi sepenuhnya.

Keluarga Renjun tahu bahwa kemampuan anak mereka tidak mudah untuk dihadapi, terutama bagi Renjun sendiri. Namun, mereka berjanji pada diri mereka sendiri untuk selalu ada di sisi Renjun, memberikan perlindungan dan cinta tanpa syarat. Sebab, bagi mereka, tidak ada yang lebih penting daripada kebahagiaan dan ketenangan si bungsu kesayangan mereka.

Di malam yang dingin itu, mereka tidur berdesakan di satu kasur besar, tanpa peduli sempit atau tidak. Bagi mereka, yang terpenting adalah Renjun merasa aman dan tidak perlu menghadapi ketakutannya sendirian.

Our Family Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang