Hari Minggu adalah hari paling ditunggu-tunggu di rumah keluarga Renjun. Ini adalah hari di mana semua orang bisa bersantai tanpa terganggu oleh pekerjaan atau sekolah. Ibu selalu memanfaatkan hari Minggu untuk memasak hidangan favorit keluarga, sementara Ayah memastikan semua kegiatan hari itu melibatkan semua anggota keluarga. Dan untuk Renjun, ini adalah hari terbaik karena ia bisa bersama Ibu, Ayah, dan kedua abangnya sepanjang waktu.
“Bangun, Adik sayang! Ibu masak pancake hari ini!” teriak Ibu dari dapur.
Suara wangi adonan pancake yang dipanggang di wajan langsung menggoda hidung Renjun. Ia bergegas bangun, lalu berlari menuju dapur dengan rambut acak-acakan dan piyama yang masih dipakai. Di sana, Ibu sudah sibuk di meja dapur, mengaduk adonan sambil tersenyum melihat putra bungsunya datang.
“Kamu mau bantu Ibu masak?” tanya Ibu lembut sambil memberikan spatula kepada Renjun.
Renjun mengangguk semangat. Ia berdiri di kursi kecil agar bisa menjangkau kompor dan mulai membalik pancake dengan hati-hati. “Hyung sama Ayah mana, Bu?” tanyanya sambil fokus ke wajan.
“Ibu suruh mereka beresin halaman dulu,” jawab Ibu sambil tertawa. “Biar mereka nggak cuma leha-leha.”
Renjun terkekeh. “Pasti Haechan Hyung yang paling banyak ngeluh.”
Benar saja, dari arah halaman terdengar suara Haechan berteriak, “Ayah, kan aku baru mau mulai nyapu! Nggak usah buru-buru!”
Ibu dan Renjun tertawa mendengar protes Haechan. Tak lama kemudian, Jeno muncul dari arah halaman dengan tangan penuh daun kering. “Bu, Ibu biarin Haechan males-malesan lagi, nih.”
“Ibu nggak akan bantu kamu, ya,” jawab Ibu sambil terkekeh, melirik ke arah Haechan yang duduk di teras sambil pura-pura istirahat.
Setelah halaman rapi dan pancake siap, keluarga mereka berkumpul di meja makan. Ibu menumpuk pancake di tengah meja, lengkap dengan topping buah, madu, dan krim kocok.
“Siap makan, semuanya!” seru Ayah, duduk di kursi paling ujung dengan napas sedikit terengah karena ikut membantu di halaman.
Renjun duduk di antara Jeno dan Haechan. Ia mengambil pancake dengan senyum lebar di wajahnya. “Hyung, kamu mau topping apa?” tanyanya sambil menyodorkan piring ke Haechan.
“Hm... aku mau buah-buahan deh. Tapi kamu aja yang taruh ya, biar terasa enak.”
Renjun dengan telaten menyusun potongan stroberi dan pisang di atas pancake Haechan. Ibu dan Ayah memperhatikan anak-anak mereka sambil tersenyum puas.
“Keluarga kita ini paling ramai kalau makan,” komentar Ayah sambil mengoleskan madu di pancake-nya.
“Dan paling berantakan juga,” tambah Jeno, menunjuk Haechan yang menumpahkan krim di taplak meja.
“Kok aku yang disalahin?” Haechan pura-pura marah.
Semua tertawa. Kehangatan seperti ini membuat rumah mereka terasa lebih dari sekadar tempat tinggal—ini adalah rumah yang penuh cinta.
Setelah sarapan, Ayah memutuskan untuk mengajak semua orang bermain di taman belakang. Mereka bermain badminton, dan tentu saja, Renjun menjadi pusat perhatian.
“Yakin bisa kalahin aku, Adik?” tantang Haechan sambil memutar-mutar raket.
“Jangan remehkan aku, Hyung!” jawab Renjun sambil memasang pose siap bertarung.
Pertandingan berjalan seru dan penuh tawa. Haechan sengaja mengalah agar Renjun bisa merasa menang, sementara Jeno diam-diam membantu adiknya dengan memberikan arahan. Setiap kali Renjun memukul kok dengan benar, seluruh keluarga bersorak dan memberinya tepuk tangan.
Setelah lelah bermain, mereka duduk di teras sambil menikmati jus buah yang dibuat Ibu. Renjun menyandarkan kepala ke pundak Ayah, merasa nyaman berada di tengah keluarganya.
“Capek?” tanya Ayah sambil mengusap kepala Renjun.
“Enggak, cuma senang banget bisa main sama Ayah, Ibu, dan Hyung-hyung.”
Haechan menepuk punggung Renjun pelan. “Kalau kamu senang, kami juga senang.”
Malam harinya, setelah makan malam bersama, keluarga mereka berkumpul di ruang tamu. Renjun duduk di pangkuan Ayah, sementara Jeno dan Haechan duduk di sofa dengan selimut menyelimuti mereka.
“Ayah, cerita dongeng, dong,” pinta Renjun sambil menatap Ayah dengan mata mengantuk.
“Ayah cerita apa, ya?” Ayah berpikir sejenak. “Bagaimana kalau cerita tentang seorang anak yang berani dan melindungi keluarganya dari naga?”
Renjun mengangguk antusias. “Aku suka cerita itu!”
Ayah mulai bercerita, suaranya dalam dan menenangkan. “Dahulu kala, ada seorang anak yang tinggal di desa kecil. Dia tidak pernah takut, meskipun orang-orang di desanya sering bercerita tentang seekor naga besar yang tinggal di gunung...”
Sementara Ayah bercerita, Renjun perlahan-lahan mulai terlelap di pangkuannya. Jeno dan Haechan saling berpandangan dan tersenyum. Mereka tahu betapa berartinya Renjun bagi keluarga mereka, dan mereka akan selalu ada untuknya.
Setelah Renjun tertidur, Ayah membopongnya ke kamar dan menidurkannya dengan hati-hati. Jeno dan Haechan membantu menyelimuti adiknya, memastikan ia tidur dengan nyaman.
“Ibu, Ayah, kita beruntung punya Renjun, ya,” bisik Jeno sambil menatap wajah tenang adiknya yang tertidur pulas.
Ayah mengangguk. “Iya, kita semua beruntung punya satu sama lain.”
Malam itu, keluarga kecil mereka tidur dengan hati yang penuh kebahagiaan, siap menghadapi hari-hari ke depan bersama-sama. Tidak ada yang lebih penting daripada cinta dan kehangatan keluarga.
Dan bagi Renjun, keluarga adalah tempat di mana ia selalu merasa aman, dicintai, dan diterima apa adanya. Tidak peduli apa pun yang ia alami sebagai seorang anak indigo, selama keluarganya ada di sisinya, ia tahu bahwa tidak ada yang perlu ditakuti.
___
Sedikit kaget karna lumayan rame yg vote, hay selamat menikmati cerita ini yang satu chapter lagi udah ending hihi

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Family
Fanfiction[TAMAT] Renjun gak pernah takut selagi ada abang juga ibu dan ayah.