"Jaki guoooblok, sanaan dikit anying," keluh Galang dengan kesal karena telapak kaki Jaki yang masih memakai kaos kaki itu terus mendekat ke wajahnya.
Sekarang teman-teman magadir Jaayn sedang berada di rumahnya untuk sekedar bersilaturahmi karena sudah lama tidak berkumpul seperti ini akibat sibuk memikirkan tugas akhir.
"Bini lo mana, Jaayn?" tanya Tio kepo.
"Ga tau."
"Lah gimana sih? Masa istri sendiri di mana ga tau?"
"Emangnya kalo udah jadi istri harus dua puluh empat jam bareng?"
".....Ya, bukan gitu maksudnya" sinis Tio.
"....."
"....."
"Kayak main nikah-nikahan nih gue perhatiin," sambung Wayan yang tadinya masih sibuk memainkan game pada ponselnya.
"Asli."
"Ya, gimana? Orang ga kenal ga apa tiba-tiba dipaksa nikah?" balas Jaayn, sok jual mahal.
"Halah, dipaksa dipaksa, mau juga 'kan lo?" timpal Tio lalu melemparkan gumpalan tissue ke arah Jaayn.
"Bersyukuuuuur! Kapan lagi nafsu birahi lo ga jadi dosa maksiat ketika lo mau melampiaskannya?" ucap Wayan.
"Apaan dah?" elak Jaayn agak panik. "Gue aja ga tidur bareng dia, kamar juga sendiri sendiri."
"Yakali cowok cewek tinggal seatap tapi ga ngapa-ngapain?" ledek Tio cengegesan.
Mengapa mereka terus berpikiran seperti itu?
Faktanya memang Jaayn belum pernah macam-macam dengan Nindi kok!
Lagi pula, gadis cerewet macam Nindi sejujurnya juga bukan tipe dia sama sekali. Mereka hanya menganggap pernikahan ini sebagai sebuah wujud bakti terhadap orang tua masing-masing.
"Heh! Ga semua orang punya otak mesum kek lo berdua, ya, anjing!" pekik Jaayn mulai tersulut emosi sedikit. "Kalo ga masuk tipe gue ya, ga bakal kejadian di gue."
"Hm iya deh" jawab Tio dan mulai saling memandang satu sama lain dengan Wayan.
Dan entah kenapa dua pria payah di hadapan mereka- Galang dan Jaki malah terus-terusan berdebat soal peletakkan kaki.
"Eh! Udah apa anjir?" protes Tio kepada kedua orang tersebut. "Kayak bocah ajeeee~"
Sadar ada seseorang yang sedang membuka pintu, semuanya kompak menghentikan aktivitas mereka sejenak.
Begitu Nindi memasuki rumah, teman-teman Jaayn segera memasang senyum sapaan kepada gadis itu dan dibalas senyum juga oleh Nindi.
"Cakep begitu lu kata bukan tipe lu?" ujar Tio kepada Jaayn saat Nindi sudah masuk ke kamarnya.
"Hah? Siapa yang bukan tipe siapa?" tanya Galang bingung.
"Pesawat udah terbang noh" kata Wayan. "Lu ribut lagi sono sama si Jaki. Gue liatin dari sini kek orang tolol."
"Oh?"
"Oh lagi?" ulang wayan, giliran mereka yang jadi tontonan.
"Udahlah! Orang sama-sama manusia nt karna mengincar cewek yang sama kenapa harus gado?" sindir Jaki dan langsung dihadiahi tatapan tajam oleh Galang dan Wayan.
"Eh maap maap."
Pukul 6 sore dan semuanya pun memutuskan untuk pulang karena sudah hampir setengah hari mereka berada di sana.
Huh! Kalau datang hanya untuk memberantaki rumah dan mengahabiskan makanan saja untuk apa? Mending nongkrong saja di warung!
"Ga ada yang boleh angkat kaki sebelum beresin nih sampah-sampahnya!" ucap Jaayn saat mereka semua sudah beranjak dari posisinya.
"Lah? Dari dulu tiap ngumpul ga pernah disuruh beres beres? Kenapa sekarang malah harus?" keluh Galang.
"Karna dulu yang bersihin engga galak, kalo sekarang yang bersihin galaknya minta ampun!"
"Mbak lo lagi pms sekarang? Kok jadi galak?" tambah Jaki.
"Udah beresin aja! Ga usah banyak tanya."
"Suami suami takut istri cenah" goda Tio senyum-senyum.
Wayan yang juga sedang tertawa itu segera menyambung, "Katanya sih bukan tipe, ya! Yo. Tapi tetep aja udah memasuki era suami takut istri."
"Lo berdua ngomong ngomong gitu lagi, gue tonjok asli!" tegas Jaayn.
Sejak kapan seseorang seperti Jaayn takut kepada Nindi?
Ini semua ia lakukan hanya untuk memenuhi kesepakatan di antara mereka saja, di mana Jaayn bertugas untuk memasak dan membeli segala kebutuhan rumah yang akan ataupun sudah habis, sementara Nindi bertugas untuk membersihkan seluruh rumah serta seluruh pakaian-pakaian yang kotor.
Jadi, ya.. ini semua bukan tentang siapa takut siapa, tapi ini tentang etika dalam kesepakatan.