pohon besar

2 0 0
                                    

1996 - amarta

Seminggu setelah pertemuan di Taman Kota Amarta

Suasana sekolah terasa lebih hidup bagi Cinta sejak pertemuan tak terduganya dengan Adrian di Taman Kota Amarta. Setiap pagi, jantungnya berdegup lebih kencang saat mendekati gerbang sekolah, seolah menanti kehadiran seseorang. Dan benar saja, Adrian selalu menunggunya di sana dengan senyum yang seolah hanya untuk Cinta.

Suatu pagi, saat Cinta berjalan menuju sekolah, ia melihat Adrian berdiri di bawah pohon besar di depan sekolah sambil memainkan gitarnya. Suara petikan gitar terdengar lembut, menyatu dengan semilir angin pagi. Lagu yang dibawakan Adrian terdengar akrab, namun dengan irama yang sedikit berubah, seperti lagu klasik yang ia beri sentuhan khasnya sendiri.

Cinta melangkah mendekat, hatinya sedikit ragu. Meski mereka mulai akrab, ia tetap belum terbiasa dengan perhatian Adrian yang begitu terbuka. Saat Cinta hampir sampai di hadapannya, Adrian berhenti bermain gitar dan menatapnya dengan senyum jahil yang khas.

“Halo, Cinta. Selamat pagi,” sapanya ringan.

“Pagi, Adrian. Lagi ngapain main gitar pagi-pagi?” Cinta tersenyum kecil, mencoba menutupi kegugupannya.

Adrian menepuk gitarnya dengan lembut. “Gue nulis lagu. Dan inspirasi gue pagi ini… ya, kamu.”

Cinta terkejut, pipinya memanas mendengar kata-kata Adrian yang blak-blakan. “Kamu bercanda, ya?”

Adrian menggeleng serius. “Enggak, gue nggak bercanda. Gue sering dapet inspirasi dari hal-hal yang ada di sekitar gue, dan akhir-akhir ini, gue nggak bisa berhenti mikirin kamu.”

Cinta mencoba menahan senyumnya, tapi akhirnya ia menyerah. “Aku enggak tau harus bilang apa.”

“Gampang kok,” jawab Adrian sambil tertawa pelan. “Kamu cuma perlu dengerin lagu ini.”

Sambil duduk di bangku kayu di bawah pohon besar itu, Adrian mulai memainkan gitarnya lagi, namun kali ini lebih pelan, seakan menyanyikan lirik yang tak terdengar. Jari-jarinya menari di atas senar, menghasilkan melodi sederhana namun mendalam. Cinta hanya duduk di sampingnya, terdiam dan mendengarkan. Saat Adrian selesai memainkan lagu itu, ia menatap Cinta dalam diam.

“Gimana menurut kamu?” tanya Adrian penuh harap.

Cinta terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Bagus banget. Rasanya kayak... hangat, tapi juga sedih. Kamu benar-benar pandai bermain gitar, Adrian.”

Adrian tersenyum puas. “Gue senang lo suka. Tapi kayaknya masih ada yang kurang.”

“Kurang apa?” Cinta penasaran.

Adrian tertawa kecil dan mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah buku kecil dan pena. “Gue pengen lo nulis sesuatu di sini. Apa aja, yang menurut kamu bisa jadi lirik lagu ini.”

Cinta terkejut, tapi ia menerima buku dan pena itu dengan hati-hati. “Aku enggak tahu harus nulis apa…”

“Nggak usah dipikirin,” sahut Adrian. “Nulis aja apa yang ada di pikiran lo sekarang.”

Cinta membuka halaman buku itu dan mulai menulis dengan ragu. Kata-kata yang muncul di kepalanya sederhana namun tulus, seolah berasal langsung dari hatinya. “Di sini, di bawah pohon besar, aku menemukan damai… bersama seseorang yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya.”

Setelah menulis kalimat itu, ia menutup buku dan menyerahkannya kembali pada Adrian yang menatapnya dengan tatapan lembut. “Terima kasih, Cinta. Mungkin ini terdengar klise, tapi setiap momen bersama lo, gue ngerasa tenang.”

Beberapa hari kemudian di ruang kelas

Cinta duduk di barisan ketiga, mencoba fokus pada pelajaran sejarah yang diajarkan Pak Bram. Tapi perhatiannya terus teralihkan oleh kehadiran Adrian yang duduk di belakangnya. Sesekali, ia bisa merasakan tatapan Adrian yang intens, membuat pipinya terasa panas. Hingga akhirnya, Pak Bram memberikan tugas kelompok dan memisahkan kelas menjadi beberapa kelompok.

“Baik, kelompok ketiga, kalian akan terdiri dari Adrian, Cinta, Sari, dan Arga,” ujar Pak Bram sambil tersenyum. “Kalian akan mengerjakan tugas sejarah tentang kota Amarta dan tempat-tempat bersejarahnya.”

Arga dan Sari terlihat antusias, sementara Cinta dan Adrian saling melirik dengan senyum samar. Adrian langsung berinisiatif untuk mengatur rencana mereka.

“Gimana kalau besok sore kita kumpul di taman kota aja? Kita bisa mulai ngobrol tentang tugas ini sambil santai,” usul Adrian.

Sari mengangguk setuju. “Bagus juga idenya. Lagipula di taman kota banyak tempat yang tenang buat diskusi.”

Cinta hanya tersenyum, tapi dalam hatinya ada rasa tak sabar yang mulai muncul. Ia tak menyangka akan kembali ke taman kota bersama Adrian.

Sore di Taman Kota Amarta

Keesokan harinya, mereka berkumpul di taman kota tepat setelah pulang sekolah. Arga dan Sari membawa beberapa buku dan catatan, sementara Adrian hanya membawa gitarnya, seperti biasa. Mereka duduk di bangku yang sama di bawah pohon besar yang pernah menjadi saksi pertemuan mereka sebelumnya.

Diskusi mereka berjalan dengan lancar. Adrian, meski terlihat santai, ternyata memiliki ide-ide cerdas tentang sejarah kota Amarta. Cinta mulai melihat sisi lain Adrian yang ia kagumi, sisi yang cerdas dan penuh wawasan, meski biasanya tersembunyi di balik sikap nyentriknya.

Saat diskusi selesai, Arga dan Sari berpamitan untuk pulang lebih dulu. “Gue harus balik, ada urusan di rumah,” kata Arga sambil mengangkat tasnya. Sari ikut mengangguk. “Iya, aku juga. Kita lanjut diskusinya besok ya!”

Mereka berdua melangkah pergi, meninggalkan Cinta dan Adrian berdua di bawah pohon besar. Saat itu, suasana mulai sepi, dan gerimis kecil mulai turun. Adrian membuka payung merah yang pernah ia pinjamkan pada Cinta.

“Kayaknya hujan bakal lebih deras,” ujar Adrian sambil memandang langit. Ia melirik Cinta dan menawarkan payungnya. “Kita tunggu aja sebentar sampai reda.”

Mereka berdiri berdekatan di bawah payung itu, hanya terpisah oleh jarak kecil. Cinta merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat, dan entah kenapa, ia merasa nyaman dalam keheningan bersama Adrian. Sesekali, tatapan mereka bertemu, tapi tak ada satu pun yang berbicara.

Setelah beberapa saat, Adrian membuka suara. “Cinta, gue tahu kita baru kenal. Tapi ada sesuatu yang bikin gue terus mikirin lo.”

Cinta tersenyum, matanya menatap dalam-dalam ke mata Adrian. “Aku juga merasa begitu, Adrian. Aku nggak ngerti, tapi sejak kita bertemu di taman ini, semuanya terasa berbeda.”

Mereka saling tersenyum, dan saat itu, hujan turun semakin deras, menyelimuti mereka dalam kehangatan di bawah payung merah yang kecil. Di bawah pohon besar itu, di tengah derasnya hujan, mereka berdua tahu bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang spesial—sesuatu yang mungkin tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

TBC

amarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang