rindu

0 0 0
                                    

1996 - amarta

Minggu berikutnya di Kota Amarta

Suasana di sekolah berubah bagi Cinta sejak kebersamaan terakhirnya dengan Adrian di taman kota, saat mereka berteduh di bawah payung merah dalam derasnya hujan. Hatinya selalu berdebar lebih cepat setiap kali ia mengingat momen itu, sebuah momen sederhana namun mendalam yang terus berputar di pikirannya. Ia merasa dirinya berubah—lebih banyak tersenyum sendiri, lebih bersemangat setiap hari, dan yang paling mengganggu pikirannya, perasaan rindu yang tak bisa ia kendalikan.

Namun, seiring hari berganti, ia mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda. Adrian, yang biasanya menunggu di gerbang sekolah untuk menyapanya, kini tak terlihat lagi. Beberapa hari berturut-turut, Cinta tak menemukan sosok Adrian yang selalu menantinya dengan senyum lebar dan tingkah nyentriknya. Ia merasa kehilangan, tapi tak tahu harus bagaimana.

Di Kelas

Saat istirahat tiba, Cinta duduk di bangkunya sambil menatap ke luar jendela. Hatinya penuh dengan tanda tanya. Arga, sahabat Adrian yang duduk di sebelahnya, tampak menyadari kegelisahan Cinta. Setelah beberapa saat ragu, ia akhirnya berbicara.

“Lagi mikirin Adrian, ya?” tanya Arga sambil tersenyum kecil.

Cinta terkejut dan segera menoleh ke arah Arga, berusaha mengelak. “Hah? Enggak kok… Aku cuma, ya, lagi mikirin tugas aja.”

Arga terkekeh kecil, lalu menatapnya dengan tatapan penuh pengertian. “Cinta, gue tahu kok. Mungkin kamu heran kenapa Adrian tiba-tiba menghilang.”

Cinta terdiam, namun dari tatapannya Arga tahu bahwa Cinta sedang menunggu penjelasan.

Arga menghela napas. “Adrian lagi sakit, Cin. Dia memang enggak bilang ke siapa-siapa, tapi gue tahu dia udah enggak enak badan sejak beberapa hari lalu.”

Cinta merasa cemas. “Sakit apa? Parah enggak?”

Arga menggeleng sambil tersenyum tipis. “Enggak tahu pasti, tapi kayaknya enggak parah-parah amat. Dia cuma butuh istirahat. Itu kenapa dia enggak datang beberapa hari ini.”

Cinta merasa lega, tapi rasa khawatirnya tak sepenuhnya hilang. Ada keinginan besar di hatinya untuk melihat Adrian, memastikan dengan matanya sendiri bahwa anak laki-laki itu baik-baik saja.

Malam itu di Rumah Cinta

Malam itu, setelah makan malam, Cinta duduk di kamarnya sambil memandangi payung merah yang tergantung di sudut ruangan. Payung itu masih bersih, meski sudah beberapa hari sejak terakhir kali ia gunakan bersama Adrian di taman. Tanpa sadar, Cinta tersenyum. Kenangan tentang Adrian memenuhi pikirannya, dan tanpa ia sadari, tangannya sudah meraih ponsel.

“Apa kabar?” tulisnya dalam pesan singkat yang ia kirim pada Adrian. Tapi setelah pesan itu terkirim, ia merasa gugup, takut dianggap mengganggu. Jantungnya berdegup kencang saat layar ponselnya tetap diam tanpa balasan.

Namun, setelah beberapa menit menunggu dengan cemas, akhirnya sebuah pesan masuk dari Adrian.

Adrian: “Hey, Cinta! Gue baik-baik aja kok. Makasih udah nanya. Gimana kabar kamu?”

Cinta tersenyum lega. Cinta: “Senang dengar kamu baik-baik aja. Arga bilang kamu lagi sakit.”

Adrian: “Ah, Arga emang suka lebay. Gue cuma butuh istirahat sebentar, kok. Enggak usah khawatir ya.”

Percakapan itu membuat Cinta sedikit lega, tapi ada rasa rindu yang masih menghantui hatinya. Mereka terus bertukar pesan sepanjang malam, saling bercerita tentang hal-hal kecil di kehidupan mereka. Cinta merasa betapa hangat dan menyenangkannya berbicara dengan Adrian, meski hanya lewat teks. Setiap pesan yang masuk terasa seperti membawa senyumnya yang hangat ke dalam kamar Cinta.

Keesokan harinya

Setelah beberapa hari tak bertemu, akhirnya Adrian kembali ke sekolah. Begitu melihatnya, Cinta merasa hatinya sedikit lebih ringan. Adrian datang seperti biasanya, dengan gaya santainya, rambut sedikit berantakan, dan senyum yang mengembang. Tapi ada yang berbeda pada tatapannya; lebih lembut, lebih dalam, seolah menyimpan sesuatu yang tak terucap.

Saat jam istirahat, Adrian menghampiri Cinta yang sedang duduk di taman belakang sekolah. Tanpa banyak basa-basi, ia duduk di sampingnya dan menatap ke arah pohon-pohon yang rindang.

“Gue kangen taman ini,” ujar Adrian pelan, sambil tersenyum ke arah Cinta.

Cinta menatapnya dan tersenyum kecil. “Kamu ngangenin tamannya atau orang yang ada di taman ini?”

Adrian tertawa kecil, lalu menoleh ke arah Cinta dengan tatapan hangat. “Mungkin… dua-duanya.”

Mereka tertawa bersama, dan untuk beberapa saat, keheningan melingkupi mereka, tapi bukan keheningan yang canggung. Justru, itu adalah keheningan yang nyaman, seakan-akan tak perlu ada kata-kata untuk saling mengerti.

Setelah beberapa saat, Adrian mengambil napas dalam dan berkata, “Cinta, lo tahu enggak, setiap kali gue enggak bisa ketemu lo, gue ngerasa ada yang kurang. Kayak ada sesuatu yang hilang.”

Cinta menatapnya dengan tatapan terkejut namun bahagia. Hatinya berdebar, tapi ia berusaha menjaga ketenangannya. “Aku juga ngerasa begitu, Adrian.”

Adrian tersenyum, dan di matanya, ada kilatan kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan. “Gue enggak tahu ini apa, Cinta. Tapi, mungkin ini yang disebut rindu, ya?”

Cinta hanya mengangguk pelan. Kata-kata Adrian membuat hatinya hangat, dan ia merasa, dalam kebersamaan mereka yang sederhana, ia menemukan sesuatu yang berharga—sebuah kedekatan yang tak perlu diucapkan.

Di hari-hari berikutnya, kebersamaan mereka semakin erat.

Setiap hari, mereka berbagi cerita, berbagi tawa, dan berbagi keheningan yang penuh makna. Tanpa mereka sadari, perasaan di hati mereka semakin tumbuh. Rindu itu selalu ada setiap kali mereka berpisah, dan kebahagiaan selalu hadir setiap kali mereka bertemu. Cinta merasa bahwa hidupnya menjadi lebih bermakna sejak kehadiran Adrian. Ia tak hanya menemukan seorang teman, tapi juga seseorang yang membuatnya merasa spesial.

Di bawah pohon besar itu, mereka melukis kenangan-kenangan kecil yang akan selalu tersimpan di hati. Sederhana, tapi bermakna. Di setiap momen bersama Adrian, Cinta menyadari bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal paling sederhana—seperti senyuman, tatapan hangat, dan tawa yang tulus.

TBC

amarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang