Reifan yang baru saja selesai dengan ekskul basket kembali ke kelas untuk mengambil tasnya, disana dia melihat Arion tengah piket sendirian. Arion memang lelet kalau soal beberes, karena itu dia sering ditinggal pulang lebih dulu oleh teman piketnya yang lain.
Tok tok
Reifan mengetuk pintu kelas, Arion menoleh.
"Masuk aja"
Reifan langsung masuk kedalam kelas, sebelumnya dia pernah masuk sembarangan disaat piket Arion dan hasilnya pria itu mengamuk sambil berkata kalau dia capek-capek menyapu tapi lantainya malah diinjak-injak, kamu harus menghargai usaha orang!... Arion yang biasanya biarpun dijahili selalu kalem mendadak marah, jujur saja Reifan takut pada mode marahnya Arion.
"Ditinggal lagi, makanya jangan lelet. Gak usah terlalu bersih juga gak apa-apa, toh besoknya diberantakin anak-anak lagi" ucap Reifan.
Reifan melirik Arion yang tidak menyahutinya, dia menghela nafas. Reifan melepas kaosnya, dia menyalakan AC dan berdiri tepat dibawahnya. Awalnya Arion tidak memperdulikan pria itu, tapi begitu dia menyalakan AC dengan keadaan bertelanjang dada dia langsung menghampirinya.
Arion mengambil remot AC dari tangan Reifan dan memukul belakang kepala Reifan dengan remot itu. "Bego, udah gede masih aja otak gak dipake. Dengar ya, kamu kalau habis olahraga dan keringetan kayak gitu jangan langsung nyalain AC, turunin dulu tuh suhu badan baru! Entar sakit tau rasa"
Reifan cemberut, "Yeu, kayak bunda gua lu", namun meski begitu dia merasa senang dalam hati.
Sebenarnya Reifan menyukai Arion, suka dalam artian khusus tapi sayangnya Arion itu pria dengan pikiran lurus. Meskipun Reifan beberapa kali menunjukan ketertarikannya dengan jelas, dia malah menatapnya dengan mata polos dan ekspresi aneh.
Terkadang jika Arion bengong memandang dirinya, dia akan langsung merasa memiliki kesempatan sampai harapan itu dipupuskan oleh sikap Arion setelahnya.
"Apa memang gua gak ada harapan ya?"
"Hm? Harapan apa?"
Reifan langsung tersentak, sepertinya dirinya tanpa sadar bersuara nyaring. Pria itu menggeleng, Arion memicingkan matanya, dia merasa ada sesuatu yang direncakan pria itu. Reifan seakan bisa membaca isi pikiran Arion.
"Enggak! Jangan mikir yang macam-macam deh"
Arion terkekeh, "Memangnya aku mikir apaan?"
Deg!
'Astaga, jangan tersenyum begitu! Aaakh! Tuhan, jantungku tidak kuat!' Reifan meremas dadanya sendiri.
Arion menggantung kemoceng disamping lemari, dia mengambil ranselnya hendak pulang.
"Lu mau pulang?"
Arion menoleh dan mengangguk, "Kenapa? Kamu mau nganterin?"
Mata Reifan mengerjab, dia memang berniat begitu tapi mendengar itu langsung dari Arion lumayan membuatnya terkejut, yah meksi dia tau Arion mungkin hnaya bercanda tapi.... Ini kesempatannya bukan?
"Gua pasang seragam dulu"
"Oke" Arion menarik kursi guru dan duduk, dia melirik Reifan, awalnya hanya bercanda tapi rupanya dia menganggap dengan serius. Yah, tidak ada ruginya juga dia diantar Reifan.
Reifan sendiri buru-buru berganti pakaian, beruntung sebelumnya dia tidak malas merapikan buku dan alat tulisnya. Dia menyambar tasnya dan menghampiri Arion, "Ayo"
Kedunyapun berjalan berdampingan ke parkiran motor. Arion menunggu Reifan mengeluarkan motornya.
"Tumben gak pake yang gede" Arion mengambil helm yang diberikan Reifan kemudian naik ke jok belakang.
"Gua diomelin guru BK katanya knalpotnya berisik"
Arion terbayang bagaimana wajah guru BK yang sedang memarahi Reifan, dia kemudian tertawa, "Alah si pak Anwar paling cemburu, takut kalah saing tuh"
Setelah disinggung seperti itu, Reifan langsung terpikir, 'Iya juga ya...'
Sesuai dengan arahan jalan dari Arion, akhirnya mereka sampai di rumah Arion. Reifan melihat rumah Arion, dia baru tau kalau Arion sebenarnya anak orang kaya, maksudnya selama ini Arion terlihat biasa-biasa saja dia tidak menyombongkan apapaun. Reifan bahkan sering melihatnya menaiki kendaraan umum untuk pulang dan pergi sekolah, tidak pernah terlihat dianatar oleh supir ataupun menaiki motor sendiri.
Arion yang sadar Reifan memandangi rumahnya itu pun menoel pundak Reifan, "Mau masuk?"
Reifan langsung tersadar, dia mangambil helm dari tangan Arion. "Langit mendung, takut hujan nanti. Um... mungkin lain kali, gua duluan" pamitnya.
"Ya, hati-hati"
Reifan menyalakan motornya dan langsung tancap gas meninggalkan rumah Arion, beruntung tertanya mereka satu perumahan tetapi berbeda komplek. Arion di komplek III sementara Reifan di komplek I. ini bisa dibilang kemajuan bukan?
Dari dalam hati rasanya Reifan agak menyesali menolak ajakan mampir dari Arion tadi, tapi mau bagaimana lagi dia benar-benar gugup, meski dia memasang senyum seperti biasa.
Setelah memasukan motornya kedalam garasi, Reifan masuk ke rumahnya. Dia melihat sekeliling, sepertinya orang-orang rumah masih belum pulang, diapun masuk ke kamarnya yang berada di lantai 2. Reifan melepaskan semua pakaiannya dan hanya menyisakan bokser saja lalu langsung terjun ke atas kasurnya. Kalau didalam rumah dia biasa memang tidak memakai pakaian, toh hanya ada batangan saja yang tinggal disana.
Reifan menatap kosong langit-langit kamanrya, wajah lembut yang biasanya pria itu pasang luntur, dia kembali dengan wajah datarnya. Reifan menertawai dirinya sendiri, jika Arion tau dia sebenarnya seperti ini entah seperti apa reaskinya nanti, yah, kalau itu Arion mungkin dia akan cuek seperti biasa.
Reifan telungkup, wajahnya dia benamkannya di bantal, "Apa gua ngaku aja ke dia ya? Tapi kalau nanti dia benci gua gimana?"
Reifan memiringkan kepalanya, dia melihat foto bundanya yang berada diatas nakas dekat tempat tidur. Reifan meremas selimut, "Untung gua gak setuju tinggal sama bunda, kalau bunda tau gua suka cowok, bunda pasti...", Reifan mengeratkan giginya.
"Haa... buat apa dipikiran, toh bunda yang pergi dan ninggalin kami kayak gini. Gua juga udah besar, gua bisa ngatur hidup gua sendiri"
*-...-...-*
KAMU SEDANG MEMBACA
(ORIGINAL)For The Love Arion
AléatoireHanyalah cerita antara sepasang remaja. Arion yang cuek dan tidak peka, dan Reifan sang ketua kelas tampan yang disebut pria rubah oleh Arion.