June, 2022
Sepanjang eksistensinya di muka bumi ini, Adelardo Cetta Early paling benci dengan keramaian. Laki-laki yang akrab disapa Cetta itu tidak suka dengung-dengung acak yang menerobos ke dalam gendang telinganya. Sebab suara-suara acak itu hanya akan membuat kepalanya semakin penuh dan terasa berat. Lebih dari suara berisik yang dihasilkan, Cetta paling sukar berdesak-desakan dengan orang-orang asing yang sibuk berkeliaran ke sana kemari. Karena di setiap keramaian yang berlangsung, selalu ada aroma-aroma abstrak yang akhirnya dia hirup—aroma asap sate yang mengepul dari kejauhan, wangi parfum beraroma buah yang entah milik siapa, sampai bau keringat yang juga datangnya entah dari ketiak mana. Apalagi selama pandemi berlangsung, rasa-rasanya dia mulai anti bersentuhan dengan manusia lain.
Namun, itu bukan berarti dia tidak bisa datang ke tempat-tempat yang ramai seperti yang dia datangi saat ini. Hanya saja, jika Cetta memiliki pilihan untuk tidak datang dan berbaur dengan ratusan orang yang tumpah ruah di sana, Cetta pasti memilih opsi untuk tidak datang. Dia lebih nyaman tinggal di rumah. Meskipun tidak ada hal-hal menakjubkan yang dia lakukan setiap harinya, setidaknya berada di rumah mampu membuatnya bernapas lega. Dia bisa bermain dengan Rinso—meskipun semakin tua, kucing Persia itu semakin banyak tingkah, menyusun lego, menyiram tanaman, atau mengerjakan soal-soal fisika dengan rumus yang selalu saja sama. Setidaknya, angka-angka di lembar latihannya lebih membuatnya nyaman ketimbang berada di tempat ramai seperti ini.
Di tengah lamunannya yang tak tentu arah itu, suara tepuk tangan menggema begitu meriah. Seolah sedang merayakan kebebasan dari bengkungan pandemi yang sempat melanda. Cetta jelas terkesiap, gegap gempita yang berlangsung membuatnya tanpa sadar turut mengangkat kedua tangannya dan bertepuk tangan seperti orang-orang di sekelilingnya. Sorak sorai terdengar tak lama setelah itu, menyambut dua orang laki-laki yang baru saja menaiki panggung—menyapa lautan manusia di hadapan mereka dengan senyum dan sapa yang merekah. Karena langit sudah sepenuhnya menggelap, membuat warna-warni lampu panggung yang membanjiri mereka nampak jauh lebih berkilau dibanding sebelumnya. Cetta pikir, kemeriahan hanya akan berlangsung sampai di sana. Sejenak, laki-laki itu lupa bahwa saat ini dia sedang berada di sebuah festival musik di mana penyanyi-penyanyi kenamaan ibu kota menjadi bintang utamanya. Karena satu detik setelah musik menyala, lautan manusia itu menjadi jauh lebih berisik—termasuk gadis 155 senti meter berambut sebahu yang sejak tadi berdiri persis di sebelahnya.
Parasnya masih saja sama seperti pertama kali Cetta melihatnya 3 tahun yang lalu. Wajahnya yang kecil itu memberi kesan imut yang tak berkesudahan. Tipe gadis yang tidak membosankan jika dipandang berlama-lama. Ketika dia tersenyum, sepasang lesung pipinya yang magis itu tak pernah gagal membuat Cetta lupa bagaimana caranya bernapas. Pernah beberapa kali Cetta sampai menerka-nerka. Ketika dia sudah sepenuhnya melepaskan gadis itu, bisakah dia mengenyahkan bayang-bayang manis itu dari benaknya?
Cetta tidak suka keramaian, tetapi jika Karina yang menyeretnya ke dalam lautan manusia seperti sekarang ini, dia tak memiliki kuasa untuk menolak. Sekujur tubuhnya akan bergerak begitu saja tanpa mampu ia kendalikan, persis seperti Marionette. Bagi Cetta, Karina dan segala hal tentang gadis itu tak ubahnya sihir yang melegenda. Kekuatan magisnya tiada terkira, sampai-sampai jika Karina menginginkannya berlutut detik itu juga, Cetta pasti akan melakukannya. Cetta sendiri tidak tahu pasti alasan seperti apa yang membuatnya jatuh cinta segila itu dengan Karina. Gadis itu cantik, dia juga pintar dan ramah kepada siapa pun. Pembawaannya yang ceria itu bisa membuat hari-hari Cetta yang semula kelabu, mendadak penuh dengan warna.
Di antara begitu banyaknya kelebihan yang Karina miliki, kekurangan Karina mungkin hanya satu—suaranya cempreng abis, dan itu sama sekali nggak bisa diselamatkan. Tetapi tidak masalah, kekurangan itu menjadi tak berarti apa-apa karena suaranya tenggelam dalam lautan gemuruh dari betapa meriahnya festival malam itu. Juga karena dia terlihat begitu bahagia, Cetta memutuskan untuk tak mengusiknya sama sekali. Selama gadis itu tidak tiba-tiba lepas dan menggigit ratusan orang yang ada di lapangan itu, Cetta rasa itu bukan masalah besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatal Trouble [PREVIEW]
Teen FictionBuku ini menonjolkan karakter Adelardo Cetta Early, anak keenam dalam Suyadi brothers. Memiliki alur maju-mundur, buku ini mengupas sisi Cetta yang jarang diceritakan dalam buku-buku sebelumnya. Mengangkat tema kenakalan remaja dan kompleksitas hidu...