EPISODE 3

2K 238 41
                                    

August, 2022

Sebagai seorang account officer, Eros adalah karyawan yang interaksinya bisa dikatakan cukup dekat dan intens dengan nasabah. Sering dia berharap, para client-nya bisa dihubungi atau mereka menghubunginya di jam-jam kerja saja. Sayangnya, mengingat bahwa para client-nya adalah orang-orang sibuk, Eros tidak bisa berbuat apa-apa ketika mereka menghubunginya di luar jam kantor. Bahkan suatu hari di pagi yang masih cukup gulita, dia tetap harus mengangkat telepon dari nasabah. Dia tetap harus mengiakan ajakan meeting di jam-jam rawan macet. Membuatnya harus serba buru-buru agar hubungannya dengan nasabah tetap berjalan dengan baik. Dengan begitu, para nasabah merasa diprioritaskan dan tidak segan-segan untuk mengambil produk yang ditawarkan. In the end, he is still a salesman. Meski melelahkan, ada target-target tertentu yang harus dia capai setiap harinya.

Pria itu baru saja mengakhiri sesi Google Meet-nya dengan salah seorang client saat dia menoleh ke arah pintu dan menemukan kepala Nana menyembul di sana. Seper-sekian detik setelah tatapan mata mereka beradu, anak itu menyengir lebar. Ekor mata Eros sudah menangkap keberadaan adiknya itu 15 menit sebelum meetingnya selesai, tetapi dia sengaja mengabaikannya.

"Apa? Gue tau lo lagi ada maunya," celetuknya. Terlihat sekali kalau dia tidak bisa bersikap ramah malam ini. Seharian ini dia sudah lelah sekali pergi ke berbagai tempat dengan jarak yang lumayan jauh demi bertemu dengan nasabah. Begitu pulang, dia berharap bisa beristirahat dengan nyaman. Namun, harapan itu kandas saat salah seorang client-nya meminta untuk mengobrol via Google Meet demi membahas pengajuan kredit yang akan dia lakukan. Sebagai seorang sales yang berdedikasi penuh terhadap pekerjaan, Eros tentu saja tidak bisa menolak. Terlebih saat client-nya berkata bahwa besok dia tidak bisa bertemu sebab harus buru-buru pergi ke Surabaya.

Masih dengan cengiran yang masih saja sama, Nana memutuskan untuk menampakkan sekujur tubuhnya. Sepasang kaki jenjangnya melangkah ringan, kemudian dia menjatuhkan bokongnya di tepian kasur. Sepasang kakinya dirapatkan, kedua tangannya berjajar rapi di atas paha, sementara posisi tubuhnya duduk dengan punggung yang tegak.

"Kok tau sih? Pengertian banget," ucapnya, tanpa sedikit pun mengubah reaksi aneh di wajahnya. Melihat raut wajah itu, Eros mendengus begitu saja. Perasaannya tidak enak, tetapi pria itu memutuskan untuk mendengarkan seribu rayuan yang akan tersembur dari bibir adiknya. "Di nikahan kakak nanti, aku boleh nggak ngajak pacarku?"

"Boleh, ajak aja." Tanpa menoleh ke arah Nana sedikit pun, Eros masih melanjutkan pekerjaannya. Sepasang telinganya fokus mendengarkan, sementara kedua tangannya sibuk mengetik sesuatu di laptop. Nana juga tidak tahu apa yang kakaknya itu kerjakan, sebab ada terlalu banyak kotak-kotak dan angka di sana. Jangankan mencoba membacanya, meliriknya saja Nana sudah merasa mual.

"Terus kalau pakai baju seragam, boleh nggak?"

"Ngelunjak."

"Gayatri aja dapet, masa pacarku enggak?"

"Yang ngasih seragam ke Gayatri itu mama. Gue nggak tau, kayaknya mama mintanya sama Rania. Kalau mau protes, sama mama aja sana, jangan sama gue."

"Nggak adil banget anjir! Coba deh pikirin gimana perasaan pacarku. Mantanku bisa dapat seragam, tapi dia yang jelas-jelas pacarku malah nggak dapat sama sekali."

Rentetan kalimat itu rasanya nyaris membuat kedua telinga Eros berdarah-darah. Gendang telinganya pengang. Jadi dengan raut wajah mengernyit, pria itu menyumpalkan telunjuknya ke lubang telinga sebelah kanan. Kemudian dia memutar kursi ke belakang, hanya untuk menemukan sepasang mata Nana menatapnya dengan pandangan bengis.

"Lo sama Cetta udah baikan belom?" tanya Eros, mengalihkan pembicaraan.

"Aku nggak berantem sama dia."

Fatal Trouble [PREVIEW]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang