Nara kini sudah beranjak dewasa, sosok gadis yang cantik dan cerdas. Di kampus, ia dikenal bukan hanya karena wajahnya yang jelita tetapi juga karena kepiawaiannya dalam berbicara dan kehebatannya dalam akademis. Banyak yang mengagumi Nara dari kejauhan, tapi sayang, ia tidak pernah merasa benar-benar memiliki tempat di mana ia bisa merasa aman. Teman-temannya hanya sebatas rekan sekelas atau anggota organisasi kampus; tidak ada lingkaran pertemanan yang dekat. Nara hidup dalam kesunyian yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.
Di balik senyumnya yang terlihat percaya diri, Nara masih membawa luka masa kecilnya. Luka-luka itu tidak pernah benar-benar sembuh. Kadang, ketika ia sendirian di kamarnya yang sempit di rumah tantenya, Inara, anxiety itu datang. Mengguncang tubuhnya, menyesakkan dadanya, namun ia tidak pernah berani menunjukkan rasa sakitnya di hadapan orang lain. Hanya doa yang selalu menjadi pelarian setiap malam. Dalam sujudnya, ia memohon kepada Allah untuk diberi kekuatan—kekuatan yang seluas samudera, kekuatan untuk terus bertahan.
Tante Inara adalah bayangan buruk dari masa kecilnya yang terus menghantuinya. Iri yang tak masuk akal, kebencian yang tidak pernah dipadamkan. Padahal kedua anak tante Inara, yang adalah sepupu-sepupu Nara, jauh lebih sukses daripada dirinya. Tapi entah mengapa, Inara selalu merasa tersaingi oleh Nara. Setiap prestasi Nara di kampus dianggap sebagai ancaman.
Suatu kali, ibunya, melalui Kaina, memberikannya sebuah gaun yang cantik sebagai hadiah. Namun, tante Inara seolah memiliki mata-mata di mana-mana. Saat Nara tengah merapikan gaun itu di kamarnya, tiba-tiba pintu didobrak.
“Apa ini?” Teriak tante Inara sambil menarik gaun itu dari tangan Nara. “Kau pikir dengan memakai ini kau akan terlihat lebih baik dari anak-anakku? Tidak akan pernah!” Tangan tantenya dengan cepat merobek gaun itu, membuat kainnya berserakan di lantai. Nara hanya bisa menatap kosong, kehabisan tenaga untuk melawan atau sekadar berkata.
Hari-hari Nara di rumah tantenya adalah neraka. Setiap pagi, Nara harus bangun lebih awal dari penghuni rumah lainnya. Subuh belum menyapa, tapi Nara sudah berdiri di dapur, memasak sarapan, menyapu, mengepel, mencuci baju, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah yang tak pernah ada habisnya. Tidak ada ucapan terima kasih, hanya cemoohan dan kritik yang menyakitkan.
Dan jika itu belum cukup, Nara harus bekerja di ruko percetakan milik tante Inara. Di sana, pamannya yang juga bekerja sering kali berbuat tak senonoh. Berkali-kali, paman itu mencoba menyentuh Nara, menarik tangannya, atau bahkan mencoba mencium pipinya. Setiap kali Nara melawan dan berontak, pamannya melapor kepada tante Inara. "Anakmu itu tidak tahu terima kasih!" katanya, yang kemudian diikuti oleh makian dan cacian dari tante Inara.
"Kau pikir kau siapa? Hanya pembantu di rumah ini, tidak lebih!" Ujar tantenya penuh amarah, sementara Nara hanya menunduk, menahan setiap kata yang menyakitkan. Tidak ada yang membela Nara. Bahkan sepupu-sepupunya yang berpendidikan, salah satunya bekerja sebagai penegak hukum, hanya diam dan membiarkan ibunya berlaku sewenang-wenang. Mereka adalah bagian dari sistem keluarga yang kejam dan tidak berperasaan.Namun, Nara tidak pernah membalas. Ia menerima semuanya dengan keikhlasan yang luar biasa. Di hatinya, selalu ada ruang untuk memaafkan, meski ia tidak tahu sampai kapan ia bisa bertahan. Setiap kali ia merasa kehilangan arah, Nara hanya bisa berbisik dalam doanya, “Ya Allah, berikan aku kekuatan… hanya itu yang aku minta.”
Walaupun begitu, Nara sering bertanya dalam hatinya, “Mengapa aku harus terjebak di keluarga ini? Apakah ini hukuman bagiku?” Kadang, ia merasa seolah hidupnya tak lebih dari sekadar pelengkap penderitaan di rumah keluarga ayahnya, keluarga yang tidak pernah benar-benar menganggapnya berharga.
***
Matahari sore menerobos celah jendela kecil di kamar Nara, menciptakan bayangan lembut di sudut ruangan yang sempit. Ia duduk di depan meja belajar, mencoba berkonsentrasi pada tumpukan materi kuliahnya, namun pikirannya tak bisa lepas dari kenyataan pahit yang terus menghantui hidupnya. Di luar, suara derap kaki tante Inara dan suara sepupunya yang tertawa seolah memotong udara, membuat dada Nara semakin sesak.
Satu demi satu, ia ingat betapa seringnya ia dituduh mencuri, terutama oleh pamannya. Tuduhan itu selalu datang di saat yang paling tidak terduga, dan seolah sudah menjadi kebiasaan. Padahal uang yang ia miliki berasal dari hasil kerja part-time-nya di supermarket kampus atau kiriman diam-diam dari ibunya, Vania. Namun, tak ada yang percaya, termasuk tante Inara.
"Kau kira bisa mengelabui kami dengan uang curian ini?!" suara pamannya bergema di telinga Nara, meskipun saat ini yang terdengar hanyalah keheningan. Ia menuduh tanpa dasar, tanpa bukti. Tante Inara, tentu saja, ikut menghujat. “Kau tak akan pernah berubah, Nara. Kau tak pantas hidup di sini!”
![](https://img.wattpad.com/cover/380041542-288-k812939.jpg)
YOU ARE READING
ANTARA LUKA DAN DOA
Teen FictionNamanya Nara, dia dan ibunya adalah korban dari kerasnya kehidupan patriarki. Keluarga ayahnya layaknya Iblis yang terus membelenggu nya. Orang-orang selalu memuji kecerdasan Nara dan Ibunya, juga wajah manis Nara ketika tersenyum. Dari kecil Nara...