#6

43 35 14
                                    

Mereka yang hidup tanpa banyak pilihan tetap menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Dari mereka, bisa belajar menyulam luka menjadi harapan, menjahitkan kebahagiaan di antara kepingan-kepingan hatinya yang pecah.

- Risa Anesta -

.
.
.

Setelah perjalanan mereka kemarin, Risa merasa hidupnya sedikit demi sedikit mulai menemukan ritmenya kembali. Ia semakin sering terlihat di kampus, tidak hanya sebagai mahasiswa yang berprestasi, tetapi juga sebagai seseorang yang mulai terbuka pada pengalaman baru.

Sesuai rencana mereka yaitu mengadakan proyek sosial ke panti asuhan. Selepas mata kuliah, mereka datang ke panti asuhan. Meskipun cahaya mentari mulai meredup, namun tak menyurutkan semangatnya.

Risa melangkah paling depan, diikuti Dinda yang mengekor di belakangnya. Sepanjang perjalanan matanya menatap sekitar, menelisik ke setiap sudut panti asuhan. Bibirnya tertarik tersenyum lebar kala melihat segerombolan anak-anak yang sedang bermain dengan canda dan tawa. Tujuannya kini mencari ruang pemilik yayasan panti asuhan untuk meminta izin atas proyeknya itu.

Tok tok tok

Risa mengetuk pintu sebagai tanda sopannya dalam bertamu. "Permisi," ucapnya.

"Iya silahkan masuk," sahut orang dari dalam ruangan.

Nampak perempuan paruh baya yang sudah berumur, namun masih terlihat cantik. Pakaiannya khas seperti ibu-ibu pada umumnya. Dres hitam elegan sedikit kedodoran, terlihat sopan.

Beliau tersenyum. "Maaf kalian siapa? Dan ada keperluan apa datang ke panti ini?"

Risa memulai perkenalan. "Maaf Bu sebelumnya, perkenalkan saya Risa dan ini teman saya, Dinda. Jadi dari kami pribadi ingin mengadakan proyek sosial yang mana kami tertarik untuk mengajarkan anak-anak keterampilan yang bermanfaat, sekaligus mendukung mereka dalam mengembangkan potensi. Dan dari kami tertarik untuk mengajarkannya di panti asuhan ini. Jadi apa boleh kami bertemu dengan pemilik yayasan panti asuhan ini untuk meminta izin kepada beliau?"

Wanita paruh baya di depannya tersenyum, rasa antusiasme tampak jelas di wajah keriputnya. "Wah bagus sekali itu. Saya adalah pemilik yayasan panti asuhan ini. Saya sangat setuju proyek sosial kalian yang sangat positif itu."

Risa dan Dinda saling menatap. Keduanya sama-sama tersenyum. Mendengar kalimat yang keluar dari pemilik yayasan panti asuhan itu.

"Lalu kapan akan kalian laksanakan proyek sosial itu?" tanya pemilik yayasan panti asuhan.

"Mengingat ini sudah sore, juga kami masih berkuliah. Bagaimana jika setiap minggunya kita ke sini?" jawab Risa

Pemilik yayasan panti asuhan menganggukkan kepalanya sebagai pertanda setuju. Sedangkan Risa menyodorkan lembaran kertas, menjelaskan susunan acara dalam proyek sosial tersebut yang akan diadakan setiap minggunya.

🍒🍒🍒

Risa menatap jam dinding di sudut kamarnya. Jarum pendeknya sudah menunjuk angka satu, namun matanya tetap terjaga sejak kepulangannya dari panti asuhan. Pikiran tentang Raka tak bisa sepenuhnya hilang. Tetapi sekarang, ia merasakan kehadiran yang berbeda, bukan lagi sebagai beban, tetapi sebagai inspirasi.

Dia meraba ponselnya, membuka galeri foto. Jemarinya gemetar saat ia membuka galeri, menatap foto-foto lama bersama Raka yang masih tersimpan di sana. Di sana, puluhan foto bersama Raka masih tersimpan. Foto-foto itu menggambarkan mereka yang sedang tersenyum, tertawa, seolah kebahagiaan adalah milik mereka selamanya. Risa memandangi wajah Raka dalam foto-foto itu. Teringat akan kata-kata manis yang dulu sering ia dengar, seperti janjinya untuk selalu ada, untuk selalu menjadi tempat di mana Risa bisa bersandar.

Langit yang Tak Kembali Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang