Bab 9 Cinta untuk Xavier

12 4 0
                                    

Sudah tiga bulan berlalu sejak hari kelulusan yang mengubah segalanya. Xena, gadis cerdas yang selalu menjadi kebanggaan sekolah, berhasil meraih peringkat tertinggi sebagai siswa terbaik. Namanya disebut, pujian melayang dari segala arah, dan impian untuk kuliah semakin nyata. Namun, harapan itu seketika hancur. Beasiswa yang menjadi satu-satunya jalan Xena menuju universitas tiba-tiba dicabut--hanya karena alasan pribadi seorang Pak Alan.

Perjuangan panjang, malam-malam tanpa tidur, dan upaya keras Xena untuk meraih prestasi terbaik seolah tak berarti. Di hadapan ketidakadilan ini, Xena hanya bisa terdiam, tak mampu melawan nasib yang tampaknya sudah dituliskan baginya. Sebagai anak dari keluarga miskin, pilihan Xena terbatas. Kini, bukannya mengenakan seragam kampus yang ia impikan, Xena hanya mampu berdiri di balik meja kasir di sebuah kafe kecil di Surabaya, melayani pelanggan satu per satu.

Setiap kali melirik ke arah buku-buku di rak, hatinya perih. Bukan karena kurangnya tekad, tapi ketidakadilan dan kemiskinan telah merampas mimpinya. Universitas yang dulu terasa begitu dekat, kini menjauh seakan berada di dunia lain--dunia yang tak mungkin ia jangkau.

"Ini formulir pendaftaran kuliah kamu," ujarnya menyodorkan selembar formulir pendaftaran kuliah di atas meja.

Xena terdiam, matanya membelalak tak percaya. Xavier benar-benar serius. Di tangannya, ia melihat formulir pendaftaran kuliah yang sudah lengkap, rapi, dengan namanya tertulis di atasnya. Dia tak pernah membayangkan bahwa kata-kata Xavier di taman sekolah waktu itu lebih dari sekadar hiburan kosong.

"Xavier... aku pikir kita hanya bercanda," suaranya bergetar, separuh ragu dan separuh takjub. Ia tak pernah menyangka bahwa di balik senyum hangat dan kata-kata ringan itu, Xavier menyimpan niat sebesar ini.

"Aku serius, Xena... Aku benar-benar akan menanggung segala hidupmu," ujar Xavier dengan nada penuh keteguhan, matanya menatap lurus ke arahnya. "Kamu gak perlu mengkhawatirkan apapun lagi."

Xena terdiam, dadanya sesak oleh perasaan yang berputar di dalam dirinya. Rasa bersalah menyelinap, mencengkeram hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa menyakiti laki-laki sebaik ini, yang tanpa pamrih mengulurkan tangan di saat dunianya runtuh?

"Tapi... bagaimana dengan kamu?" suara Xena bergetar, seakan takut merusak ketulusan yang Xavier tunjukkan.

"Untuk saat ini, aku gak kuliah dulu," ujar Xavier dengan tenang, seraya meletakkan sebuah kartu nama di meja. "Ini... kartu nama agency. Besok aku diminta datang untuk audisi. Kamu ikut ya!"

Xena terdiam, hatinya tersentuh sekaligus penuh tanda tanya. "Kamu... berkorban buat aku?"

Xavier tersenyum tipis, menggeleng. "Enggak gitu, Xena. Aku gak kuliah biar bisa fokus sama karir."

"Tapi--"

"Udah, kamu gak usah banyak mikir," potongnya dengan nada lembut namun tegas. "Kamu pengen jadi polwan, kan? Ambil jurusan Kriminologi. Kamu suka mengungkap motif kejahatan, kan? Ini jalan kamu."

Xena menghela napas, matanya menyiratkan keraguan. "Di sela bekerja, aku masih bisa ikut tes kepolisian meski tanpa kuliah. Kamu gak perlu berkorban segitunya buat aku, Xavier..."

Xavier menggenggam tangannya dengan penuh ketulusan. "Xena, ini adalah bukti keseriusanku. Aku ingin kamu percaya bahwa aku benar-benar mencintaimu. Apa pun akan aku lakukan demi melihat kamu bahagia."

Kata-kata Xavier menghunjam hati Xena, menambah kegamangan yang sudah menyesak di dadanya. Hatinya remuk, tersentuh oleh ketulusan yang begitu tulus, namun juga dipenuhi rasa bersalah yang semakin hari semakin menghantui. Dalam diam, ia bergumam dalam batinnya, "Tuhan, apa yang telah kulakukan padanya? Dia begitu tulus, tapi aku malah mengkhianatinya di belakang. Masih pantaskah aku menerima cintanya?" Rasa bersalah itu tumbuh, menjeratnya, seolah-olah ini adalah hukuman yang memang layak ia terima.

Xavier tahu, Xena butuh waktu. Ia memahami sepenuhnya bahwa melupakan Jonathan dan membuka hati begitu cepat bukanlah hal mudah. Namun justru kebaikan yang ia berikan tanpa henti, di saat hati Xena masih terbelah oleh kenangan yang lain, semakin menyesakkan hati Xena. Kebaikan Xavier bagaikan pedang bermata dua--menyentuhnya, tapi sekaligus melukai perasaannya yang masih terikat pada masa lalu. Xena bimbang; ia tak tahu bagaimana menghadapi cinta tulus Xavier, yang terasa seperti harapan sekaligus beban yang tak mampu ia genggam.

"Xavier, aku minta maaf. Apa sebaiknya kita--"

"Enggak Xena!" potongnya. Seakan sudah mengerti kata putus yang hendak Xena katakan. "Kamu janji akan belajar mencintaiku, kan? Berusahalah semampumu. Jangan menyerah sebelum melakukan apapun."

"Aku gak pantas diperlakukan begini Xavier." Air matanya terjatuh, Xena tak bisa lagi membendungnya. Baru saja dia bercinta dengan Jonathan dan melupakan Xavier. Lalu kini harus menyaksikan cinta yang tulus diberikan olehnya--yang justru membuat hatinya teriris. "Aku begitu buruk--lalu bagaimana bisa kamu mencintaiku seperti ini," isaknya.

Xavierpun tak dapat menahan air matanya yang menetes. Ini adalah kali pertamanya menangis untuk seorang wanita. Ia sama sekali tidak merasa disakiti, dan justru menganggap, apa yang dirasakannya saat ini adalah karma akibat kesalahannya di masa lalu. Lalu ia merangkulnya, memberikan isyarat bahwa semua akan baik-baik saja. Seakan menerima segala perlakuan Xena apapun itu. Dalam diamnya, pelukan itu memberi arti bahwa rasa sakit yang diberikan bukanlah apa-apa di banding apa yang dia lakukan pada wanita-wanita sebelumnya di masa lalu. 

Xavier mengusap punggung Xena pelan, lalu menangkup kedua pipinya dan mengecup keningnya--penuh kehangatan dan lama.

"It's oke, Xena. Aku juga bukan orang yang baik. Kamu paling tahu bagaimana masa laluku. Masih memendam rasa untuk orang lain, tak berarti kamu masih ingin bersamanya, kan?"

Xena terperangah, seolah tertampar oleh kenyataan yang tiba-tiba menghantamnya. Kata-kata itu menyadarkannya dari buaian mimpi yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya. Hidup bersama Jonathan adalah kemustahilan yang ia sadari, namun ia merasa begitu bodoh karena masih membiarkan dirinya terjatuh dalam ilusi cinta yang tak nyata. Hanya karena harapan semu, ia terseret semakin dalam ke dalam jurang perasaannya sendiri.

Kini, Xena mengunci perasaan itu di dalam hatinya, membiarkannya tersembunyi tanpa perlu dikejar lagi. Perlahan ia mengerti--di hadapannya ada cinta yang sejati, cinta yang layak diperjuangkan. Perlahan ia merelakan mimpi lama yang tak akan pernah menjadi nyata, siap menata hatinya untuk seseorang yang telah tulus menanti di sisinya.

Xena merangkul Xavier, "Xavier... maafkan aku. Maukah kamu memberiku kesempatan untuk mencobanya?"

"Everytime, tetaplah bersamaku. Ayo kita besama-sama mencari kebahagiaan."

Mereka saling berpelukan erat, seolah menemukan tempat untuk melepaskan semua luka yang tersimpan di hati masing-masing. Dalam kehangatan pelukan Xavier, Xena merasa ada ketulusan yang perlahan-lahan mengikis bayangan Jonathan dari ingatannya. Meskipun ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, kali ini Xena benar-benar ingin mencobanya--mencoba merangkai kisah baru, mencoba membiarkan hatinya sembuh, dan membuka ruang bagi cinta Xavier yang tulus menantinya di depan.

***

To be continue...

Xena Love Hate Reletionship ( Hiatus, Akan Pindah Ke PF Lain)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang