15. Keadaan Darurat

1 1 0
                                    

Langit tampak begitu bersih, biru muda yang lembut memanjakan mata, seolah tak pernah ada jejak kegelapan, seolah hujan lebat beserta kilat dan gemuruh gunturnya tak pernah hadir mencekam subuh tadi. Namun aroma menyengat tanah basah yang bercampur bau rerumputan tak bisa mengelabui ingatan dan prasangka siapa pun. Bahwa hujan pernah hadir. Bahwa menjelang fajar tadi tidur kami terasa jauh lebih nikmat dari biasanya. Bahwa udara yang membelai hidung membuat kami serasa dilahirkan kembali.

Kicau burung, gemercik air mancur, sisa-sisa air hujan yang jatuh dari ujung ranting mengenai kulit. Tiada pagi yang lebih indah dari pagi yang telah menjadi saksi derasnya hujan semalam.

"Ibu mau dengar cerita apa dari Bian hari ini?"

Di antara nyanyian para burung, adakah suara Ibu turut mengalun meski hanya untuk menyuarakan satu melodi singkat?

"Kayaknya kalau bahas pohon tabebuya kesayangan Ibu, bosen ya? Tadi bunganya banyak banget yang rontok gara-gara hujan. Belum Bian beresin. Nggak tau deh, hujan bikin badan jadi males gerak, maunya rebahan aja di sofa."

Di antara gemercik air mancur, tidakkah suara Ibu turut serta menciptakan riuh?

"Kalau Ibu di rumah, Bian udah pasti kena jewer sih." Saya tertawa tanpa selera.

Tidak ada. Suara Ibu tidak ada di mana-mana. Tidak di antara nyanyian burung, tidak di sela gemercik air, tidak juga di setiap belaian angin atau bisikkan lembut serangga penghuni taman.

Jika manusia erat dengan perubahan, lantas mengapa kondisi Ibu tak kunjung berubah? Tak kunjung ada kemajuan? Waktu terus bergerak, namun seolah hanya waktu Ibu yang rusak, tidak beranjak, mati.

Saya menghela napas panjang. Tidak bisa mengendalikan pergelutan yang terjadi di dalam kepala meski saya telah berusaha bersikap setenang mungkin. Sungguh tidak mudah berlagak baik-baik saja ketika sosok di hadapan saya berantakan.

Saya memandangi dari samping, tatapan mata Ibu yang tidak ada bedanya dengan minggu-minggu yang telah terlewati. Lalu gadis remaja dengan boneka poodle cokelat yang saya lihat minggu lalu, kembali tertangkap oleh pandangan. Dia tampak berdiri di depan kursi di sisi lain taman yang sedang diduduki oleh boneka poodlenya. Mulutnya sibuk komat-kamit sementara tangan kanannya aktif bergerak naik-turun dengan telunjuk mengacung ke arah si poodle. Dia persis seperti orang tua yang sedang menceramahi panjang lebar anaknya yang nakal.

Seperti mendapat ilham, saya pun berdiri, mengambil posisi beberapa langkah di hadapan Ibu. Katakanlah ini menyedihkan karena saya sengaja menghalangi pemandangan air mancur dan kumpulan tanaman bunga itu untuk mendapat perhatian Ibu. Tangan saya mengepal di kedua sisi tubuh ketika menyadari bahwa selama ini, air mancur itu bukanlah pemandangan yang senang Ibu lihat, tapi hanyalah objek acak yang kebetulan terletak tepat di jangkauan matanya. Dia tidak menyimak apa pun yang ada di hadapannya, dia hanya melihat. Melihat yang tanpa maksud apa-apa, tanpa inteprestasi, tanpa rasa, tanpa getaran apa pun.

Ketika saya menutupi air mancur itu, pandangannya tak berubah, tak merasa terganggu sedikit pun dan itu lebih dari cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak akan ada yang bisa memenangkan perhatiannya termasuk saya.

Saya menarik napas sejenak, kemudian mengembuskannya perlahan. "Lihat deh, Bu." Saya sedikit merentangkan tangan. "Menurut Ibu, Bian gendutan nggak? Tadi Sus Na bilang Bian agak berisi sekarang."

Ibu tidak peduli.

Saya merapatkan kembali kedua tangan ke tubuh, berjalan mendekat, berjongkok sambil memegangi pegangan besi kursi rodanya. "Kayaknya Ibu harus lihat dari deket. Nih, sekarang coba pegang pipi Bian," saya meraih kedua tangannya, mengarahkannya untuk menyentuh kedua pipi saya meski pandangannya tetap hanya lurus ke depan, "berasa nggak lemaknya makin banyak?" Saya terkekeh. "Bian sih nggak ngerasa, tapi kalau sampai Sus Na yang bilang, itu udah pasti valid. Dia itu suster yang sangat detail dan perhatian, ya kan?"

Nona dan Tuan KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang