Ketika saya pikir saya akan benar-benar terjebak di dalam kamar mandi dan harus memandikan kucing itu—yang berarti saya harus mau tak mau menyentuhnya—saya justru hanya diberi tugas membersihkan bekas muntahan dan deterjen yang tumpah di lantai. Saya nyaris bersorak gembira detik itu juga. Orang waras mana yang disuruh membersihkan muntahan malah girang? Ya, saya.
Air dingin akhirnya mengaliri tenggorokan. Urusan membersihkan bukti perkara berhasil saya selesaikan dengan mudah. Sementara itu, di dekat stop kontak di sebelah rak TV, terdengar suara berisik hair dryer. Rumi sedang mengeringkan bulu Rubi. Beberapa detik saya agak heran melihat ada sebuah alat pengering rambut di rumah ini. Tentu saja itu bukan milik saya, Bang Ragi, Bapak, bahkan Ibu. Meski jadi satu-satunya wanita di rumah, Ibu selalu membiarkan rambut yang telah ia keramasi kering dengan sendirinya.
Tentu Rumi-lah yang membawa alat itu, dia simpan di dalam sebuah kotak penyimpanan seukuran cooler box pedagang es pinggir jalan, yang dia beli khusus untuk menyimpan keperluan Rubi. Warnanya kuning mentereng, dia letakkan di dekat sebuah batang cokelat yang entah gunanya apa, namun saya sering melihat kucing itu menggarung-garukkan kukunya di sana.
"Bian,"
Saya tersentak. Masih duduk bersila di lantai, Rumi terlihat melambai-lambaikan tangan ke arah saya sementara kucing itu sudah hilang dari hadapannya. Barangkali status saya telah berubah jadi hewan piaraan nomor dua, karena dengan manutnya saya menutup pintu kulkas dan beranjak mendekat.
"Duduk." Dia menepuk-nepuk lantai kayu di hadapannya.
"Kayaknya semakin saya biarin, kamu semakin seenaknya merintah-merintah saya ya," ketus saya, namun sebagai hewan piaraan nomor dua, lagi-lagi saya tetap menuruti suruhannya, mengambil posisi bersila di hadapannya. "Ini masih rumah saya lho, Rum."
"Yang bilang ini rumah saya juga siapa."
Saya berdecak malas, dia selalu punya jawaban. "Sekarang mau merintah apa lagi?"
Bukan mulutnya yang menyahut, melainkan moncong hair dryer yang kembali berdesing nyaring. Gadis itu kemudian mengarahkan semburan angin panas itu ke rambut saya. "Selain Rubi, kayaknya kamu juga perlu dikeringin," katanya.
Saya tidak bergerak sedikit pun sementara tangannya dengan sangat berani menyentuh setiap helai rambut saya, menyingkapnya ke berbagai arah sembari menyemburnya dengan angin hair dryer yang berisik itu. Anehnya, saya tidak merasa risih. Sejak kecil saya tidak pernah suka rambut saya dipegang orang lain selain Ibu. Ketika Bang Ragi dan Bapak kompak pergi ke tukang cukur untuk mendapat gaya rambut baru, saya selalu konsisten meminta Ibu yang melakukannya meski hasil cukurannya gitu-gitu saja dan terkadang agak mengecewakan, tapi saya selalu mengatakan: nanti juga panjang lagi.
"Waktu nemuin Rubi muntah, kamu baru habis mandi?"
"Mm." Saya menjawab tak terlalu berselera. Jauh lebih tertarik menyaksikan wajahnya yang kini hanya berjarak mungkin kurang dari dua jengkal tangan. Tentu saja posisi ini, juga objek pandang ini, bukan sesuatu yang saya lakukan atas dasar keinginan saya sendiri. Apa yang dia lakukan sekaranglah yang membuat saya tidak punya opsi pemandangan lain untuk dilihat selain wajahnya.
Tapi, kalau diperhatikan sedekat ini, sejujurnya dia tidak punya sedikit pun garis wajah garang atau jutek seperti sifat yang sering dia tunjukkan selama ini. Wajahnya lebih punya kesan "gadis manis", "gadis manis", dan "gadis manis". Matanya bulat dengan bulu mata tipis yang lentik. Lalu apa itu? Saya baru saja menemukan setitik kecil tahi lalat tepat di bawah mata kirinya dan terkesan tersembunyi. Tak pernah saya perhatikan sebelumnya, dan sekarang saya malah ingin berlama-lama di sana. Baiklah, saya rasa saya menyukainya—maksud saya, letak tahi lalat itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Titik Dua Koma
RomanceDemi mendapatkan biaya tambahan untuk memindahkan ibunya ke panti rehabilitasi jiwa yang lebih baik, Bian terpaksa terlibat sebuah perjanjian konyol dengan Rumi yang mengharuskannya untuk berbagi rumah dengan seekor kucing. Masalahnya, Bian benci k...