Lemon
Sabtu pagi itu, sinar matahari menembus lembut melalui jendela kamar sederhana milik Icung dan Satya. Kamar itu beralaskan lantai kayu, dengan kasur kapuk yang sedikit tenggelam di tengah, dan selimut tua yang membungkus tubuh Icung. Di atas kasur itu, Icung terbaring, wajahnya tampak damai dalam lelap, sementara Naka berdiri di ambang pintu.Naka baru saja kembali dari pasar desa, membawa udara segar yang masih basah oleh embun pagi. Ia berdiri diam sejenak, matanya menatap Icung yang tertidur pulas. Wajah Icung terlihat lebih menawan dari dekat, dengan rahang tegas yang memantulkan sinar matahari pagi. Tanpa sadar, Naka mendekat, langkahnya pelan, hingga kini ia sudah duduk di pinggir kasur, di depan tubuh Icung.
“Icung...” Naka memanggil lembut. Tak ada respon.
Ia mendekatkan tangannya, berniat menggoyangkan bahu Icung. Namun tiba-tiba, tangan Icung yang hangat menangkapnya dan menarik tubuh Naka hingga terbaring di atasnya. “Ayo bangun, Icung. Mama kamu sudah manggil buat sarapan,” ucap Naka dengan nada setengah kesal, berusaha berdiri. Tapi Icung hanya bergumam pelan, matanya tetap terpejam, seolah enggan meninggalkan kenyamanan kasurnya.
Naka mendesah. Kali ini ia mengambil langkah nakal. Ia mencubit perut Icung yang tertutup selimut, membuat lelaki itu langsung terbangun. “Aw!” seru Icung sambil membuka mata. Tatapan tajamnya yang semula penuh protes berubah melunak begitu melihat Naka.
'Untung kamu calon pacar,' gumam Icung dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.
“Cepat bangun, makanannya keburu habis,” sahut Naka, menarik tangan Icung agar segera berdiri. Setelah beberapa tarikan kecil dan rengekan malas, akhirnya Icung menurut.
Di ruang tengah, keluarga Pak Eko sudah berkumpul di atas tikar untuk sarapan bersama. Lauk sederhana seperti ikan asin, sambal, dan sayur lodeh tersaji di tengah. Meski sederhana, kehangatan keluarga terasa begitu nyata. Gelak tawa dan celotehan antara Satya dan Icung mengisi udara pagi itu, sementara Naka duduk, diam-diam mengamati suasana hangat yang jarang ia temui.
Namun, saat menggigit ikan asin, wajah Naka sedikit berubah. 'Aduh, asin banget,' batinnya sambil buru-buru meneguk air putih. Ia tak terbiasa dengan makanan desa yang sederhana. Bagi Naka, roti, daging, dan susu adalah menu sehari-hari. Meski begitu, ia mencoba menikmati semuanya, menghormati keluarga Icung.
“Naka, mau ikut ke sawah nanti? Ketemu Mas Tata juga di sana,” tanya Icung dengan senyuman kecil.
“Boleh. Sekalian cari udara segar,” jawab Naka sambil mengangguk.
***
Saat ini, Naka sedang dibonceng Icung dengan motor tua yang berderu pelan. Jalan desa yang dihiasi pepohonan hijau dan sawah membentang sejauh mata memandang membuat Naka terkesima. Udara desa terasa berbeda segar, murni, bebas dari hiruk pikuk dan polusi kota.
“Indah banget, Cung. Aku jadi betah di sini,” ucap Naka sambil memandang ke langit biru yang bersih.
Icung meliriknya sekilas, tersenyum bangga. “Tuh kan, desa itu nggak kalah keren sama kota.”
Dalam hati, Naka membenarkan. Desa ini memang sederhana, tapi menyimpan keindahan dan kehangatan yang tak bisa ditemukan di tempat lain.
Pagi di desa itu begitu segar, embusan angin yang menyapu perlahan membawa aroma sawah dan dedaunan. Naka, yang duduk belakang tubuh icung, menghirup udara dalam-dalam. Sementara itu, Icung yang mengayuh sepeda dengan santai terus berbicara tanpa jeda.
“Menurutku kota lebih bagus. Banyak gedung tinggi, lebih modern. Aku pengin lihat langsung!” katanya penuh semangat.
Naka hanya menghela napas. Dalam hatinya, ia berpikir, 'Kalau saja dia tahu, di kota itu macet, polusi, dan bising. Gedung tinggi nggak seindah yang dia bayangkan.'

KAMU SEDANG MEMBACA
Lemon
FanfictionNaka kabur dari rumah dan menginap di kediaman Pak Eko, supir keluarga. Namun, di sana ia terjebak dalam jaring cinta rumit dengan anak-anak Pak Eko yang tampan. Ditulis: Minggu, 27 Oktober 2024 Selesai:-