Setelah kejadian itu Emily mengajakku pulang kampung ke rumah Papa-Mama. Dia setuju untuk tidak menceritakan segalanya yang ia tahu tentang petualangan bersama penjahat itu tanpa aku memintanya. Kami tidak mengobrol sepanjang perjalanan menuju rumah. Di pesawat dia membiarkanku istirahat dan di rumah dia tidak menggangguku. Dia memberiku ruang, bahkan ketika Papa-Mama bertanya dia hanya memberi jawaban dan meminta mereka membiarkanku istirahat.
Aku memang tidak ingin berbicara dan diganggu oleh siapapun sejak kejadian itu. Perjalanan panjang itu membuatku lebih diam dari biasanya. Tapi karena itu Papa-Mama dan semua orang tidak curiga, mereka mengenalku yang seperti itu sejak kecil.
Bingkai potret berukuran 3×4 itu berdiri diatas meja panjang di sudut dinding diruang tamu. Dibeberapa bagian meja terdapat potret-potret lain. Foto itu menarik perhatiannya tepat saat menginjakan kaki kedalam rumah.
"Aku pulang!"
"Jennie darimana saja kamu?" Mam bertanya, datang dari dapur membawa mangkok sayur asem. "Ayo makan siang,"
Aku mengalihkan pandangan dari potret itu, mendekat. Emily dan Papa lebih dulu tiba. gadis itu begitu semangat menikmati masakan Mama setelah sekian lama. Sudah bertahun-tahun kami tidak pulang ke rumah. Melepas rintu dengan masakan Mama yang tiada duanya.
Aku menarik kursi disamping gadis itu, Ia menarik mangkok sayur asem, menuangkan keatas piring.
"Akhirnya kita makan siang bersama lagi.."
"Kamu sudah mengatakan itu lima ratus kali sejak mereka datang, Rose." Emily terkekeh mendengar kalimat Papa. Papa menggelengkan kepala, mengambil nasi.
Wanita itu menghela nafas. Menahan dagu. "Habisnya.. kalian baru datang setelah sekian lama, mengapa baru pulang sekarang? Kalian tumbuh dewasa tanpa kami."
Emily mengangguk dalam gumaman. Melambaikan telunjuk. "Mama sudah mengatakan itu seribu kali." Ia terkekeh geli. Papa menyeringai.
"Maafkan kami. Jadwal kuliah sangat padat, dan pekerjaan tak bisa kami tinggalkan." Aku akhirnya membuka mulut. Emily mengangguk setuju dengan mulut penuh. Aku menatapnya. "Apalagi pekerjaannya yang tak bisa ditinggalkan sedetikpun."
Dia melotot tidak terima, bergegas menelan makanan didalam mulut. "Hei, itu bukan keinginanku.. aku juga diperintahkan tahu. Atasanku saja yang pelit,aku memohon saja dia tak akan mendengar." Aku mendengkus.
Mama tersenyum, lebih bersemangat. "Oh ya, bagaimana pekerjaan kalian?"
"Lancar. Novelku sudah yang ke-23," aku berkata acuh tak acuh. Mama mencibir, bibirnya mengerucut. Kalau informasi itu dia sudah tahu, semua keluarga kami juga tahu.
Mama lebih tahu aku tidak akan membocorkan informasi lebih banyak. Itulah kebiasaanku sejak kecil.
"Aku sudah memutuskan untuk resign. Aku tak mau bekerja disana lagi, atasannya sangat menyebalkan. Karena beliau, aku tak bisa pulang kesini." Emily cemberut. "Namun sekarang aku bisa pulang, dan akan mencari pekerjaan baru. Aku sudah melamar ke beberapa stasiun televisi. Dengan pengalaman kerjaku yang baik, aku pasti akan segera diterima." Senyumnya mengembang. Mama mengangguk setuju.
Meja makan lebih hangat. Mama terus melontarkan pertanyaan kepada kami, lebih tepatnya semua dijawab oleh Emily. Aku terlalu malas menjawab, dia yang mewakiliku karena sebagai mata-mata Papa-Mama selama kami di Jakarta. Walau tidak semua hal dia tahu, termasuk perjalananku dengan Crost Herschel.
***
Sepertinya ini sudah bulan kedua aku di rumah Papa-Mama. Pemandangan kamar masa kecilku menjadi lebih familier dari biasanya. Aku mengusap kelopak mataku tepat bersamaan Mama masuk dan membuka gordeng kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Between Villains (3)
Action"Kalau begitu, kau siap menjadi bagian dari para bedebah ini?"-Max. *** Kelompok besar yang sama. Siap memberi ketegangan oleh masalah baru. Tokoh pendatang dan masalah baru bermunculan. Petualangan Jennie kini demi membela sang kembaran dari kejara...