"Aku mau menikahi Emily."
Apa?
Aku tersedak. Mama menepuk-nepuk punggungku. Memberikan air putih. "Kamu baik-baik saja?"
Aku tidak menyahut. Menghabiskan air. Aku menatap pria itu tajam.
"Apa maksudnya itu?""Seperti yang tadi aku katakan. Aku ingin menikahi Emily."
Keningku berkerut semakin dalam. "Jen kami sudah menduga kamu akan terkejut, tapi ini diluar dari dugaan." Mama berkata.
Aku praktis menatapnya. Menduga?
"Papa-Mama sudah tahu?""Emily memberitahu pada kami lebih awal sebelum kalian datang bahwa dia akan menikah. Kami yang mengundangnya tapi dia baru sempat datang hari ini ke desa."
Aku berdecih. Menatapnya menantang. "Itu karena CEO itu baru mati sekarang, makanya dia baru bisa datang hari ini."
"Jennie!"
"Papa sudah tahu, kan. Papa masih diam saja? Atau pura-pura tidak tahu?"
Emily diam. Tangannya mengepal ujung rok.
"Aku tidak setuju. Terserah apa pendapat kalian. Tapi aku tidak akan pernah membiarkan mereka menikah. Apapun yang terjadi."
"Tapi kamu sudah tahu sekarang. Kamu harus tetap menerima pernikahanku."
Sebelah alisku terangkat. Melipat tangan. "Yakin?"
Emily mengerjap. Meneguk saliva. Tatapanku mengirim sesuatu yang tak tersampaikan, tetapi dia bisa menerima sesuatu itu hingga membuat gadis itu tak berkutik.
Papa-Mama saling tatap. Menatap kami berdua gantian. Lenggang. Ketegangan antara kami berdua seperti tumpah ke langit-langit ruang tamu mempengaruhi Papa-Mama dan Pablo."Jen—"
"Emily." Aku tidak berteriak, tapi suara tegas ku berhasil membuatnya membisu.
Aku bangkit. Meninggalkan cangkir ku yang kosong bersama ke-empat orang itu. Aku masuk ke kamar. Entah apa yang terjadi setelahnya aku memilih mengurung diri sampai malam hari tiba. Bukannya aku mengurung diri karena takut, aku hanya tidak mau memperdebatkan hal yang sudah jelas. Aku tidak setuju. Apapun keputusan Papa-Mama itu tidak akan mengubah keputusanku. Masa bodo keputusan Emily, gadis itu masih sama labilnya dengan gadis seusianya.
Aku turun dari kamar. Mengambil air dari dispenser. Papa duduk menonton Tv, Mama di meja makan sedang menjahit sarung tangan anti panas-nya yang berlubang.
Aku meletakan gelas kosong. Diam. Membelakangi Mama. Dia tidak membuka suara sejak aku tiba. Perasaannya campur aduk sejak kejadian tadi. Dia menghela nafas, menjauhkan pikirannya yang sejak awal tertuju padaku bukan pada sarung tangan.
"Jen."
Aku membalikkan badan, menatapnya tanpa eskpresi.
"Emily kembali ke Jakarta bersama Pablo." Aku ber'oh'ria. "Setelah kamu masuk kamar, mereka pergi. Emily berkemas, katanya dia pulang duluan. Selain itu dia sudah mendapatkan pekerjaan baru di stasiun televisi yang lebih besar."
Aku tidak menanyakan kapan waktu mereka pergi. Itu bukan sesuatu yang ingin aku tahu. Jika mereka pergi, itu tidak memberikan kejelasan tentang hubungan mereka selanjutnya. Tapi jelas Emily membangun tembok denganku. Dia tidak mengatakannya tapi dia kesal padaku.
Perjalanan di mobil bersama Pablo menuju bandara hening. Emily lebih banyak diam menatap keluar jendela daripada mengobrol bersama sang kekasih. Perkataan Jennie masih terngiang di pikirannya. Dia hanya bingung dengan apa yang Jennie katakan, tapi juga kekecewaan dengan penolakan keras dari sang saudari.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Between Villains (3)
Action"Kalau begitu, kau siap menjadi bagian dari para bedebah ini?"-Max. *** Kelompok besar yang sama. Siap memberi ketegangan oleh masalah baru. Tokoh pendatang dan masalah baru bermunculan. Petualangan Jennie kini demi membela sang kembaran dari kejara...