BAB 3 🔞

79 8 5
                                    


            

   Zhou Shiyu menatap WangYi dengan harapan baru yang muncul di hatinya. “WangYi, bisakah kita ke apartemenmu?” tanyanya, dengan penuh kerentanan. “Mungkin di sana aku akan leluasa bercerita tanpa ada yang mengganggu.”

WangYi tersenyum lebar, senyuman yang membuat hati Zhou Shiyu bergetar. “Tentu, aku senang kamu ingin berbagi. Kita bisa pergi sekarang juga,” jawab WangYi, semangatnya menular ke Zhou Shiyu.

Zhou Shiyu merasa seolah beban di pundaknya mulai sedikit terangkat. Ia tahu bahwa di apartemen WangYi, ia bisa berbicara dengan bebas tanpa takut akan penilaian atau pertanyaan yang tidak ingin dijawab.

Mereka berdua berdiri, dan WangYi mengulurkan tangan, mengajak Zhou Shiyu keluar dari kafe. “Ayo, kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk mendengar ceritamu,” ucap WangYi dengan semangat, dan Zhou Shiyu merasa beruntung memiliki seseorang seperti WangYi di sampingnya.

Dalam perjalanan ke apartemen, Zhou Shiyu berusaha menenangkan diri, berjanji pada dirinya sendiri bahwa malam ini ia akan berani membuka hati. Ia akan berbagi tentang semua yang selama ini membebani pikirannya—tentang MingYu, tentang kesedihan dan kekecewaan yang terus menghantuinya.

Saat mereka tiba di apartemen WangYi, suasana di dalamnya terasa hangat dan nyaman. WangYi mempersilakan Zhou Shiyu duduk di sofa, lalu ia menuju dapur untuk menyiapkan minuman. “Apa kau mau teh atau kopi?” tanya WangYi dari jauh.

“Air saja, terima kasih,” jawab Zhou Shiyu, mencoba menenangkan diri. Begitu WangYi kembali dengan dua cangkir teh, Zhou Shiyu merasa suasana semakin akrab.

“Jadi, Shiyu,” WangYi memulai, matanya penuh perhatian, “apa yang ingin kau ceritakan?”

Zhou Shiyu menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk membuka diri. “Ada banyak hal yang ingin ku katakan…” katanya perlahan, suaranya bergetar, namun tekadnya sudah bulat. Malam ini, ia akan berbagi semua yang ada di dalam hatinya.

Zhou shiyu meneguk air yang berada di tangannya, dengan penuh keyakinan dirinya ingin jujur kepada wangYi siapa sebenarnya dirinya,

Zhou Shiyu menatap WangYi, berusaha merangkai kata-kata yang tepat untuk menyampaikan isi hatinya. “WangYi, sebenarnya aku… ingin jujur. Kalau aku ini…” Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, matanya tertangkap oleh sebuah foto yang terpajang di dinding apartemen. Dalam foto itu, WangYi berdiri tersenyum di samping seorang wanita cantik dengan tatapan bahagia.

“Siapa dia?” tanyanya, rasa ingin tahunya mengalahkan keraguannya untuk berbicara.

WangYi terdiam sejenak, melihat ke arah foto itu dengan tatapan yang berubah. “Dia Ranran, mantan pacarku Kami bersama sejak lama, tetapi pada akhirnya dia berselingkuh,” jawabnya, nada suaranya tampak sedikit suram.

Mendengar jawaban itu, Zhou Shiyu merasa sedikit terkejut. “Oh, aku… maaf mendengar itu,” ucapnya, merasakan simpati terhadap WangYi yang pernah mengalami pengkhianatan.

“Aku benci pengkhianat, Zhou Shiyu,” kata WangYi, dengan nada penuh emosi. “Rasa sakitnya tak akan pernah bisa hilang Itu membuatku sulit untuk mempercayai orang lain lagi.”

Zhou Shiyu merasakan getaran dalam hati ketika mendengar perkataan WangYi. Ia ingin menghibur, tetapi di saat yang sama, ia tahu bahwa ia sedang berada di ambang sebuah pengakuan yang sulit. Ia mengingat perasaannya selama ini, bagaimana ia juga terjebak dalam situasi yang sama—perasaan tidak dicintai oleh MingYu dan rasa bersalah yang menghantuinya karena menjalin hubungan dengan WangYi.

“WangYi, aku mengerti perasaanmu,” katanya pelan, menatap mata WangYi. “Aku juga merasakan sakit ketika seseorang yang kita cintai mengkhianati kepercayaan kita.”

J'aime Deux CouersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang