Manusia, hanya sekedar saling menyalahkan. Benar begitu, bukan? Penjelasan seolah angan-angan semata.
Dan, aku sangat membenci bersusah payah menjelaskan yang sudah jelas, tidak ada jalan keluarnya.
¤
"Jadi, ini kelakuanmu di belakang abi?" Bashar menatap sang adik yang tidak ada takutnya, gadis itu menatap Bashar kemudian tersenyum.
"Sejak kapan lo peduli, pulang aja harus ada kabar duka dulu."
Keterlaluan, Imalara tidak senang dengan kepulangan Bashar? Bukan begitu, ia sungguh merindukan pelukan hangatnya, hanya saja situasi berbeda kini. Tidak ada tatapan penuh kasih, lelaki berusia 25 tahun itu nampak tidak bersahabat. Guratan kekecewaan, dan amarah menjadi satu ketika menatapnya.
Sorot mata Bashar terlihat tajam. "Pulang." Hanya itu yang mampu ia ucapkan, kepada Imalara.
"Gak usah sok peduli, mending pergi... ingat, kita cuman saudara tiri." Imalara sengaja menekan perkataannya, menepis lengan Bashar yang hendak menyentuh.
Gadis itu mengibaskan rambut panjangnya dengan angkuh. "Seharusnta putra sangat sempurna kayak lo, menemani abi, bukan mengurusi gue," melanjutkan perkataannya.
"Pulang."
"Kemana? Emang itu rumah gue, bukan, kan."
"Pulang imala!" Gertak Bashar mulai terpancing emosi. "Tidakkah kamu menyesal, telah membuat umma kehilangan nyawanya? Dimana letak hati nuranimu."
Terkekeh miris, Imalara menggelengkan kepalanya pelan. "Gak tahu, bahkan otak aja kayaknya gue gak punya." Mengedikan bahu tak acuh, ia memandang langit malam untuk mencegah bulir-bulir sialan itu jatuh.
"Berhenti merendahkan dirimu sendiri, lebih baik kamu menyesali sikap kurang ajarmu," ucap Bashar.
Kecewa, benci, tidak suka mungkin ia berada pada situasi seperti itu. Bashar tetap menyayangi Imalara, gadis itu selalu tega merendahkan dirinya sendiri—Imalara memang sulit diterka, entah harus bagaimana cara menghadapinya.
"Semua orang mungkin menyalahkan gue, saat ini. Ya, terserah memang faktanya gitu."
"Kamu hanya perlu menyesal," lirih Bashar.
"Menyesal, bagaimana caranya?"
Meledek sekali, seharusnya mereka di pertemukan dengan penuh kebahagiaan setelah lama berpisah. Imalara sungguh ingin berlari memeluk tubuh kekar itu, hanya saja, situasi itu ada pada angan-angan, tidak mungkin terkabulkan.
"Mengapa kamu lebih memilih merayakan ulang tahunmu, dengan pacarmu itu?" Menatap Imalara kemudian, Bashar sungguh tidak habis pikir.
"Karena dia yang selalu belain gue di setiap keadaan," menjawab tanpa merasa bersalah, atas ucapannya.
Bashar mengepalkan tangannya. "Umma yang melahirkan kamu, dek!"
"Benar, siapa yang bilang gue dilahirkan oleh Abi? Gak ada, tuh." Menyahut dengan tatapan menantang.
"Hormati umma, bisa?"
Bisa, aku selalu begitu.
"Gak." Hati, dan mulut menjawab sebaliknya.
Bashar mencengkram erat kedua bahu Imalara. "Mau kamu apa, mengapa kamu tumbuh seperti ini?"
"Berhenti bahas umma, kenapa urusan penyesalan, dan rasa bersalah gue harus di umbar-umbar? Apa perlu gue berdiri diatas monas, terus ngumbarin semua itu di depan orang. Biar mereka bisa teriak 'Dasar anak durhaka' sepuasnya?" Tutur Imalara dengan tatapan jengkel. "Bang, lo gak ada niatan bertanya apa yang umma lakuin ke gue? Oh, orang tua gak pernah salah, lupa." Kekehnya diakhir kalimat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Books
Teen FictionTentang Imalara Syakinah, seorang gadis penderita disleksia. Sejak kecil gadis itu selalu bermimpi, menjadi seorang penulis terkenal seperti sang ibu. Sulit bagi Imalara mendapatkan sekolah yang bisa menerima kekurangannya, hingga saat SMA sebuah se...