Serena menatap layar ponselnya dengan tatapan penuh harap, jari-jarinya mengetuk-ngetuk ringan permukaan perangkat itu. Sudah lima belas menit berlalu sejak ia mengirim pesan kepada Sandy, tetapi belum ada balasan. Ekspresi wajahnya menunjukkan ketidak sabaran, seolah-olah waktu sudah melambat hanya karena menunggu balasan.
Suasana di sekitarnya dipenuhi oleh mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kuliah, beberapa dari mereka melintas di depannya yang kini duduk di tepi kolam air mancur berbentuk lingkaran, dikelilingi gemericik air yang seharusnya menenangkan, namun hanya membuatnya semakin tidak sabar.
Waktu terus berlalu, dan ketidakpastian itu semakin menekan pikiran Serena. Dengan jantung berdebar, dia mengambil keputusan untuk meneleponnya. Namun, suara nada dering yang sepi hanya menegaskan bahwa panggilannya tak tersambung.
Serena berdecak kesal. "Dia lagi ngapain sih? Chat nggak dibales, telepon juga nggak dijawab," gerutunya, seolah mengharapkan ponselnya bisa menjawab kebingungannya.
Tatapannya melayang ke sekeliling, memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Dalam hatinya, dia mulai menyimpulkan bahwa mungkin Sandy sudah pulang lebih dulu. Namun, dengan cepat dia membantah asumsinya. Orang seperti Sandy pasti akan mengajaknya pulang bersama, terutama sekarang mereka tinggal satu atap, meskipun baru sehari.
Dengan perasaan campur aduk, Serena menolak kembali pikirannya itu. "Ngapain gue berharap bisa pulang bareng dia? Lagian, bukan itu tujuan gue nyari dia..." gumamnya acuh, berusaha meyakinkan.
Dari kejauhan, sosok yang ia cari akhirnya muncul, keluar dari gedung fakultas dengan langkah tenang, namun tidak sendiri. Di sampingnya ada Mika, tersenyum sambil berbicara dengan akrab. Keakraban itu menorehkan sedikit rasa aneh di hati Serena, meskipun ia tahu bahwa tidak ada yang seharusnya membuatnya terganggu.
Tanpa berpikir panjang, Serena bergegas menghampiri mereka, langkahnya hampir berlari.
"Sandy!" panggilnya dengan nada sedikit tinggi, membuat Sandy menoleh dengan ekspresi bingung.
Mika di sampingnya tersenyum ramah. "Hai, Serena," sapanya dengan hangat.
Serena menghentikan langkah tepat di hadapan mereka. "Hai, juga Mika. Gue pinjam Sandy sebentar, ya!" katanya dengan nada bersahabat namun jelas.
Mika mengangguk, tersenyum tanda setuju. Sementara, Sandy masih terlihat kebingungan dengan sikap Serena yang tiba-tiba itu.
"Gue kira lo udah pulang duluan," ucap Sandy, suaranya menunjukkan ketidakpastian.
Yap, kalimat itu seolah menegaskan bahwa Sandy tidak berniat sama sekali untuk mengajaknya pulang bersama. Serena merasa kecewa dengan ekspetasinya sendiri yang terlalu menaruh harapan pada orang yang baru dia kenal sehari. Namun, dia cepat-cepat mengesampingkan perasaan itu. "Lo sendiri abis ngapain jam segini baru keluar?" tanyanya, nada kesalnya tersirat.
"Tadi siang, lo kan tahu sendiri kalo gue sama Mika lagi ke ruangannya Bu Gita abis kuliah," jawab Sandy santai, terlihat tidak terpengaruh dengan suasana hatinya.
Serena menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. "Nanti jam 4, bantuin gue cari kos," pinta Serena tanpa banyak kata, mengalihkan pembicaraan dari topik sebelumnya.
"Ya udah, sekarang aja kita carinya," sahut Sandy, tampak tidak ingin menunggu lebih lama.
Serena menggeleng, "Gue ada piket di perpustakaan sebentar, nanti gue kabarin lagi kalau udah selesai."
"Oke, gue jadi ada waktu satu jam buat ke kafe," kata Sandy, nada santainya masih terjaga.
"Pasti mau PDKT sama Mika di sana, ya?" goda Serena, senyum jahil mengembang di wajahnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/376352098-288-k999879.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap, Satu Hati
RomanceSinopsis Novel "Satu Atap, Satu Hati" Sandy, seorang pemuda yang baru memasuki dunia perkuliahan, hidup sendirian setelah keluarganya memutuskan untuk menetap di luar kota demi pekerjaan. Kabar yang telah sering ia dengar kembali datang: orang tuany...