H2-10 : Satu sore yang menyakitkan

9 3 1
                                    

Sandy membalik halaman demi halaman novel di tangannya, tenggelam dalam alur cerita yang seakan membawa dirinya jauh dari dunia nyata. Di sekelilingnya, perpustakaan itu terasa sunyi dengan cara yang berbeda. Bukan sunyi yang biasa hadir saat orang-orang sibuk membaca dalam hening, melainkan sunyi yang benar-benar mengisyaratkan kesepian perpustakaan itu, saat sisa-sisa cahaya sore menembus jendela, melukis bayangan di sepanjang lantai dan rak-rak buku.

Sandy sesekali melirik jam di pergelangan tangannya, menghela napas. Ia sebenarnya tak keberatan menunggu, tapi menantikan Serena yang sedang menyelesaikan tugas piketnya di perpustakaan membuat waktu terasa berjalan lambat. Sore itu, keheningan dan sepi menciptakan atmosfer tersendiri, seakan ruangan itu tahu bahwa yang ditunggu Sandy lebih dari sekadar waktu berlalu.

"Sorry San, gue nggak tahu bakal selesai jam setengah lima. Maaf banget udah bikin lo nunggu lama," suara Serena tiba-tiba terdengar, membuat Sandy mengangkat wajahnya. Gadis itu berdiri di depannya dengan raut wajah lelah, namun tetap menampilkan senyuman tipis.

Sandy hanya tersenyum kecil. "Nggak masalah. Yuk, keburu malam kalau kelamaan di sini."

Serena mengangguk setuju. Mereka melangkah beriringan keluar perpustakaan, meninggalkan kesunyian yang perlahan kembali merajai ruangan itu.

Saat mereka berjalan di koridor kampus yang mulai lengang, Sandy membuka percakapan dengan santai. "Jadi, lo mau cari kos khusus cewek atau yang campuran nanti?"

Serena berpikir sejenak, wajahnya menunjukkan keraguan sebelum akhirnya menjawab, "Kalau bisa sih yang khusus cewek."

"Kos cewek biasanya ada jam malamnya, kan?" tanya Sandy, memiringkan kepala.

Serena mengangguk pelan. "Iya, sih. Tapi tempat kos gue yang dulu nggak ada jam malam."

Sandy menatapnya dengan pandangan penasaran. "Jadi, lo mau yang nggak ada jam malamnya lagi?"

Serena menatapnya sebentar, lalu mengangkat bahu. "Gue sih nggak masalah ada jam malamnya, tapi kalau kosnya jauh dari kampus, percuma juga. Belum lagi gue nggak punya kendaraan, jadi bakal ribet kalau harus pulang telat."

Sandy mengernyitkan dahi, ekspresi jahil muncul di wajahnya. "Gue nggak mau tiap malam jadi ojek gratis, loh."

Serena melipat tangan di depan dada, ekspresi wajahnya tajam dan penuh penolakan. "Dih, siapa juga yang mau nebeng pake motor yang joknya super sempit kayak punya lo. Nggak usah ge'er," sindir Serena, mengingat pengalamannya menaiki motor bratcafe Sandy yang membuatnya kesulitan duduk dengan nyaman.

Sandy tertawa kecil. "Seharusnya, lo bersyukur udah gue kasih tumpangan kemarin."

Serena menyipitkan mata, tersenyum sinis. "Bersyukur, ya? Lo juga harusnya bersyukur udah gue bikinin makanan akhir-akhir ini. Lihat aja, sebentar lagi lo bakal nyesel kalau gue udah dapat kos sendiri."

Sebelum Sandy sempat menanggapi, tiba-tiba suara yang familiar memanggil mereka dari belakang. "Kalian mau ke mana?" Suara dingin yang ternyata berasal dari Susan. Entah kenapa, orang itu selalu muncul tiba-tiba dan memanggil mereka dari belakang-sebuah kebiasaan yang tidak biasa.

Serena menoleh, wajahnya seketika berubah. Tidak ada senyum ramah, maupun sapaan hangat. Hanya dingin yang tersisa. "Bukan urusan lo," balas Serena dengan nada sinis. la melirik Sandy, memberi isyarat untuk segera pergi.

Namun, Susan tak mundur. Suaranya terdengar tegas dan penuh kesabaran yang mulai habis. "Serena, mau sampai kapan lo gini terus?"

Serena tetap membelakangi Susan, tatapannya terfokus lurus ke depan. Sandy, yang berdiri di antara mereka, menyadari bahwa situasi ini akan menjadi lingkaran yang tidak pernah berakhir. la tahu bahwa sesuatu perlu diubah, atau mereka semua akan terus terjebak dalam ketegangan ini. Mengambil napas panjang, ia mencoba menghalangi perseteruan itu.

"Susan, sebaiknya lo jangan ganggu Serena dulu," ucap Sandy, berusaha sekuat tenaga menjaga nada suaranya tetap lembut, meski ia tahu peringatan itu mungkin tidak akan digubris.

Namun, Susan membiarkan senyum sinisnya mengembang, tatapannya tak lepas dari Serena. "Kalau lo nggak mau jawab, gue bisa kok tanya ke Sandy," jawabnya, sengaja mengeraskan suaranya agar Serena mendengar. "Jadi, kalian mau kemana?"

Sandy terdiam, merasa terjebak. Serena sudah dengan jelas menolak untuk berbagi tujuannya dengan Susan, yang berarti ia juga tidak ingin Sandy mengungkapkan apa pun pada Susan. Namun, menatap mata tajam Susan yang menuntut jawaban, ia tahu pilihan ini sulit.

"Gue sama Serena cuma mau makan bareng kok," jawab Sandy sekenanya, mencoba tersenyum walau sedikit canggung.

"Lo pikir gue bego? Lo pasti bohong, kan?" ucapnya tak puas.

Sandy berusaha mempertahankan senyum, meski terasa kikuk. "Gue udah jawab sesuai permintaan lo. Tapi kalau lo nggak percaya, itu urusan lo."

"Gue nggak akan biarin kalian pergi sebelum lo jawab yang jujur," desak Susan keras.

Akhirnya, Serena memotong dengan nada dingin dan tegas, "Gue mau cari kos baru." Nada suaranya menegaskan bahwa ia tak ingin perdebatan ini berlangsung lebih lama. "Udah tahu, kan? Gue pergi sekarang."

Susan terdiam sejenak, namun tak mampu menahan luapan emosinya. "Jangan bercanda, Serena. Gue tahu lo ngomong kayak gini karena ke bawa suasana aja, kan?"

Serena menatap Susan, mata mereka bertemu dalam tatapan tajam yang penuh emosi. "Gue serius. Gue mau cari kos baru karena gue udah muak sekamar sama lo."

Kata-kata Serena menusuk Susan. Wajahnya memucat, tertegun, namun tetap berusaha mempertahankan emosinya. "Segitu gampangnya lo mutusin buat pergi? Seolah-olah lo nggak pengin kenal gue lagi?" suaranya serak, penuh kebingungan. "Asal lo tahu, Serena. Gue ke sini karena gue pikir kita masih punya sesuatu yang layak diperjuangkan," ucap Susan dengan suara gemetar. "Gue yang selalu ada buat lo. Gue yang bertahan dengan sifat lo yang dingin dan susah dideketin, bahkan nggak semua orang sanggup nerima lo. Tapi apa? Lo malah buang gue kayak sampah."

Susan menarik napas panjang, berusaha mengendalikan dirinya yang mulai berantakan. "Gue udah capek, Serena! Capek buat selalu sabar, capek buat selalu ngerti lo. Lo pikir gampang buat gue terima semua yang lo lakuin? Lo pikir gue nggak ada harga dirinya?" suaranya naik, memancarkan ketidakberdayaan. "Gue bertahan, karena gue mikir lo butuh gue. Apa lo nggak pernah mikirin perasaan gue sedikit pun? Gue udah berusaha keras buat ada buat lo, gue yang terus-terusan ngertiin lo, bahkan tiap kita ribut dengan cara yang nggak jelas, gue masih nerima lo lagi, tapi lo malah ngerasa semuanya itu nggak berarti. Gue berjuang sendirian, sedangkan lo malah pergi tanpa ngasih penjelasan!"

Serena tertunduk, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Sandy, yang berada di dekat sana, merasa bahwa keadaan sudah melampaui batas. "Cukup, Susan," ucapnya pelan, berusaha mengakhiri konflik ini.

Namun Susan terus melanjutkan, suaranya menggema di koridor yang sepi. "Jadi segitu murahnya gue di mata lo? Lo tuh egois, Serena! Lo nggak punya hati!" teriak Susan dengan penuh emosi, tangannya mengepal erat. "Sekarang gue sadar, lo lebih suka sendiri. Lo emang nggak pantas dapetin orang yang peduli sama lo. Lo nggak layak jadi teman."

Plak!

Ucapan Susan terhenti saat tamparan keras Serena mendarat di pipinya. "Lo yang nggak pernah ngerti perasaan gue," ucap Serena dengan nada getir, lalu segera berbalik pergi, meninggalkan Susan yang terkejut.

Sandy, yang terdiam melihat semuanya, cepat-cepat menghampiri Serena saat gadis itu berbalik dan berjalan menjauh. "Serena, tunggu!" panggilnya sambil mengejar Serena yang kini berjalan cepat meninggalkan Susan, tanpa sekalipun menoleh ke belakang.

Di belakang mereka, Susan hanya bisa berdiri membisu, masih memegang pipinya yang memerah, dan tatapan kosong di matanya tak bisa menyembunyikan luka yang mendalam. Perasaan kecewa dan amarah bergejolak di dadanya, namun semua itu kini hanya tertahan di dalam hening yang menyesakkan.

Satu Atap, Satu HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang