06

195 39 13
                                    

"Permisi, Tuan Park?" Suara sapaan serta tepukan pada bahunya menyadarkan si pria manis dari lamunan.

Sepasang mata cantiknya mengerjap beberapa kali. Dengan kening yang berkerut ia menatap sekitar, halaman depan kantor. Jadi semua kejadian itu hanya khayalan semata? Sikap lembut Yoongi serta pelukan yang ia terima tidak lebih dari sekedar halusinasi?

Tentu saja, lagi pula apa yang diharapkan? Tidak mungkin pria yang selalu berlaku kejam padanya dapat berubah menjadi sangat romantis dalam sekejap. Apalagi pagi tadi ia baru saja mendapatkan cacian dari orang yang sama.

Raut kecewa mulai tergambar di wajah manis Jimin. Perlahan ia memusatkan perhatian pada pria jangkung di hadapannya.

"Y--ya?"

"Aku Jung Hoseok, sekertaris sekaligus teman dekat Yoongi. Kemarin aku juga datang ke pernikahan kalian. Ada yang bisa aku bantu?" Pria yang rupanya Hoseok itu menyuguhkan sebuah senyuman lebar pada Jimin.

"A--aku, maksudku saya ingin mengantarkan makan siang untuk Kak Yoongi. B--bisakah anda menunjukkan dimana ruangannya?"

"Ah, dengan senang hati. Ayo!" Hoseok berbalik dan mulai melangkah memasuki gedung perusahaan diikuti Jimin yang berjalan dengan gugup di belakangnya.

"Untung kau datang." Celetuk Hoseok memecah keheningan yang sempat tercipta di tengah langkah keduanya.

"Huh?" Jimin mendongak, menatap punggung pria Jung dengan raut bingung.

"Ya. Yoongi tipikal orang yang jika sudah larut dalam pekerjaan maka tidak akan mengalihkan fokusnya pada hal lain. Termasuk makan. Dia tidak akan mau repot-repot beranjak hanya untuk makan.

Jadi setelah dia menikah dengan Minji aku sangat bersyukur karena ada yang memperingatkan dan membawakan bekal makan siang untuknya makan.

Tapi setelah kabar duka itu aku jadi sedikit khawatir tidak akan ada lagi yang melakukan seperti yang Minji lakukan. Maka dari itu aku berterimakasih padamu sudah mau datang mengantarkan makanan Yoongi."

"Tidak masalah. Sebenarnya saya tidak tahu apa yang selalu dilakukan Kak Minji setelah menikah. Malah saya baru tahu dari Bibi Shin tadi." Ucap Jimin. Sebuah senyum tipis ia tampilkan meski tidak terlihat oleh pria di hadapannya.

"Oh ya, Tuan Park!" Tiba-tiba Hoseok menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Jimin yang juga menatapnya. "Jujur aku sedikit tidak nyaman dengan obrolan kita tadi, karena kau yang selalu berbicara formal padaku. Aku ingin kita berbicara santai layaknya teman.

Jadi bolehkah jika kita saling memanggil nama? Seperti yang aku lakukan saat berbicara dengan Minji dulu. Itupun jika kau tidak keberatan."

Senyuman semakin lebar terpatri di wajah manis Jimin. Sudah lama ia sangat menginginkan seorang teman dalam hidupnya. Menderita penyakit sejak usianya yang masih sangat muda, membuatnya harus selalu berdiam diri di rumah. Sekalinya keluar, itupun jika akan pergi ke rumah sakit untuk mengontrol penyakitnya. Pendidikan pun ia lakukan dengan sistem homeschooling.

Semua itu atas permintaan ibu dan sang kakak yang tidak ingin dirinya kenapa-napa, walaupun pada akhirnya tetap harus meninggalkan dunia.

Sebenarnya ia tidak akan terlalu berharap untuk apa yang terjadi pada hidupnya. Masih diberi kesempatan bernafas dan dapat menyaksikan rupa matahari hingga saat ini saja sudah membuatnya cukup bersyukur.

Dan sekarang bertemu dengan seseorang yang menawarkan sebuah pertemanan padanya tentu merupakan sebuah mimpi baginya yang sampai kapanpun tidak akan pernah ia tolak. Malah dengan sangat senang hati ia terima.

"Tentu saja boleh. Aku senang bisa memiliki teman. Tunggu, sekarang apa bisa kita disebut teman?" Tanya Jimin.

Hoseok terkekeh dan itu terlihat sangat tampan di mata Jimin. "Ya, sekarang kita teman."

Hargai Aku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang