Hidup ini seperti perjalanan panjang. Tak semua yang kita temui akan ikut serta hingga akhir, dan itu tidak masalah. Beberapa hanya singgah untuk meninggalkan pelajaran berharga, dan pergi membawa sebagian hati kita. Kadang, ada kerinduan di hati ini, bertanya pelan, 'Apakah mungkin yang telah pergi untuk kembali?'
HARI INI, Mila sudah di izinkan dokter untuk kembali ke rumahnya dengan catatan tambahan dia masih harus konsultasi kesehatannya setiap akhir pekan.
"Kembali ke tempat yang selalu membuatnya merasa nyaman" Hati Mila merasakan kebahagian yang tak terungkapkan.
Di koridor rumah sakit, Rizky sudah menunggunya dengan senyuman hangat. "Siap pulang, tuan putri?" candanya sambil membantu Mila membawa tas kecilnya. Mila tersenyum kecil dan mengangguk, menahan keinginan untuk mengucapkan sesuatu yang lebih dari sekadar "terima kasih." Mereka meninggalkan rumah sakit dan menuju mobil dengan langkah pelan tapi pasti.
Di perjalanan, mereka berbincang ringan. Mila sesekali menatap keluar jendela, menikmati pemandangan yang sudah lama tidak dilihatnya. Rimbunan pepohonan dan hijaunya dedaunan di sepanjang jalan mengingatkan Mila pada ketenangan yang selama ini ia rindukan. Hari ini, ada semacam kelegaan yang tumbuh dalam hatinya, seperti embun pagi yang perlahan-lahan menghilang saat matahari mulai bersinar.
"Berarti kalau udah sembuh gini, kamu akan kembali lagi ke kampus?" tanya Rizky sambil menyetir mobilnya dengan perlahan kemudian itu ia memberhentikan mobil.
Mila menoleh, sedikit terkejut dengan pertanyaan Rizky yang tiba-tiba. "Hmm... mungkin, tapi rasanya belum siap sepenuhnya," jawab Mila pelan, menunduk. Ada keraguan di matanya yang tak bisa disembunyikan.
Rizky menatapnya sejenak, lalu tersenyum penuh pengertian. "Kadang, perjalanan menuju pemulihan itu memang butuh waktu. Yang penting, kamu tetap punya keinginan untuk melangkah."
Kemudian, ia pun mengeluarkan kertas dan pulpen yang di berada di laci dashboard, lalu menuliskan sepenggalan kata di kertas tersebut. Rizky menuliskan sesuatu di kertas kecil itu, dengan gaya tulisannya yang rapi dan setelah selesai, dia melipat kertasnya dan menyodorkannya kepada Mila.
"Ini untuk kamu," ucap Rizky sambil tersenyum. Mila menerima kertas itu dengan hati berdebar, sedikit penasaran dengan isinya. Perlahan, dia membuka lipatan kertas tersebut.
Di sana tertulis :
"Hari-harimu adalah anugerah yang tak terhitung. Jangan pernah lupa bahwa kamu berharga, dan ada begitu banyak hal menakjubkan yang menantimu. Jika kamu siap, kamu akan melangkah menggapai impian dan berani menghadapi masa depan, apa pun itu."
Mila membaca tulisan itu dengan hati berdebar. Kata-kata Rizky terasa seperti sebuah dorongan lembut namun penuh makna, bak mengisi ruang kosong dalam hatinya dengan kekuatan dan harapan baru. Perlahan, ia menutup kembali kertas itu, menyimpannya dengan hati-hati dalam tas kecilnya, seolah-olah kertas itu adalah jimat keberuntungan.
"Aku akan menyimpan ini, tuk selamanya!" batin Mila.
Sesampainya di rumah, Mila disambut oleh suasana yang membuatnya merasa benar-benar pulang. Aroma kayu dan dedaunan yang segar menyeruak di setiap sudut rumah kecilnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan setiap detik kehadirannya di tempat ini. Tumpukan buku favoritnya, bantal kecil yang sudah sedikit lusuh, dan foto-foto lama bersama teman-temannya, semua tampak seperti benda-benda yang hidup kembali, menemaninya setelah sekian lama terpisah.
"Ayah..., Ibu..." teriak gadis itu sembari berlari memeluk ayah dan ibunya.
Ayah dan ibu Mila menyambutnya dengan pelukan hangat, menyembunyikan air mata haru yang tak terbendung. Setelah semua yang terjadi, kehadiran Mila di rumah adalah anugerah yang tak ternilai. Ayahnya menepuk lembut pundaknya, sementara ibunya merapikan rambut Mila dengan penuh kasih sayang.
"Mila, akhirnya kamu kembali," bisik ibunya sambil tersenyum.
Mila tersenyum bahagia. Kehangatan keluarganya membuatnya merasa benar-benar utuh, seolah beban yang selama ini dia rasakan mulai sirna. Rizky yang berdiri di ambang pintu, memperhatikan pemandangan tersebut dengan senyum kecil. Dia tahu, perjalanan Mila menuju pemulihan baru saja dimulai, tapi dia sudah melihat tekad yang tumbuh dalam diri gadis itu.
Setelah beberapa saat bercengkerama dengan keluarga, Mila menghampiri Rizky yang masih menunggu di teras depan rumah.
"Terima kasih sudah mengantarku, Rizky," ujar Mila dengan suara lembut.
Rizky mengangguk, melipat kedua tangannya sambil tersenyum. "Apa pun untukmu, Mila. Kamu butuh apa saja, aku selalu di sini."
Mila merasa nyaman mendengar ucapan itu, namun dia tahu, ada sesuatu yang ingin dia katakan pada Rizky. Setelah beberapa detik terdiam, Mila mengambil napas dalam.
"Rizky," panggilnya sambil menatap dalam ke arah pemuda itu. "Aku... kadang merasa semua ini seperti mimpi. Aku tahu aku belum sepenuhnya pulih, tapi di saat seperti ini, aku merasa lebih kuat. Dan semua itu berkat kamu."
Rizky terdiam, sedikit terkejut. Ia menggaruk belakang lehernya, tersenyum canggung. "Ah, aku cuma ngasih sedikit dorongan aja, Mila. Semua kekuatan itu datang dari kamu sendiri."
Keduanya tertawa kecil, mencairkan suasana. Lalu, Rizky mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah gelang sederhana yang terbuat dari benang warna-warni dan satu kalung yang berinisial MR.
"Aku buat ini sendiri," katanya sambil menyodorkan gelang itu pada Mila. "Mungkin nggak banyak artinya, tapi ini simbol kalau kamu nggak sendiri. Jadi, kapan pun kamu merasa lemah atau takut, lihat gelang ini dan ingat kalau ada orang yang selalu mendukungmu dan untuk nama di kalung itu sengaja aku beri singkatan MR, yaitu Mila - Rizky."
Mila meraih gelang itu dengan tangan bergetar, menatapnya penuh rasa haru. Dia mengenakannya di pergelangan tangannya, dan entah kenapa, gelang itu terasa lebih dari sekadar aksesori.
"Kalau begitu, aku pulang ya.." ucap Rizky sambil memberikan kalung itu kepada Mila.
Mila menggenggam kalung yang baru diberikan Rizky, ia bak merasakan kehangatan yang mengalir dari benda sederhana itu. Inisial "MR" pada kalung tersebut membuat hatinya berdesir. Sambil melihat Rizky yang bersiap pergi, Mila tiba-tiba merasakan dorongan kuat untuk menghentikannya, namun kata-kata yang ingin dia ucapkan hanya menggantung di tenggorokan.
Rizky yang melihat ekspresi Mila hanya tersenyum lembut, lalu melambaikan tangan. "Jaga dirimu baik-baik, Mila. Aku akan kembali lagi," katanya sebelum berbalik meninggalkan halaman rumah.
Setelah sosok Rizky hilang di balik gerbang, Mila menatap gelang dan kalung itu, merasakan ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia masuk ke dalam rumah, mengelus pergelangan tangannya di mana gelang itu melingkar.
"MR..." batinnya.
Mila memandang pantulan dirinya di cermin sambil mengenakan kalung tersebut. Ia mengelus inisial "MR" dengan hati-hati, seolah-olah itu adalah sesuatu yang sangat rapuh namun penuh arti.
"Aku nggak sendirian," gumamnya pelan, seolah memberi janji kepada dirinya sendiri.
Sebuah harapan baru tumbuh dalam hatinya, membuatnya merasa lebih kuat dari sebelumnya. Dengan menguatkan genggaman pada kalung dan gelang itu, Mila berbisik, "Terima kasih, Rizky. Aku akan melangkah, dan apa pun yang terjadi, aku akan terus berusaha menjadi lebih baik."