berkunjung ke rumah orangtua

183 3 0
                                    

Liburan panjang itu Laila habiskan dengan kembali ke kampung halaman, sebuah desa yang tenang jauh dari gemerlap kota besar. Perjalanan panjang terasa melelahkan, tapi begitu tiba di desa, udara segar dan pemandangan sawah yang membentang hijau menyambutnya. Desa itu terasa damai, dengan suasana akrab di mana setiap orang saling mengenal.

Ketika Laila tiba di rumah, adik perempuannya yang masih SMA, Rini, langsung menyambutnya dengan hangat. Keduanya tertawa dan bercengkrama di depan rumah, sementara Laila melambaikan tangan pada beberapa tetangga yang sedang beraktivitas di sekitar rumah, menyiangi tanaman atau menggiring hewan ternak. Di desa itu, kehidupan berjalan dalam ritme yang lebih lambat dan damai, berbeda jauh dengan hiruk-pikuk kota.

Setelah berbasa-basi dengan para tetangga, Laila segera masuk ke dalam rumah. Ia menaruh tasnya dan bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan diri, mencuci sisa-sisa lelah dari perjalanan panjang itu. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia kembali ke ruang keluarga, duduk bersama Rini yang menyiapkan teh hangat.

"Ayah dan Ibu masih di sawah, ya?" tanya Laila sambil menyeruput tehnya.

“Iya, kak. Mereka baru mulai musim tanam, jadi belakangan ini sering pulang agak malam,” jawab Rini sambil tersenyum.

Laila dan Rini berbincang panjang lebar, saling bertukar cerita tentang kegiatan masing-masing. Rini banyak bertanya tentang kehidupan kakaknya di kota, dan Laila menceritakan segala sesuatu yang membuatnya teringat masa-masa kecil mereka. Waktu berlalu tak terasa hingga senja mulai tiba, dan dari kejauhan Laila melihat siluet orang tuanya berjalan di pematang sawah, menuju rumah dengan senyum yang hangat dan wajah yang lelah.

Laila segera bangkit dari duduknya, berjalan keluar rumah untuk menyambut mereka. Tanpa ragu, ia menghampiri dan menyambut mereka dengan pelukan, merasakan kehangatan yang hanya bisa ditemukan di rumah. Mereka berbincang-bincang hangat di depan rumah, bercanda tawa hingga malam semakin larut.

Saatnya tidur pun tiba, dan Laila baru sadar bahwa ia lupa membawa pakaian tidur. Ia melihat-lihat lemari Rini, tapi celana dan rok milik adiknya ternyata terlalu kecil untuknya. Akhirnya, Laila memutuskan meminjam kaos adiknya dan mengambil kain jarik di lemari, melilitkannya di pinggang sebagai pengganti rok. Rasanya aneh, namun juga membawa nostalgia, mengingatkan Laila pada masa kecilnya saat sering memakai kain jarik seperti itu.

Laila merasa tubuhnya cukup nyaman ketika mulai berbaring, tapi lama-lama ia menyadari bahwa gerakannya terasa terbatas. Setiap kali menggerakkan kaki, kain jarik itu terasa menahan, membatasi langkahnya dan membuatnya hanya bisa bergerak dengan langkah kecil. Rasa tak nyaman itu akhirnya membuatnya terbangun di tengah malam. Ia melirik jam dinding; sudah hampir pukul dua dini hari.

Laila duduk di atas kasur, mengusap wajahnya sambil mencoba tidur lagi. Namun, ia tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul, sebuah keinginan yang lama terpendam. Perasaan tak berdaya yang muncul akibat kain jarik itu, ternyata menggugah keinginan lamanya untuk merasakan sensasi ketidakberdayaan sepenuhnya. Ia ingin melakukan self-bondage, sebuah cara unik yang selalu membuatnya merasa tenang.

Setelah memastikan semua orang sudah tertidur, ia meraih tasnya dan mengeluarkan beberapa benda yang biasa ia gunakan saat melakukannya. Pertama-tama, ia melilitkan selimut di kedua kakinya, menciptakan ikatan lembut yang memastikan langkahnya benar-benar terbatas. Kemudian, ia mengambil hijab yang tidak terpakai, melingkarkannya di sekeliling kepala untuk menutup matanya. Kini, ia tenggelam dalam kegelapan, hanya bisa merasakan setiap detik dalam keheningan.

Tak berhenti di situ, Laila mengambil saputangan, memasukkannya ke dalam mulutnya, dan mengikatnya dengan saputangan lain agar tetap di tempat. Sekarang, hanya suara napasnya yang terdengar samar, teredam oleh ikatan di mulutnya. Dan terakhir, ia mengenakan penyumbat telinga yang membuatnya terisolasi sepenuhnya dari suara-suara luar.

Dengan satu tarikan napas, Laila akhirnya mengambil borgol, menguncinya di pergelangan tangannya di belakang punggung. Kini, ia benar-benar tak berdaya, terjebak dalam kegelapan tanpa suara, hanya ditemani perasaan damai yang tak terucapkan. Setiap detik yang berlalu membuatnya merasa semakin tenggelam dalam ketenangan yang ia rindukan, seolah segala kekhawatiran dan stres dari kota menguap begitu saja. Laila begitu tenggelam dalam sensasi itu hingga tidak menyadari, bahwa pintu kamarnya sedikit terbuka, dan Rini, adiknya, mengintip ke dalam.

**

Kilasan ingatan tentang Rini yang mendekatinya saat kecil muncul dalam benaknya. Adiknya yang dulu sering bangun di malam hari karena mimpi buruk, selalu masuk ke kamar Laila untuk mencari ketenangan. Waktu itu, Rini masih kecil dan penuh rasa ingin tahu, selalu ingin berada di dekat Laila, merasa aman di sisinya. Namun, kini mereka sudah beranjak dewasa, dan Laila tak pernah berpikir akan terulang situasi di mana adiknya mencari dirinya dalam gelap malam, mengira Laila sedang tertidur lelap.

Namun, di tengah keheningan itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Rini, yang terbangun karena mimpi buruk, perlahan membuka pintu kamar kakaknya, ingin memastikan Laila baik-baik saja. Namun, saat melihat kakaknya dalam keadaan terikat, mata Rini membulat, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Awalnya, Rini tak tahu harus bereaksi bagaimana. Namun, setelah beberapa saat, ia memberanikan diri mendekat. Ia mengulurkan tangan, menggoyangkan tubuh Laila sedikit untuk membangunkannya. Laila yang setengah sadar mulai merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Dengan hati-hati, Rini membuka ikatan pada mulut Laila dan melepaskan borgol yang menahan tangannya.

Saat Laila membuka matanya dan mendapati Rini di depannya, tubuhnya kaku. Rini menatapnya penuh kebingungan dan rasa ingin tahu.

"Kak, apa yang kakak lakukan?" Rini bertanya pelan, suaranya terdengar penuh perhatian dan sedikit cemas.

Laila merasa jantungnya berdebar kencang. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa ia harus menjelaskan tentang hobinya ini kepada adiknya sendiri. Namun, ia tahu bahwa Rini berhak mendapatkan penjelasan. Dengan lembut, Laila menarik napas panjang dan mulai berbicara.

“Rini, ini mungkin sulit untuk dimengerti. Kakak punya… kebiasaan tertentu yang bisa membuat kakak merasa tenang. Caranya memang berbeda, tapi ini adalah cara kakak menenangkan diri dari semua stres dan tekanan,” jelas Laila dengan lembut, berusaha tidak membuat adiknya bingung.

Rini mendengarkan dengan saksama, berusaha mengerti maksud dari kata-kata kakaknya. “Jadi… kakak suka mengikat diri seperti ini untuk merasa tenang?”

Laila mengangguk pelan. “Ya, Rini. Ini memang mungkin terdengar aneh. Tapi setiap orang punya cara masing-masing untuk merasa nyaman, bukan? Ada yang suka berlari, mendaki gunung, menulis, atau bahkan mendengarkan musik. Bagi kakak, melakukan ini adalah cara yang membuat kakak merasa damai.”

Rini terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Ada kehangatan dalam tatapannya yang menandakan bahwa ia mulai memahami kakaknya. Meskipun masih tampak sedikit bingung, ia akhirnya tersenyum tipis. “Kalau begitu, aku ngerti, Kak. Asalkan kakak merasa baik-baik saja dan tidak ada yang dirugikan, aku nggak akan apa-apa. Tapi… aku rasa kita harus tetap rahasiakan ini dari ayah dan ibu.”

Mendengar jawaban itu, Laila merasa lega dan bersyukur. Ia tersenyum dan mengusap kepala adiknya dengan penuh sayang. “Terima kasih, Rini. Kamu memang adik yang pengertian. Aku janji akan lebih hati-hati, supaya tidak membuatmu khawatir lagi.”

Rini mengangguk, lalu memeluk Laila dengan erat. Sambil meremas kain jarik yang ia kenakan, sambil terbata-bata dengan suara pelan "aku boleh mencobanya kak? Perasaan nyaman yang kakak maksud" Laila menjawab sambil senyum, "sekarang tidur dulu, sebentar lagi pagi, nanti kita bahas lagi dan jika kamu sudah yakin, nanti malam kita lakukan"

Malam itu, kedua saudara itu tidur dengan tenang, dengan sebuah rahasia baru yang mereka simpan bersama. Keesokan paginya, mereka bangun dengan hati yang lebih tenang, mengetahui bahwa mereka kini lebih dekat satu sama lain dan saling memahami lebih dalam.

Nikmat Dalam Sengsara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang