Pada malam berikutnya saat keheningan mulai mereda, Laila masih merasakan kelegaan yang besar setelah pengakuan yang sulit itu. Namun, ketika ia menatap wajah Rini, ia menangkap ekspresi aneh di wajah adiknya—perpaduan antara rasa penasaran dan sedikit malu. Tak disangka, Rini menundukkan kepalanya dan berbisik nyaris tak terdengar.
"Kak... kalau aku mau coba seperti Kakak... boleh, nggak?"
Laila tertegun. Permintaan itu sangat mengejutkannya, tetapi ia melihat bahwa Rini benar-benar serius, meskipun ragu. Di satu sisi, ia merasa aneh mendengar adiknya tertarik pada hobinya yang tak biasa ini, tetapi di sisi lain, ia juga merasakan dorongan untuk mendukung rasa ingin tahu Rini.
"Rini, kamu benar-benar ingin coba?" Laila memastikan, menatap adiknya untuk mencari kepastian.
Rini mengangguk pelan, pipinya merona, dan ia tak mampu menatap langsung ke arah Laila. "Iya... aku penasaran. Kalau ini bisa bikin Kakak merasa damai dan tenang, aku mau tahu rasanya."
Laila tersenyum lembut, lalu meraih tangan Rini. “Kalau kamu merasa nyaman, Kakak akan membimbingmu. Tapi kalau di tengah-tengah kamu merasa nggak suka, kita bisa langsung berhenti. Setuju?”
Rini mengangguk, kini terlihat lebih percaya diri, meskipun masih ada sedikit gugup di raut wajahnya.
Setelah memastikan pintu kamar terkunci dengan aman, Laila mulai mengumpulkan beberapa barang sederhana yang bisa digunakan untuk mencoba pengalaman self-bondage pertama Rini. Ia meraih selimut lembut, saputangan, dan sehelai kain panjang yang cukup untuk mengikat. Ini berbeda dari peralatannya yang lengkap di apartemennya, tetapi cukup untuk pengalaman pertama yang ringan bagi Rini.
"Aku akan mulai dari yang sederhana dulu, ya," kata Laila, suaranya lembut dan penuh perhatian.
Rini mengangguk, mengikuti instruksi kakaknya dengan penuh rasa percaya. Laila perlahan melilitkan selimut di sekitar kaki Rini, membatasinya agar tak terlalu ketat, hanya cukup membuat gerakan kaki terasa sedikit terbatas.
"Lalu, aku akan menutup matamu, biar kamu bisa lebih fokus pada perasaanmu sendiri," Laila berkata, kemudian dengan lembut menutup mata Rini menggunakan saputangan. Gelap perlahan-lahan memenuhi pandangan Rini, dan dunia luar terasa semakin menjauh. Ada rasa tenang yang perlahan muncul, dan Rini mulai mengerti mengapa kakaknya merasa nyaman dalam keadaan seperti ini.
“Kamu nyaman, kan, Rini?” Laila bertanya lembut, memastikan adiknya tetap tenang.
“Iya, Kak… aneh, tapi rasanya tenang banget,” jawab Rini, senyum kecil tersungging di bibirnya meski matanya tertutup.
Sebagai sentuhan akhir, Laila meletakkan tangan Rini di belakang punggungnya, lalu melilitnya dengan kain panjang itu. Ikatan tersebut cukup lembut untuk dilepaskan dengan sedikit usaha, namun tetap memberi sensasi keterbatasan yang khas. Rini diam dalam keheningan, meresapi sensasi baru ini dengan napas yang pelan dan teratur.
Di tengah keterbatasan gerak itu, Rini perlahan mulai memahami perasaan yang dulu sulit ia mengerti dari penjelasan Laila. Rasa tak berdaya itu justru menciptakan ruang aman bagi pikirannya, menenangkan hati yang selama ini selalu sibuk memikirkan sekolah dan kehidupan sehari-hari. Ia merasa tertahan, tapi dalam batasan itu ada kedamaian yang lembut menyelimutinya.
Saat beberapa menit berlalu, Laila duduk di samping Rini, mengawasi adiknya yang kini tampak benar-benar tenggelam dalam dunia kecilnya sendiri. Laila merasa lega melihat Rini tampak tenang dan menikmati pengalaman ini, bahkan mungkin lebih dari yang ia perkirakan.
Setelah beberapa waktu, Laila berbisik, “Rini, kalau kamu mau berhenti, bilang saja, ya. Kamu selalu bisa lepas kapan pun kamu mau.”
Rini mengangguk dalam diam, menikmati setiap detik dari pengalaman ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikmat Dalam Sengsara
Storie brevi🔞 Perjalanan Laila & Mira di dunia BDSM, softbondage, alur lambat.