Seharusnya Arsen tidak berada di sini, berdiri di depan rumah seseorang yang masih tertutup rapat meski jam telah menunjukkan pukul sembilan pagi.
Dia telah ke butik, di sana dia tidak menemukan seseorang yang ia cari. Yang menurut salah satu karyawan di sana, Rachella tidak datang ke butik sejak kemarin. Maka di sin lah dia. Berdiri di depan pintu yang berkali-kali ia tekan bel. Tapi tak kunjung di bukakan pintu.
Arsen kembali maju mendekt, hendak menekan bel kalau saja gerakan tangannya tidak terhenti begitu mendengar suara kunci di putar. Membuat Arsen pun bergerak mundur. Menjaga jarak dari pintu yang pelan-pelan terbuka.
Wajah yang awalnya menunduk itu, terangkat. Dan saat itulah Arsen temukan wajah itu yang tampak sayu dan pucat.
"Kamu sakit?" Tebak Arsen langsung. "Ra," Serunya lagi, bergerak masuk di saat tubuh itu berbalik dan pergi begitu saja. Tanpa menjawab atau bahkan menjelaskan apa-apa. Bahkan ketika Arsen berhasil menahan lengan itu, menghentikan gerakan kakinya dan memutar tubuh itu. Arsen tak mendapatkan jawaban apa pun. Wanita itu masih bungkam dan diam.
Hanya rasa hangat yang bisa Arsen rasakan dari lengan Rachella yang kini ia genggam. Kakinya bergerak lebih dekat. Berdiri tepat di depan Rachella dengan tangannya yang lain terulur, menyentuh kening itu dengan punggung tangannya.
Rachella hanya diam, masih bungkam hingga kini ia memalingkan wajahnya ke arah samping. Menghindari tatapan mata pria yang berdiri di depannya itu.
"Udah sarapan?" Tanyanya, yang dijawab Rachella dengan gelengan kepala.
"Mau aku pesenin makan?" Tawar Arsen lagi, yang sayangnya tawaran itu tidak akan menunggu jawaban dari Rachella karna pria itu langsung mengeluarkan ponselnya dari saku celananya, sibuk dengan benda pipih itu hingga mau tidak mau membuat Rachella pun memutar kepalanya. Melirik pria yang kini sibuk dengan benda pipih di depannya tanpa bertanya lebih jauh apakah Rachella mau sarapan atau tidak pagi ini.
Seperti biasa, pria itu akan bertindak sesuka hatinya. Tapi, entah mengapa, Rachella kian menyukainya.
"Udah ke dokter?"
Rachella yang sempat melirik ke arah pria di depannya seketika tertangkap basah saat tiba-tiba wajah itu mendongak dari layar ponselnya. Membuat Rachella kelabakan hingga kini dia secepat kilat menoleh ke arah lain.
"Aku nanya, Ra."
"Udah, ihh."
Bibir Arsen sempat berkedut menahan senyum mendengar ucapan itu, semua itu membuat Rachella pun mencebikkan bibirnya. Dia bahkan melepaskan genggaman tangan Arsen di lengannya dan memilih memutar tubuhnya. Bergerak masuk lebih dalam ke dalam rumah yang sayangnya diikuti oleh Arsen. Dengan santai pria itu bahkan duduk di stool selagi Rachella bergerak ke dapur guna meraih gelas dan mengisinya dengan air. Menegaknya. Yang semua itu sama sekali tidak luput dari perhatian Arsen. Pria itu terus memperhatikan setiap gerak-geriknya.
"Ke dokter sama siapa?" Pertanyaan tiba-tiba itu, tentu saja nyaris membuat Rachella menyemburkan air yang ia minum. Kalau tidak buru-buru ia telan hingga kini ia mendelik ke arah pria yang menatapnya dengan satu alis terangkat tinggi.
"Ngapain nanya-nanya." Ketus Rachella. Dia memilih bergerak keluar dapur dan melangkah ke ruang tengah. Duduk di sofa dengan tubuh setengah berbaring di sana. Kepalanya masih terasa pusing, tentu saja. Dia bahkan baru bangun begitu mendengar suara bel setelah tidur nyaris dini hari karna isi kepalanya yang terasa berisik dan tidak mau diam.
Beberapa menit duduk di sana, wajah Rachella menoleh ke arah dapur. Yang tentu saja tidak akan bisa melihat seseorang yang duduk di sana. Yang awalnya ia kira akan mengikutinya ke sini. Ckk. Decak Rachella kesal. Dasar tidak peka.

KAMU SEDANG MEMBACA
STAY (Titik Henti) (SELESAI)
Romance**** Rachella sedang berada di titik 'Kelelahan' saat hubungannya dengan tunanganya, Arsen, 'Tak kunjung menemukan kepastian' mereka berpacaran cukup lama. Lalu, bertunangan, tapi hanya berhenti di sana. Arsen tak pernah menjelaskan apa-apa tentang...