"Papamu harus dioperasi dan membutuhkan biaya 300 juta won? Jeno... Darimana kau akan mendapatkan uang sebanyak itu hah?! Untuk kebutuhan kita saja pas-pasan dan malah ditambah ini?!" Ujar Karina sembari menatap Jeno kesal—300 juta won itu uang yang sangat banyak dan darimana Jeno bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu cepat?
"Sayang... Pelankan suaramu hm? Ini rumah sakit." Ucap Jeno sambil menarik tangan Karina untuk dirinya genggam.
Mereka kini tengah berada diluar ruangan Taeyong. Jeno tidak bisa langsung pulang sebelum ia melihat papanya siuman.
"Ck, merepotkan saja." Karina menyentakkan tangan Jeno yang memegangnya—selain karena ini, Karina juga merasa sangat kesal pada suaminya ini karena tidak menepati janjinya semalam, padahal kemarin Jeno berjanji akan membelikkan tas branded incarannya tapi Jeno sama sekali tidak menepati janji itu.
Malah datang masalah seperti ini yang akan menguras semua uang Jeno dan dirinya.
"Soal uangnya, kau tidak perlu memusingkan hal itu—karena aku yang akan mencari pinjaman sendiri dan pekerjaan part time yang bisa aku lakukan setelah pulang kerja."
"Tapi tetap saja, uang bulananku akan semakin menipis setiap harinya Jeno... Gajimu itu tidak seberapa dan sekarang malah dibebankan dengan biaya operasi yang begitu besar. Apa kau tidak memikirkanku? Kenapa tidak kau biarkan saja papamu? Kenapa harus dioperasi segala!"
"Karina... Bisa kau menjaga kata-katamu? Papa satu-satunya keluarga yang aku miliki, aku tidak mungkin membiarkannya begitu saja. Aku... Aku tidak bisa hanya diam menyaksikan papa dengan perlahan digerogoti oleh penyakitnya. Aku belum siap kalau harus kehilangan papa secepat ini, bisakah kau mengerti akan hal itu?"
"Terserah kau saja! Aku malas membahasnya, lebih baik aku pulang sekarang."
"Karina, tunggu!"
Karina pun melenggang pergi begitu saja tanpa mempedulikan panggilan suaminya, meninggalkan Jeno yang berdiri diam sambil memijat keningnya yang terasa pening.
Sebelum masuk ke dalam ruangan tempat papanya dirawat—Jeno melihat dulu jam diponselnya yang ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Jeno menghela nafasnya sambil masuk ke dalam ruangan.
"Papa?"
Saat masuk, pupil mata Jeno membesar saat melihat papanya yang ternyata sudah sadar—bahkan kini tubuhnya sedang bersandar pada brangkar yang dinaikkan tidak berbaring lagi.
Jeno pun lantas menghampiri Taeyong yang menatapnya dengan senyuman tipis diwajah pucatnya.
"Kapan papa bangun hm? Kenapa tidak memanggil Jeno?" Ujar Jeno setelah berada dihadapan Taeyong.
"Papa tidak apa-apa nak, papa bisa bangun sendiri. Tadi pagi hanya kelelahan saja sampai papa harus pingsan~" Ujar Taeyong, tangannya terangkat untuk mengusap rahang tegas sang putra.
"Jeno... Tidak usah melakukan operasi pada papa, papa baik-baik saja sayang. Maafkan papa karena papa yang pingsan dan dibawa ke rumah sakit—kau jadi bertengkar dengan Karina."
Jeno memegang tangan Taeyong yang berada dipipinya, air matanya luruh seketika karena disaat seperti ini pun papanya masih berbohong tentang keadaannya dan juga masih memperhatikan dirinya. Ia mengecup tangan Taeyong dengan air mata yang terus mengaliri pipinya membuat Taeyong terdiam.
"Jadi papa mendengar obrolanku dengan Karina? Pa... Jeno tahu semuanya, keadaan papa, penyakit papa... Yang sudah tidak bisa dianggap sepele, papa harus menjalani operasi transplantasi jantung—agar papa bisa selamat dan hidup lebih lama lagi. Papa jangan memikirkan biayanya, karena Jeno yang akan mengurus semuanya... Papa hanya perlu fokus pada kesehatan tubuh papa saja, tidak usah memikirkan hal lain."
Taeyong diam seribu bahasa, lidahnya terasa kelu hanya untuk berucap—ia ikut meneteskan air matanya dan langsung membawa Jeno ke dalam pelukan hangatnya.
"Papa segalanya untuk Jeno... Jadi, Jeno mohon agar papa lebih berjuang untuk hidup papa sendiri, juga untuk Jeno... Papa tidak boleh meninggalkan Jeno secepat ini, papa harus sembuh."
••
Setelah selesai membersihkan diri bersama-sama dan memakai piyama couple yang sama. Mark yang sedari tadi merenungkan tentang pembicaraannya dengan mertuanya langsung terlintas pikiran yang menurutnya akan menjadi solusi terbaik agar ia dan Jaemin bisa memiliki seorang anak.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam—dan selama sejam tadi Mark begitu berkecamuk dengan pikirannya sampai ia yakin 100% kalau cara ini memang yang terbaik. Walaupun dalam cara yang ia pikirkan sekarang—Mark harus merelakan perasaannya, melapangkan dadanya agar ia bisa menerima saat istrinya nanti disentuh oleh pria lain selain dirinya.
"Baby." Mark menghampiri istrinya yang tengah merajut sebuah kaos kaki kecil sambil duduk dipinggiran ranjang mereka—ia duduk disamping Jaemin sehingga kini mereka saling hadap-hadapan.
"Kenapa?" Ujar Jaemin sambil mendongak—ia menyimpan alat rajutnya dimeja yang ada dikamar mereka terus mendongak untuk menatap suaminya.
"Ada hal penting yang harus aku bicarakan denganmu... Tapi aku harap, setelah kau mendengar apa yang aku ucapkan, kau bisa menerimanya karena ini satu-satunya jalan terbaik untuk kita." Ujar Mark—sambil memegang tangan Jaemin.
Jaemin yang mendengar ucapan Mark mengernyitkan keningnya bingung. Memangnya apa yang ingin dibicarakan suaminya ini sampai ia harus menerimanya?
"Soal apa?"
Mark tampak menarik nafasnya pelan lalu berujar. "Bagaimana kalau kita mencari pria pengganti agar bisa menghamilimu?"
"Apa maksudmu hyung?" Jaemin yang terdiam mencoba bertanya pada Mark, pria pengganti yang bisa menghamilinya? Jaemin tidak mengerti dengan ucapan Mark barusan!
"Aku tahu baby boy... Aku tahu kau sangat ingin mempunyai seorang anak, aku tahu kau menyimpan keinginanmu itu dalam-dalam... Sehingga, untuk mewujudkan keinginan terbesarmu itu... Lebih baik kita menyewa seorang pria untuk bisa menghamilimu, setidaknya—buah hati kita nantinya terdapat darah dagingmu."
Jaemin tertegun dengan jantung yang mencelos, ia lantas menyentakkan tangan Mark sambil langsung berdiri dan menatap Mark dengan marah. "Hyung, apa kau sadar dengan ucapanmu itu?! Aku... Sama sekali tidak masalah kalau tidak memiliki anak, aku—"
"Berhenti berbohong baby... Aku sadar, aku sangat sadar dengan apa yang aku ucapkan sekarang, ini satu-satunya cara agar kita bisa mempunyai anak, aku akan sangat menerima anak yang akan kau kandung nantinya—walaupun tidak terikat dengan diriku, setidaknya anak kita nantinya merupakan darah dagingmu sendiri sayang... Aku mohon, ini keinginanku... Kau juga pasti akan merasa bahagia nantinya saat rumah kita terasa ramai oleh anak-anak." Mark ikut berdiri lalu memegang pundak Jaemin, ia menatap Jaemin yang sudah meneteskan air matanya.
"T-tapi... Cara hyung ini akan menyakiti dirimu sendiri! Aku harus bercinta dengan pria lain, apa hyung mampu menerima hal itu?!"
"Lihat aku... Jelas aku tidak bisa menerimanya, tapi aku akan berusaha melapangkan dada demi kebaikan kita kedepannya, demi dirimu yang ingin sekali mempunyai seorang anak... Lagipula, aku sudah memiliki pria yang sangat cocok dalam hal ini."
"S-siapa?"
"Lee Jeno... Aku sudah memikirkan ini ratusan kali, Jeno adalah pria yang cocok yang bisa kita sewa kontrak untuk bisa menghamilimu, Jeno sahabat baikku... Dia memiliki visual yang sangat tampan, mungkin nanti sakit hati yang aku rasakan tidak akan seburuk kalau kau disentuh pria lain yang sama sekali tidak aku kenal."
Jaemin menggeleng, pilihan ini jelas akan menyakiti perasaan dirinya dan akan menghancurkan hati Mark—ia langsung memeluk Mark dengan erat sambil bergumam tidak mau.
"Besok hari anniversary pernikahan kita yang pas ke tiga tahun... Aku harap, kau mau menerima permintaanku ini Jaemin-ah. Ini permintaan dari hatiku padamu baby."
••
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
The Third Person (🔞) Nomin Ver.
Roman d'amour⚠️ [Mature Content] [Cheating] [21+] [M-preg]⚠️ Diusia pernikahan yang sudah menginjak tiga tahun, Mark dan Jaemin tidak bisa memiliki anak karena kemandulan yang Mark alami. Sehingga, Mark memilih untuk meminta Lee Jeno pegawai diperusahaannya untu...