Hari itu, hujan deras turun di luar kamar Kirana. Suara gemericik air yang menimpa jendela mengisi keheningan, namun Kirana hanya bisa berbaring di kasurnya, memeluk surat dari Dito erat-erat di dadanya. Air matanya sudah mengering, tetapi perasaan kehilangan masih membekas dalam hatinya.
“Dito sudah pergi,” pikir Kirana berulang kali. Kalimat itu terus bergema di kepalanya, seolah menolak untuk diterima oleh hatinya. Ia masih tidak percaya bahwa orang yang selama ini menemaninya di perpustakaan, yang telah membantunya menemukan makna di balik setiap kata, kini hanya menjadi kenangan yang tertinggal.
Kirana menghela napas panjang. Ia duduk perlahan, matanya tertuju pada jendela yang mulai berembun karena hujan. Tanpa sadar, ia meraih buku puisi milik Dito yang tergeletak di meja belajarnya. Buku itu seolah memanggilnya, mengingatkannya akan semua momen mereka di perpustakaan. Tangan Kirana terhenti di halaman yang memuat salah satu puisi favoritnya.Dalam Diam
Ada kata yang tak pernah terucap,
Tersimpan dalam diam yang sunyi.
Bukan karena takut,
Namun karena rasa yang tak mampu terurai.
Di setiap keheningan,
Ada getaran yang terasa begitu nyata,
Namun hanya bisa disimpan,
Di sudut hati yang tak terjamah.
Aku ingin bicara,
Namun kata-kata terhalang oleh ragu.
Mungkin suatu hari,
Dalam diam, kau akan mengerti.
~Dito~
Kirana menutup buku itu, air matanya kembali mengalir. Dito selalu tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya dengan begitu sederhana namun dalam. Sekarang, puisi-puisi itu seperti suara yang berbisik, seolah-olah Dito sedang berbicara kepadanya dari kejauhan.
Ia berbaring lagi di kasurnya, kali ini lebih tenang. Suara hujan yang terus mengguyur di luar semakin membawa pikirannya jauh kembali ke kenangan-kenangan tentang Dito. Ia teringat pertama kali mereka bertemu di perpustakaan, bagaimana Dito datang begitu saja dan menawarkan bantuan. Kirana tidak pernah menyangka bahwa pertemuan kecil itu akan mengubah begitu banyak hal dalam hidupnya.
Namun di tengah semua kenangan itu, ada sesuatu yang menghantui Kirana, perasaan bersalah. Dito telah menyimpan perasaan untuknya, tapi Kirana terlambat menyadarinya.
“Aku bodoh…” gumam Kirana sambil menutup wajahnya dengan tangan.
Di tengah rasa penyesalannya, handphone Kirana berbunyi. Sebuah pesan masuk dari pacarnya.
“Kirana, kamu di mana? Kenapa nggak ngabarin aku? Nanti sore kita ketemuan ya?”
Kirana membaca pesan itu, tapi hatinya sudah tidak sama lagi. Hubungannya dengan pacarnya tidak lagi terasa seperti dulu. Sejak pertemuannya dengan Dito, kirana mulai menyadari perbedaan antara hubungan yang dibangun atas dasar kebiasaan dan hubungan yang tumbuh dari perasaan yang sesungguhnya.
Ia meletakkan handphone-nya tanpa membalas pesan itu. Perasaannya kini tertuju pada Dito, pada kenangan yang mereka ciptakan, dan pada kata-kata yang belum sempat ia sampaikan.
Kirana menatap jendela lagi, hujan masih turun deras. Seakan alam mengerti perasaannya, hujan mengiringi setiap emosi yang kini memenuhi hatinya. Di dalam pikirannya, hanya ada satu harapan sederhana, seandainya ia bisa bertemu Dito sekali lagi, hanya untuk mengatakan apa yang selama ini ia pendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan di Bulan April
RomanceKirana, seorang mahasiswi yang baru pindah ke Jakarta, tak pernah bisa melupakan Dito teman SMA yang diam-diam telah mengisi hatinya dengan puisi dan perasaan yang tak terucap. Dua tahun berlalu sejak perpisahan tanpa kata itu, namun kini di tengah...