Senin Itu

2 2 0
                                    

Hari Senin datang, dan suasana di sekolah terasa lebih hidup dari biasanya. Para siswa berkumpul di aula, menunggu hasil pengumuman lomba puisi. Semua mata tertuju pada papan mading di ujung aula, tempat puisi-puisi terbaik akan dipajang.

Kirana berdiri di tengah kerumunan, hatinya berdebar kencang. Sejak pagi, perasaannya campur aduk, antara tegang menunggu hasil lomba dan antusias untuk pertemuannya dengan Dito setelah pengumuman. Ia menatap papan mading yang mulai dipenuhi siswa-siswa lain, berharap bisa melihat puisinya di sana.

Kerumunan semakin ramai, suara riuh penuh antusiasme memenuhi aula. Beberapa nama sudah dipanggil, namun Kirana masih menanti namanya disebut.

Akhirnya, nama Kirana disebut oleh salah satu panitia. “Juara pertama, Kirana dengan puisi berjudul ‘Tentang Kita’!”

Suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Kirana terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Setelah beberapa datik, ia tersadar dan senyum lebar langsung muncul di wajahnya. Ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu, hasil kerja kerasnya menulis puisi dengan hati, sesuatu yang takkan mungkin terjadi tanpa bantuan Dito.

Teman-temannya segera menghampirinya, mengucapkan selamat dan memberikan pelukan. Namun di tengah kebahagiaan itu, satu hal yang terus ada di pikirannya adalah Dito. Dia ingin segera memberitahunya tentangg kemenangan ini, meski tahu, mungkin Dito sudah mendengar pengumumannya.

Namun sebelum ia bisa beranjak pergi, tiba-tiba pacarnya menghampirinya. Laki-laki itu langsung memeluk Kirana dengan bangga, membuat teman-teman di sekitarnya ikut tersenyum.

“Selamat, Kirana! Kamu hebat banget!” ucap pacarnya dengan penuh kebanggaan.

Kirana tersenyum canggung. Meski pacarnya menunjukkan kasih sayang di depan semua orang, perasaannya terasa berbeda. Ia tidak merasakan kehangatan yang sama seperti ketika bersama Dito. Pikiran Kirana mulai melayang, memikirkan seseorang yang justru tidak ada di sini.

“Makasih,” jawab Kirana, berusaha terdengar bahagia.

Pacarnya memegang tangannya lebih erat. “Nanti kita rayakan ya! Aku bangga banget sama kamu.”

“Iya, pasti.” Kirana tersenyum kecil, meski pikirannya sudah dipenuhi dengan bayangan Dito. Ia harus segera ke perpustakaan, tempat di mana mereka berjanji untuk bertemu setelah pengumuman.

Namun yang Kirana tidak sadari, dari jauh, Dito memperhatikan momen itu. Ia berada di ujung aula, menyaksikan Kirana yang terlihat bahagia bersama pacarnya. Jantungnya terasa berat, seolah ditarik ke bawah oleh kenyataan yang pahit. Semua yang terjadi di antara dirinya dan Kirana selama ini terasa seperti kabur, saat ia melihat Kirana berpelukan dengan pacarnya begitu mesra.

Tatapan Dito mengeras. Apa yang ia saksikan merobek hatinya, meski ia tahu, ia tak punya hak untuk marah atau cemburu. Mungkin perasaannya pada Kirana terlalu dalam, lebih dari yang seharusnya. Dito perlahan mundur, merasa tak sanggup lagi melihat pemandangan itu.

Setelah selesai di aula, Kirana segera menuju perpustakaan, hatinya berdebar lebih kencang saat ia berjalan cepat ke sana. Ini bukan hanya tentang kemenangan puisinya, tapi juga tentang pertemuan mereka hari ini, hari yang ia yakini akan mengubah segalanya.

Namun, setibanya di perpustakaan, suasana sunyi menyambut Kirana. Ia berdiri di pintu, matanya menyapu ruangan mencari sosok Dito. Tempat yang biasa mereka duduki terlihat kosong. Tak ada tanda-tanda Dito di sana.

Kirana merasa ada sesuatu yang aneh. Ia berjalan ke meja yang biasa mereka gunakan, berharap Dito mungkin sedang terlambat. Namun, hatinya mulai diliputi rasa cemas ketika melihat tidak ada siapa pun di sana.

Di atas meja, hanya ada sepucuk surat yang tertinggal. Surat itu dilipat rapi, dengan namanya tertulis di bagian depan, “Untuk Kirana”.

Tangan Kirana gemetar saat meraih surat itu. Perasaan cemas dan penasaran bercampur di dalam dirinya. Dengan hati-hati, ia membuka lipatan kertas itu dan mulai membacanya.

“Kirana, Minggu lalu di perpustakaan ini adalah waktu yang takkan pernah kulupakan. Membantumu membuat puisi dan melihatmu tersenyum adalah hal terindah yang pernah kurasakan. Aku tahu kita baru mengenal satu sama lain, tapi perasaanku padamu sangat dalam. Namun, besok aku harus pindah. Aku ingin memberitahumu secara langsung, tapi melihatmu bahagia tadi membuat aku lebih memilih menulis surat ini. Terima kasih atas semua kenangan indah yang telah kita bagi bersama. Semoga kamu selalu bahagia, selamat tinggal, Kirana. ~Dito~”

Air mata Kirana jatuh begitu saja. Kata-kata dalam surat itu menghantam hatinya dengan perasaan yang bercampur aduk, kecewa, sedih, dan terluka. Dito telah pergi. Semua momen yang mereka habiskan bersama, semua kebersamaan mereka yang tak terucap, sekarang berakhir dengan surat perpisahan ini.

Kirana meremas surat itu, lalu memeluknya erat di dadanya. Di antara isak tangisnya, ia menatap keluar jendela perpustakaan. Hujan mulai turun, seperti cerminan perasaannya yang hancur.

“Dito…” bisik Kirana pelan, berharap namanya bisa menjangkau orang yang ia rindukan.

Di tengah kesedihan itu, Kirana teringat sesuatu. Dito pernah mengatakan bahwa puisi bukan soal kata-kata, tapi tentang perasaan. Dan saat ini, perasaannya begitu penuh, penuh dengan kenangan tentang Dito. Semua yang pernah mereka alami bersama kini membanjiri pikirannya, seperti hujan yang turun di luar.

Hujan di Bulan April Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang