Chapter 02. Ghost

13 7 4
                                    

            Aku dikerumuni tatapan penasaran, padahal masih pagi. Tidak ada ketenangan dalam hidupku. Mereka mengikutiku terus mulai dari lobi hingga ke jalan setapak taman. Aku ingin menyuruh semuanya enyah, tapi aku pasti dikira gila. Karena sebenarnya tidak ada siapapun di sekitarku sekarang.

Hantu-hantu di sekolah ini menyambutku begitu aku keluar dari area parkir. Mereka mengerubungiku seperti wartawan yang tertarik pada artis terkenal. Aku menghela napas panjang.

Orang pada umumnya menyebut kemampuanku ini sebagai indigo. Ada juga yang menamainya indera keenam. Aku tidak ingat kapan pastinya aku memiliki kemampuan ini. Rasanya sudah sejak kecil, tapi aku tidak bisa ingat pasti umur berapa. Ketika aku memberitahu kakek dan nenek kalau aku bisa melihat hantu, wajah mereka langsung pucat. Aku masih ingat mereka berdua saling tatap dan langsung memelukku dengan khawatir. Itulah yang membuatku pada akhirnya tak mengatakan pada siapapun bahwa aku indigo. Aku merasa memiliki kemampuan ini adalah sebuah penyakit. Jika orang lain tahu, aku yakin mereka pasti akan langsung menjauhiku. Paling tidak, itu yang kupikirkan sebelum bertemu dengan Feno. Anak itu dibesarkan oleh keluarga baik-baik dan kaya raya. Orang tuanya juga lengkap. Berkebalikan denganku yang yatim piatu. Caranya menyapaku ketika kami pertama kali bertemu sungguh membuat mataku silau. Aku tak terlalu mempedulikannya, tapi setelah Feno terus-terusan mencoba dekat denganku, aku membiarkannya masuk ke dalam hidupku. Waktu aku memberitahukan soal kemampuanku melihat hantu, Feno mematahkan anggapanku bahwa kemampuan ini adalah penyakit. Anak itu justru menatapku dengan mata berseri-seri. Aku langsung bisa membaca keinginannya untuk melihatku unjuk gigi. Sejak saat itu, kami menjadi sahabat karib. Aku memasukkannya ke dalam lingkaran orang terdekatku. Sudah belasan tahun berlalu sejak hari itu. Feno pun sudah pernah kuberitahu bahwa ada hantu berbulu besar yang menghuni pohon beringin di area parkir SMA. Tak kusangka hari ini dia malah memarkirkan mobilnya di tempat itu ketika aku ada di dalamnya.

Kumasukkan tanganku ke saku jaket. Tumbuhan pucuk merah jadi hal yang membuatku bisa mengalihkan sedikit perhatianku dari suara-suara yang terus mengajakku bermain. Daunnya hijau, tapi semakin ke atas warnanya akan berangsur-angsur menjadi merah. Lalu, tak sengaja mataku mengarah pada pohon mangga yang sedang berbuah. Seharusnya buahnya berada di segala sisi, tapi kini yang tersisa hanya di bagian pucuk tertinggi saja. Aku ingat sering melihat anak-anak mengambil buahnya ketika jam istirahat. Padahal mangganya belum matang. Mereka berkata rasa masamnya membuat ketagihan sambil memasang ekspresi tersiksa. Aku tak bisa memahami jalan pikiran anak-anak itu.

Pandanganku menyapu ke sebelah kanan jalan setapak, terus mengabaikan hantu-hantu di sekitarku. Lapangan beralas paving block tempat dimana lapangan upacara berada. Kosong, sepi orang. Hanya ada murid yang sedang gladi bersih di sana.

"Sepertinya aku berangkat terlalu pagi," sesalku.

"Ya iya, lah!"

Aku terhenyak mendengar sahutan dari arah belakangku. Lelaki yang menyahut itu menyalipku dengan posisi membelakangi arah jalan. Aku biasa memanggilnya Telos. Itu bukan nama aslinya, hanya julukan karena dia suka makan ubi.

"Kalau kau berangkat sepagi ini, murid lain akan mengira kau mau membantu Pak Bon membersihkan sekolah," ledeknya menyamakanku dengan tukang taman di sekolah kami.

Aku mengangkat tinjuku. Telos refleks mengangkat tangan untuk melindungi diri seadanya.

"Jangan sok kenal kau. Pergi sana," usirku.

Telos mengerucutkan bibir. "Ayolah, Lex. Kembalilah ke geng. Brandy kesepian tanpamu."

Aku menatapnya jijik. "Jangan membuatku risih, ini masih pagi."

Struggle Of VigourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang