(4). Hukuman

205 62 30
                                    

Happy reading.
Gimana? Double up to?

*
*
*

Rega benar-benar ingin pulang sekarang. Ia pikir kesialannya hari ini sudah berakhir setelah pria yang-Riza bilang-kakaknya itu memberi tamparan tiba-tiba. Nyatanya, kesabaran Rega harus kembali diuji saat melihat penampakan kamar Riza. Rumah ini memang besar, tapi kamar yang Riza huni begitu kecil. Tak ada barang mewah di dalamnya, hanya ada satu tempat tidur single dan lemari pakaian serta meja belajar. Beruntungnya kamar ini memiliki kamar mandi di dalam-meskipun sederhana-jadi Rega masih bisa menyeka darah di hidungnya tanpa terlihat orang lain.

"Riz, lo beneran anak yang punya rumah 'kan?" tanya Rega sambil menatap pantulan wajahnya di cermin. Sial, wajah imut barunya jadi semakin buruk karena tamparan tadi.

"Iya, kamarku sebenarnya bukan di sini, tapi daddy nyuruh pindah gara-gara Berlin pengen kamar aku," jawab Riza lesu.

"Berlin siapa? Adek lo?" tanya Rega sambil melepas seragamnya. Ia berbalik membelakangi kaca, untuk melihat beberapa luka yang tertoreh di punggungnya.

"Gue bakal bales mereka yang bikin punggung ini jadi jelek," gumam Rega penuh tekad.

Sambil mengguyur tubuhnya di bawah kran, Rega memejamkan mata, menyimak sedikit cerita tentang kehidupan Riza.

"Daddy bilang, dulu aku hilang dan baru tiga tahun lalu ditemukan. Saat aku kembali ke keluarga ini, Berlin memang sudah ada. Jadi aku maklum saja kalo mommy sama daddy lebih sayang sama dia, tapi aku kadang juga bingung, kenapa Berlin mulai sering ngadu yang bukan-bukan. Aku juga merasa keluarga ini nggak sayang sama aku." Rega meremat dadanya yang terasa sesak. Ia dan Riza berbagi raga, pantas bila perasaan mereka saling terhubung.

"Keluarga tolol," cemooh Rega sambil kembali memejamkan matanya.

Ia rindu pada keluarga aslinya, Bunda Reina, Ayah Revan, dan tentu saja kedua kembarannya. Meskipun mereka kembar tiga, tapi Rega tetap mendapatkan perlakuan layaknya seorang bungsu. Arga yang selalu perhatian padanya, Erga yang selalu memanjakan dan menuruti semua permintaannya, Rega merindukan mereka semua.

"Lo pindah ke KK ayah gue aja, yuk, Riz. Bunda pasti seneng banget punya anak gemoy kaya lo," celetuk Rega asal sambil menghentikan kegiatannya.

Ia meraih handuk putih yang tersampir, kemudian melilitkannya di perut. Rega keluar dari kamar mandi setelah selesai mengoleskan salep di pipinya. Riza bilang salep itu merupakan pemberian seorang maid yang baik padanya.

Selesai berpakaian, Rega memilih membaringkan tubuhnya yang terasa cukup lelah di kasur. Matanya mulai terpejam, dengan sebuah harapan untuk melihat bundanya saat bangun nanti.

=||••••••••||=

Di sisi lain, Arga dan Erga sedang berdiskusi di kamar Alga. Berbanding terbalik dengan kamar sang adik, ruangan tempat mereka berada kini begitu luas dengan berbagai macam perabot mewah yang memenuhi setiap sudut. Sebuah lemari kaca tinggi berisi puluhan tropi dan lencana, membuat Arga yakin bahwa Alga adalah siswa berprestasi.

"Jadi, kalian bertiga tidak akrab sama sekali?" tanya Arga pada Alga.

"Gue sama Ezra emang nggak akrab. Sifat kami bertolak belakang. Kalau dengan Riza, bukannya gue nggak mau akrab, tapi bocah itu selalu takut sama orang-orang di rumah ini," jawab Alga.

"Dasar bodoh. Tentu saja dia akan ketakutan, kalau perlakuan yang didapatkannya saja seburuk itu," cemooh Arga. Ia cukup geram dengan tindakan impulsif Valen tadi. Jika benar yang berada di dalam raga bocah imut tadi adalah adiknya, Arga berjanji akan memberikan balasan yang lebih buruk lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Triplets New Life: Make ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang