LMD-14

16.9K 857 6
                                    

Prilly POV
Semenjak teman nya itu pergi meninggalkan anak ku--Diara-- menjadi sosok yang pendiam tidak seceria dulu. Bahkan di sekolah saja ia hanya memiliki satu orang teman itu pun tidak akrab dengan nya. Entah mungkin Satria merupakan moodboster untuk Diara. Ini sudah ke sepuluh kali nya Diara meminta agar liburan ke Belanda. Tapi karena jadwal ali yang sibuk dia hanya merenung di dalam kamar.

Aku hanya terdiam melihat anak sulungku seperti tidak semangat menjalani hari-hari nya.

"Diara makan yuk habis itu kita main ke kantor ayah"bujukku. Dia hanya memainkan sendok nya di atas piring berisi kan nasi dan lauk pauk kesukaan nya.

"Bun, Satria bohong sama Diara ya? Dia bilang bakal kembali lagi ke sini buat jagain aku lagi tapi udah 3 tahun aku gak ketemu dia"tanya Diara dengan lirih.

Ya, memang sudah 3 tahun semenjak itu. Dan kini Diara duduk di bangku kelas 3 SD di sekolah keinginan nya. Aku sering kali melihat nya menangis di dalam kamar nya. Terkadang aku meminta Firza-putra aku dan ali--- untuk menghibur sang kakak.

"Aku kangen sama Satria, Bun"lirih Diara yang duduk di hadapanku.

"Satria pasti kangen sama kamu juga kok"hiburku.

"Tapi kenapa dia gak kembali ke sini? Pokoknya aku mau liburan tahun ini ketemu sama dia"pinta Diara.

"Kakak mau libulan ke mana? Filza ikut ya!!"seru Firza dengan mulut penuh makanan. Aku mengusap kepala Firza gemas.

"Ya udah kamu makan dulu ya"

Diara akhirnya mengangguk dan melahap makanan nya. Aku pun sama. Setelah selesai makan kami bertiga menuju kantor ali dengan menggunakan taksi. Sesampainya di kantor kami langsung menuju ruangan ali.

"Ayaahhhh" Firza berlari ke arah ali.

"Jagoan ayah mau apa ke sini?" Ali mencubit pipi Firza gemas. Aku menghampiri suamiku dan mencium punggung tangan nya. Lalu dia mencium bibirku singkat. Sedangkan Diara langsung merebahkan tubuh kecil nya di sofa tidur di pojok ruangan.

"Ayah kata Kakak kita mau libulan ya? Aku mau ikut!!!"Ucap Firza dengan riang sambil memainkan rambut Ali.

"Engga sayang. Ayah banyak pekerjaan tahun depan kalau kamu udah besar baru kita pergi ke luar negeri ya" Firza yang tak mengerti hanya mengangguk saja. Diara langsung berlari ke arah kami dengan wajah sedih nya.

"Kok gitu sih, Yah?"

"Kenapa? Ayah banyak proyek di tahun ini yang harus selesai" Aku memeluk Diara yang mulai di banjiri air mata nya.

"Kosongin waktu sebulan aja lah, Bang. Kasian Diara hanya dua tahun sekali menikmati liburan nya"saranku. Ali menggeleng. Memang keras kepala. Huh. Anak nya sudah menangis seperti ini saja masih keras kepala.

"Gak bisa, Bunda sayang. Ini padat sekali gak bisa di tunda"

"Kalau Abang gak bisa, izinin Bunda temanin Diara ya?"pintaku. Dia menggeleng masih dengan pendirian nya.

"Ayah jahat!! Diara mau tinggal sama oma saja!!!" Teriak Diara yang langsung keluar. Aku memanggilnya untuk menghentikan langkahnya. Aku yang hendak mengejarnya di tahan oleh Ali.

"Biarkan dia pergi toh nanti juga bakal balik lagi"ucap nya dengan santai.

"Abang tega lihat bocah 8 tahun kayak Diara jalan sendirian? Diara anak perempuan. Sekarang banyak penjahat kelamin berkeliaran, Bang"bentakku. Aku mengambil Firza dari gendongan nya. Lalu keluar pergi meninggalkan ali.

Aku berjalan menuju lobby berharap kalau Diara belum pergi dari kantor ini. Tapi nihil penglihatanku tidak menemukan sosok Diara. Ya Allah dimana anak ku.

"Bundaaaa tunggu!!!"Aku menghentikan langkahku.
"Kamu mau kemana sih? Jangan terlalu manjain Diara"ucap Ali menahan tanganku.

"Gak bisa!! Abang tega kalau sampai terjadi sesuatu sama Diara?"bentakku. Kini air mata telah membasahi pipiku. "Aku takut Diara kenapa-kenapa"lirihku.

"Bunda kenapa nangis?ayah jahat ya?"Firza yang berada di gendonganku menghapus air mataku yang mengalir di pipi dengan tangan mungil nya. Aku menggeleng sambil tersenyum mengecup pipi Firza.

"Ya udah kita kejar Diara"ucap Ali.

Aku hanya diam membuntuti ali yang berjalan di depanku. Memikirkan semoga Diara tidak kenapa-kenapa. Entah perasaanku mendadak tidak tenang maka dari itu aku memaksakan diri untuk mengejar Diara. Sampai nya di parkiran aku langsung masuk ke dalam mobil, duduk di samping kursi pengemudi.
Aku terus memperhatikan keluar jendela berharap menemukan Diara. Mendadak jantungku berdetak kencang. Ya Allah semoga bukan pertanda buruk. Jalanan tiba-tiba saja macet aku semakin gelisah.

"Bang ini kenapa macet?"

"Enggak tahu, Bun. Tumben banget macet"

"Perasaanku gak enak. Aku takut Diara kenapa-kenapa"ucapku.

"Percaya Diara bakal baik-baik aja, Bunda jangan khawatir ya" aku menghela nafas. Semoga benar Bang. "Maaf Pak ini kenapa macet gini ya?"

Aku menoleh ke arah Ali yang sedang bertanya pada Bapak-bapak di trotoar. "Ada anak kecil ke serempet mobil Pak, tapi yang mengendarai mobil mau bawa korban ke rumah sakit terdekat"

Deg.

Anak kecil? Apa itu Diara?

"Makasih ya Pak"

"Bang itu bukan Diara kan?"tanyaku takut kalau anak kecil yang di maksud Bapak itu Diara.

Ali menggeleng pelan. Aku yakin dia juga khawatir kalau itu Diara. "Coba Abang keluar lihat siapa korban nya"suruhku. Dan Ali langsung menuruti dengan keluar mobil berjalan ke arah pusat kemacetan.

Tak lama ali kembali dengan wajah yang sulit di artikan. Apa itu Diara?

Kemacetan pun lenyap. Jalanan kembali normal. Tapi ali masih diam saja dengan mata sesekali di pejamkan. Yang aku bingung kenapa ali ke rumah sakit? Benar itu Diara? Ahhhh!!!!

"I.....itu yan....ng terserempet-----"

"Iya. Sekarang ayuk keluar Firza aku saja yang gendong"potong ali. Air mataku langsung tumpah. Tak sanggup menerima kalau Diara lah korban yang di maksud Bapak tadi.

Aku dan ali berjalan menuju UGD dengan cepat. Air mata ku tak henti-henti nya keluar.

"Bu saya minta maaf ya. Saya tidak sengaja menyerempet anak ibu"ucap wanita paruh baya kepadaku. Aku hanya dapat mengangguk lemah. Kalau pun aku tidak memaafkan itu tak akan menjadi kan Diara tidak kenapa-kenapa kan?

Tak lama Dokter keluar dengan keringat mengucur di dahi nya.

" Ada apa dok? Anak saya baik-baik saja kan?"tanyaku. Dokter itu tersenyum kecil lalu menganggukan kepalanya.

"Anak ibu baik-baik saja hanya ada benturan sedikit di kepalanya," jelas dokter. Aku menghela nafas lega.

------------
Sudah seminggu ini Diara di rawat, penyerempet memang sepenuhnya bertanggung jawab dengan mengurus semua biaya rumah sakit. Walaupun sebetulnya Bang Ali masih sanggup untuk bayar dengan uang sendiri.

Tetapi, kondisi Diara yang membuat kami cemas. Sudah 2 hari dari kesadarannya Diara bagaikan mayat hidup. Aku sedih melihat ini semua. Tak banyak suara yang Diara keluarkan. Dia sering menyebut nama Satria yang membuat aku bingung harus bagaimana. Dokter menjelaskan bahwa Diara mengalami depresi dini yang harusnya belum seperti ini tetapi karena benturan akibat kecelakaan membuat kondisi Diara sangat buruk.

Bang Ali terus di sampingku selama proses penyembuhan Diara. Dan Alvaro--anak dari ibu yang menabrak Diara selalu menemani hari Diara yang kosong.

"Bang, kita harus gimana lagi? Aku gak kuat liat kondisi Diara seperti ini terus" aku mengelus rambut Diara lembut.

"Kamu harus sabar Abang yakin Diara hanya butuh waktu untuk kembali ceria seperti dulu" Bang Ali mengecup puncuk kepalaku.

--------

Hai semuaaa:D pendek yahhh? Ehehe maaf ya!! Oiyaaa baca cerita aku yang sewindu atuh pengen liat pendapat kalian nihhh:(

-Paiastory.

Love My DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang