🐚Bab 18

16 6 0
                                    

🐚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐚

Koper biru besar dikeluarkan oleh pelayan antar-jemput bandara dari mobil van putih itu. Ditaruhnya begitu saja di atas aspal jalanan rumah Hindia. Pelayan tersebut sibuk mengeluarkan barang-barang lainnya, sementara seseorang turun dari pintu penumpang belakang.

Seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun, dengan kemeja putih, dan celana kain hitam. Ia memasang kacamata hitam di matanya, membuatnya tampak seperti seorang bos perusahaan.

"Ada lagi, tuan?" tanya pelayan paruh baya. "Sudah, cukup. Terimakasih." balas pria itu angkuh. "Baik, saya permisi jalan dulu." ucap pelayan tua, yang masuk ke dalam mobil, dan langsung tancap gas.

Dengan langkah panjang, pria tersebut berjalan menuju halaman belakang rumah, sembari menyeret koper besarnya. Dia juga memperhatikan tiap detail rumah itu.

"Hmmm..." Langkahnya terhenti ketika dia melihat ayunan masih bergantung pada dahan pohon tua. Di batang pohon itu juga masih tampak bekas sayatan membentuk huruf 'H' dan 'P' yang cukup besar, sehingga bisa dilihat dari posisinya berada.

Dia lanjut berjalan menuju pintu kaca belakang rumah, dan membukanya dengan kunci yang ia bawa di saku celana.

KKRREEKKK

Kunci pintu terbuka, ia menggeser pintu kaca itu, dan masuk ke dalam rumah. Suara tapakan sepatu kulit kerjanya terdengar memenuhi seisi rumah.

Kemudian dia menaruh koper besarnya di pojok ruang tengah, dan menanggalkan dasi nya, ia lempar sembarangan. Dompet dan paspor nya pun ia taruh di atas rak dinding dengan posisi terbuka, sehingga dapat dilihat nama asli pria tersebut.

Adiputro Sanjaya

Itulah Pak Adi yang ada dalam cerita-cerita Yayat dan Naya, yang sekarang hanya Pak Adi seorang di dalam rumahnya.

Dia duduk di kursi makan, melihat keadaan dalam rumah yang terurus rapih, tidak sedikitpun berdebu. Listrik pun masih menyala, dari bukti bunyi mesin kulkas. Dia merasa sedikit tenang akan rumah yang ia bangun bersama istrinya kelam.

Ia memandangi telpon rumah yang masih berada di tempatnya, di atas sebuah meja kecil, pada ruang tengah. Dia teringat akan kejadian yang terjadi belasan tahun yang lalu.

🐚

Kak Kafi tidak bisa mengelak. Pak Adi terlalu keras membentak kedua anaknya terhadap kesalahan yang diperbuat mereka.

"Kalian bodoh!" teriak Pak Adi. Emosinya tak terbendung. Urat-urat di kepalanya hingga terlihat. Napasnya berdengus. "Bisa-bisa kalian, membuat saya malu!"

Samudra Hindia [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang