Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
🐚
Duka cita menyelimuti pasir pantai sore itu. Berbondong manusia mengenakan pakaian serba hitam memenuhi sebidang wilayah Pantai Maju. Dengan satu tujuan yang sama, yakni untuk mengantarkan Hindia ke tempat peristirahatan terakhirnya. Mereka yang berkumpul bersiap melakukan prosesi tabur abu jasad Hindia.
Delapan jam yang lalu, tim forensik memberikan kembali seluruh jasad Hindia kepada keluarga yang datang, dan Kak Kafi lah yang meminta pihak gereja agar adiknya dilakukan pemakaman dengan cara di kremasi, sama seperti ketika Ibu mereka meninggal dunia tujuh belas tahun lepas. Pihak gereja menuruti. Mereka menyanggupi permintaan. Api tungku mereka nyalakan, dan jasad Hindia yang berada di dalam peti mulai dimasukkan ke dalam lemari kremasi. Api dengan lahapnya membakar seluruh peti, hingga mulai menghitamkan kulit-kulit potongan tubuh Hindia.
Helia yang menyaksikan, dan berada di samping Mamahnya tidak kuasa menahan isak tangisnya. Deru air mata berjalan deras di kedua pipi putihnya. Sesekali dia menjerit histeris, melihat wajah Hindia dihalangi semburan api dari bawah. Naya yang di kirinya memeluk tubuh Helia. Dia berusaha menenangkannya, namun Helia memberontak, dia memanggil nama-nama Hindia. Helia jelas dengan sungguhnya ia kehilangan sosok seseorang yang hangat, serba tahu, dan riang dari dunianya.
Pintu besi lemari kremasi ditutup kemudian. Pelukan Naya semakin erat, tapi jeritan Helia juga kian kencang. Kak Kafi tampak menyeka air matanya. Dia tidak bisa membendung aliran air asin yang keluar dari sela-sela matanya. Dia kehilangan sosok adik yang manja, tapi penuh luka. Sementara Yayat yang berdiri menyilangkan tangannya di dada, berusaha agar terlihat tetap tegar, dan mencoba mengikhlaskan kepergian Hindia, walau cairan hidungnya tidak dapat membohongi rasa sedihnya.
Maka kembali ke delapan jam kemudian, di masa terkini, dimana butiran pasir pantai mulai di jatuhi air-air mata para pelayat. Terdengar sayup tangisan disela-sela obrolan ombak menyapa terjalnya karang.
Pastur mulai membacakan beberapa kalimat kepergian setelah dia menyuruh Kak Kafi untuk mengarungkan abu kremasi bersama air laut. Dengan vas coklat yang terbuat dari tanah liat di pelukannya, Kak Kafi berjalan ke terpaan air ombak menyentuh bibir pantai. Wajahnya masih tidak bisa merelakan kematian adiknya, namun bagaimanapun, kematian tetaplah takdir yang tidak dapat diubah, bahkan dengan perjalanan waktu sekalipun.
Kak Kafi yang langsung terbang dari Korea ke negara asalnya saat dia mendapat telpon dari pihak kepolisian akan kejadian di stasiun, semakin mengingat banyak kenangan-kenangan manis dan pahit ketika bersama Hindia, dari kecil, hingga mereka liburan tahun baru bersama kemarin. Langkah kakinya penuh getaran hebat, dengan terjangan dingin air laut Samudra Hindia.
"Silakan ditabur, Kafi." ucap Pastur Han yang mengikutinya di belakang. Kak Kafi melaksanakannya. Dia membuka tutup vas, dan meminta Pastur Han untuk memegangi pergelangan bahunya.