Episode 2
Di bawah payung pantai, Hanny dan Samuel duduk santai sambil mengawasi anak-anak yang bermain pasir. Samuel menggendong Davin yang masih bayi, sesekali melindungi wajah mungilnya dari sinar matahari.
"Hati-hati, sayang! Ombaknya mulai gede, tuh," seru Hanny ke arah anak-anak yang membuat istana pasir di tepi air.
"Iya, Mah!" jawab Aksa, sibuk menumpuk pasir dengan Xander, Xandria, Biru, dan Aurora.
Namun tiba-tiba, sosok yang tak terduga mendekat. Oma Queen muncul dengan senyum yang tampak menusuk. Hanny dan Samuel terperangah melihatnya berdiri di hadapan mereka begitu saja.
“Mamique?” gumam Hanny dan Samuel hampir bersamaan, masih kaget.
Oma Queen tersenyum sinis. “Iya, ini Mamique! Kenapa kalian kaget gitu? Mamique kayak hantu, ya, tiba-tiba muncul di depan kalian?”
Hanny mencoba tersenyum meski gugup. “B-bukan begitu, Mamique. Mamique kapan datang? Kenapa nggak kasih kabar dulu?”
Samuel segera menambahkan, “Iya, Mam. Kok Mamique bisa tiba-tiba ada di sini?”
Wajah Oma Queen mengeras, dan tatapannya tajam tertuju pada Hanny. “Aku cuma mau tahu... kenapa aku nggak diundang ke pernikahan Mentari? Aku ini oma-nya, loh. Apa semua ini gara-gara kamu, Hanny? Kamu sengaja, kan? Menghasut Mentari supaya aku nggak hadir?”
Hanny menahan napas, tersinggung namun berusaha tetap tenang. Dengan suara pelan, ia berbisik, “Mulai lagi deh… drama queen.”
Namun sayangnya, bisikan itu cukup terdengar. Mata Oma Queen langsung melotot tajam. “Apa kamu bilang? Saya ini drama queen? Lihat, Samuel! Mamique sudah bilang, Mamique ini nggak pernah sreg sama orang Bandung. Ini nih akibatnya! Nggak tahu tata krama!”
Samuel mencoba melindungi Hanny. “Mam, tolong jangan ngomong kayak gitu. Hanny udah jadi istri saya dan ibu dari anak-anak kami. Dia nggak ada maksud jahat ke Mamique.”
Oma Queen menatap Hanny penuh cemooh. “Oh, iya-iya. Jadi ‘istri yang baik,’ tapi tega menghasut Mentari supaya nggak mengundang Oma di hari paling penting dalam hidupnya? Dasar licik!”
Hanny mulai berkaca-kaca mendengar tuduhan itu, tapi menahan diri sambil menatap Davin di gendongan Samuel. Ia tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat, apalagi di depan anak-anak dan si kecil Davin.
Samuel menghela napas dalam, menenangkan istrinya. “Mam, kita di sini untuk liburan. Jadi, tolong berhenti memperpanjang masalah ini, ya?”
Oma Queen hanya mendengus sambil menatap tajam. Namun, dalam hati, Hanny berjanji untuk melindungi keluarganya dari segala drama yang mengancam kedamaian mereka.
Oma Queen menatap Samuel dengan tajam, sambil melipat tangannya di dada. "Sudah cukup, Samuel! Kamu ini bela saja terus istri nggak tahu diri itu,” katanya dengan suara ketus. “Dan oma mau tanya, waktu itu kalian sempat ke Jakarta, kan? Kenapa nggak mampir ke rumah mamique? Ke Jakarta cuma buat makan soto Betawi? Kayak nggak ada kerjaan aja,” sindirnya tajam.
Samuel menelan ludah, mencoba bersikap tenang. “Iya, Mam, waktu itu Hanny lagi ngidam soto Betawi, dan dia maunya yang langsung dari Jakarta. Kami hanya sehari di sana karena nggak bisa meninggalkan anak-anak terlalu lama di Bandung. Maaf ya, Mam, jadi kami nggak sempat mampir dulu ke rumah mamique,” jelas Samuel dengan nada hati-hati.
Oma Queen mendengus. “Ah, alasan saja! Bilang saja si Hanny ini memang nggak mau mampir ke rumah mamique. Makanya kalian langsung balik ke Bandung!”
Hanny yang sejak tadi mencoba menahan diri, akhirnya bertanya. “Tapi… sebentar deh, Mamique. Dari mana Mamique tahu kalau kami waktu itu ke Jakarta?”
Oma Queen menyeringai, mengangkat dagunya sedikit. “Karena Mamique lihat kalian waktu itu. Mamique lagi di jalan, mau ketemu teman-teman arisan di mall. Pas Mamique lihat kalian, ya sudah, Mamique pikir kalian pasti mampir.”
"Lah, kalau Mamique lihat kita, kenapa nggak panggil?" tanya Samuel, bingung.
Wajah Oma Queen berubah masam. “Saya malas saja. Saya mau tunggu kalian di rumah saja, berpikir kalian akan mampir. Eh, taunya kalian malah langsung balik ke Bandung. Memangnya Mamique ini apa, sampai kalian nggak anggap sama sekali?”
Hanny menghela napas panjang, sudah mulai habis kesabarannya. Tapi ia mencoba menahan diri. “Maaf, Mamique. Waktu itu memang kami cuma sebentar di Jakarta, dan kami ke sana memang buat Hanny yang lagi ngidam. Kami nggak ada maksud untuk mengabaikan Mamique,” jelas Hanny dengan hati-hati.
Oma Queen masih memasang wajah tak puas, lalu tiba-tiba bicara dengan nada lebih rendah, namun penuh sindiran. “Anakku yang satu ini, Samuel… menikahi perempuan yang nggak punya tata krama sama sekali. Cuma satu hari, tapi nggak ada waktu sebentar saja buat mamiquenya.”
Hanny merasa semakin terpojok, dan Samuel pun mulai terlihat kesal. Namun, Samuel memutuskan untuk merangkul Hanny erat, mencoba menyampaikan pesan bahwa mereka akan tetap satu tim dalam menghadapi situasi ini.
“Mamique, kami ke sini untuk menikmati liburan bersama keluarga, bukan untuk meributkan masalah yang sudah lewat,” ucap Samuel dengan tegas. “Tapi kalau Mamique merasa kecewa, kami minta maaf. Lain kali, kami pastikan mampir ke rumah mamique.”
Oma Queen hanya mendengus pelan, seakan masih belum puas dengan jawaban itu. Tapi setidaknya, ia terdiam untuk sementara waktu. Hanny menatap Samuel dengan rasa syukur dan berbisik pelan, “Terima kasih, ya bang.”
Samuel hanya mengangguk, mencoba menenangkan istrinya dan menjaga suasana hati mereka tetap baik demi anak-anak.
Di rumahnya di Jakarta, Arlan sedang menonton liputan acara pernikahan Langit dan Mentari di televisi. Rasa bersalah dan penyesalan tersirat di wajahnya, sementara matanya terpaku pada layar.
“Mentari, gue tahu lo pasti pengen gue datang ke acara pernikahan lo ini,” gumamnya pelan, “tapi… gue takut kalau gue ke sana, Vira pasti bakal ikutan dan malah bikin kacau semuanya. Apalagi sekarang gue baru tahu… ternyata Vira yang bikin lo sama Langit kecelakaan waktu itu.”
Arlan menghela napas panjang, wajahnya dipenuhi kekecewaan. Ia membuka ponselnya dan mengetik pesan untuk Vira.
“Ra, lo kapan mau minta maaf ke Langit dan Mentari?” tulisnya. Namun belum sempat pesan itu terkirim, teleponnya berdering. Nama ibunya, Melati, muncul di layar.
“Ibu?” Arlan mengangkat telepon, suara ibunya langsung menyapanya dengan hangat.
“Assalamu’alaikum, halo Bu,” jawab Arlan lembut.
“Wa’alaikumsalam, jagoan Ibu. Ibu cuma mau kabarin kalau Ibu akan terbang ke Indonesia seminggu sebelum kamu menikah sama Vira, ya? Jadi Ibu bisa bantu persiapan di sini. Tanggal 20 Agustus kan, Nak?” jelas Melati dengan nada riang.
“Oh, jadi seminggu sebelumnya, ya, Bu? Iya, tanggal 20 Agustus, Bu. Aku senang Ibu bakal ada di sini,” ujar Arlan sambil tersenyum, meski hatinya terasa berat.
Setelah menutup telepon, Arlan duduk terdiam, menatap ponselnya. Rasa ragu menguasainya. Tanggal 20 Agustus, pernikahannya dengan Vira semakin dekat. Namun, semua yang ia tahu sekarang tentang Vira membuatnya gamang. Menghadapi kenyataan bahwa calon istrinya mungkin telah menyebabkan kecelakaan yang membahayakan sahabat kecilnya, Arlan merasa tersesat.
Tak tahan lagi, Arlan mengirimkan pesan lain kepada Vira, lebih tegas kali ini.
“Ra, kita perlu bicara. Ini penting. Aku nggak bisa tentang sebelum nikah sama kamu kalau masalah ini belum selesai.”
Ia menatap layar ponselnya, menunggu balasan dari Vira, berharap ada penjelasan atau pengakuan yang bisa membuat hatinya tenang. Namun, jauh di dalam hati, Arlan tahu bahwa ia harus mengambil keputusan besar, meski itu berarti menghancurkan rencana yang sudah mereka buat.
Bersambung..................
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Mentari : Takdir Cintaku
RomanceSetelah pernikahan resmi Langit dan Mentari di Bali, hubungan mereka semakin harmonis dan bahagia, terutama saat kelahiran anak kembar mereka, Angkasa dan Bintang. Namun, kebahagiaan itu terusik dengan kehadiran Oma Queen Hariando, yang tidak menyuk...