Sebelumnya pada pukul sekitar 03:30, salah satu kelompok sudah memantau kami dari jauh dengan obor ditangan mereka. Mataku lumayan terang dibanding kebanyakan orang, maka dari itu wajah dan kenampakan mereka bisa terlihat kentara olehku.
Lima orang diantara orang-orang itu sepertinya adalah petarung berpengalaman, kami dipastikan kalah jika langsung beradu kekuatan.
Jadi sebenarnya aku ingin memasang jebakan, tapi kurasa sudah tak perlu repot-repot melakukan yang demikian karena sesuatu terlihat di dekat mereka.
Tepat ketika aku kembali ke kemah, salah satu perempuan dari tim kami telah terbangun. Celina namanya, ia memakai perlengkapan serba kulit dan senjata berjenis tombak dua arah. Gadis ini berteman baik dengan dua laki-laki yang kurang menyukaiku.
"Habis kemana aja, Mari?" Aku lumayan terkesiap sebab tutur katanya lumayan lembut, padahal sebelum ini berdialog denganku saja dia enggan.
"Cuma jalan-jalan," jawabku ringkas. Seharusnya ia tak perlu bertanya karena dirinya sendiri tak tidur malam tadi.
Tak terlihat raut kebencian kali ini, pasti impresiku telah berubah. "Itu bahaya bodoh!" Balasnya.
"Iyadeh."
aku kemudian menyarankan supaya kami berjalan berdua saja agar lebih aman. Tanpa menunggu jawaban, kulangkahkan kembali kaki menuju arah berlawanan darinya.
Ritme cepat terdengar dari belakang. "Eh, tunggu! Punya telinga gak sih?"
Kami berjalan ke arah sungai, aku memimpin di depan sedangkan Celina menjaga belakang.
Cermin Imajiner
Aku terpaksa harus berjalan bersama gadis brengsek ini sebagai penjaga, langkahnya pelan sepelan siput, mirip sekali dengan orang tua.
Sepanjang malam, kuamati dirinya berjalan kesana-kemari secara diam-diam. Namun sangat tidak logis bagiku bahwa dia masih tetap tegap setelahnya.
Daun disekitar mulai berjatuhan saat kami berjalan, dan bunga juga semakin layu bersamaan dengan setiap langkah baru darinya. Aku berbaik sangka saja, mungkin spesies tumbuhan disini memang mudah mati.
Setelah beberapa waktu, Ia berbicara pelan sembari melangkah. "Cel, kamu gak tidur kan malam tadi? Mending tidur dulu sana, aku bisa sendiri kok," ucapnya tanpa menoleh sedikitpun. Agak terkejut rasanya, tapi tangkas kuubah kembali ekspresi menjadi datar lagi. "Tau dari mana?"
Ia berdiam saja tanpa membalasku, dan bergerak maju tanpa menoleh sedikitpun. Kami tidak berdialog sama sekali.
Tak tahu mengapa, tapi sekujur tubuhku tiba-tiba merinding. Awalnya aku tidak terlalu peduli, mungkin hanya efek dari suhu dingin pagi.
Namun semakin lama tubuh ini terasa semakin mual dan berat, nafasku perlahan menyesak seakan ditindih batu besar. Pandangan juga mulai merah bersamaan dengan kaki yang semakin kaku. Suasana benar-benar menjadi mengerikan dalam sekejap.
Namun gadis itu entah bagaimana masih berdiri kokoh, padahal tubuhnya tergolong kecil, roknya yang tebal juga pasti lumayan berat.
Dia akhirnya berhenti dan berpaling kepadaku. "Kita cuci muka di sini aja Cel," kata sang gadis tanpa ekspresi, mata coklat terang miliknya menatapku pekat, setidaknya sebelum pada rentang waktu yang hampir instan diubahnya ekspresi ke keadaan terkejut. "mukamu kenapa pucat begitu?"
"Gak apa-apa, cuma dingin aja," aku menjawab cuek. Mana mungkin kuberi tahu ia alasan yang bahkan tidak dirasakannya sama sekali.
"Oh yaudah, aku turun duluan ya," dibalasnya kata-kataku bersama senyuman manis.
Ini tidak bisa hanya sekedar kebetulan, semua bebanku hilang dalam sekejap setelah ia mengucapkan kata pertama dalam pembicaraan kami. Perempuan di depan benar-benar aneh.
***
Kami sedang di sungai sekarang, aku membasuh wajahku singkat sebelum naik kembali ke daratan tempat Celina menunggu. Dia berprilaku aneh sedari tadi, namun sekarang kondisinya sudah lebih baik, syukurlah.
"Kamu yakin nggak mau turun?" Tanyaku kepadanya, dia menggeleng singkat. Pasti ia masih mengantuk akibat tak tidur semalaman. Aku juga demikian.
Karena kehabisan tujuan, kamipun kembali menuju tenda tempat teman-teman berkemah. Perlu sekitar lima menit bagi kami untuk sampai.
Mereka telah bangun semuanya. Memang harus begitu sih, soalnya fajar sudah menyingsing.
sang pemimpin bernama Aaron langsung melayangkan pertanyaan ketika kami kembali. "Habis dari mana kalian berdua?"
Celina terlihat masuk ke dalam tenda perempuan tanpa mempedulikan semua orang, dia sepertinya masih merasa mual.
Alhasil akulah yang menjawab pertanyaan ketua. "Sungai," ah ini terlalu singkat, bisa-bisa aku dicap sombong nantinya. "Kami cuma jalan-jalan tadi," tambahku.
Seluruh pandangan tiba-tiba terarah pada diriku, ketua bertanya lagi. "Kenapa jauh-jauh? Di sini kan ada, tuh," ditunjuknya sungai berjarak 30 meter dari kami.
Uh, aku jujur tak tahu cara membalas yang satu ini, jadi kudiamkan saja mereka seperti biasa. Untunglah mereka tak terlalu peduli.
Kami kembali mengerjakan tugas masing-masing, situasi tenang berlangsung sampai sekitar jam 9 pagi. Pada saat itulah diriku melihat gerak-gerik dari kejauhan, jadi tanpa pikir panjang aku beranjak dari dudukku dan pergi ke suatu tempat, tak lupa mengajak Tira yang kemudian bertanya singkat. "Mau kemana lagi Ri?"
"Barang bawaanku ketinggalan di sungai."
"Perasaan kamu gak ba-" kutarik tangannya sebelum kalimat itu tersusun penuh. "Udah, ikut aja"
Sebenarnya aku malas berjalan lagi, bohong kalau tidak lelah, nyatanya mungkin diri ini bisa pingsan kalau tak terpaksa.
Langkah kupercepat supaya semakin aman, akhirnya kami mencapai tempat tujuan setelah beberapa menit.
"Nggak ada apa-apa di sini Ri, paling udah diambil orang barangmu. Balik aja yuk, gawat kalau ada yang liat kita berdua."
"Tir ... aku mau ngasih tau sesuatu ke kamu, tapi jangan marah ya?"
Gadis ini jelas tidak tahu maksudku. jadi langsung aku beri tahu saja, tapi rautnya seketika berubah saat aku mulai berbicara.
Ia sudah jelas marah, sampai-sampai dilayangkannya satu tamparan kepadaku, namun jangan kira aku cuma berdiam diri. Kucoba menjelaskan situasinya kepada dia. "Ini demi kebaikan kita Tir."
"Tapi nggak gini juga caranya!"
Tira sangat tak terkendali, jadi kuarahkan busur x kecil kepadanya. Ia sontak menunduk sambil menutupi wajah.
Hampir saja aku tertawa, jadi kubungkam cepat-cepat mulut ini supaya tak tercoreng moralku.
Dia akhirnya tenang setelah beberapa waktu, kami berdiam sekitar 30 menit, dan kembali ke tempat kemah setelahnya.
Prediksiku berhasil, kedua tim ku dan penyerang jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Tak kusangka akan semudah ini.
Sebenarnya rencanaku sangat simpel, subuh tadi adalah jam 04:30± ketika aku dan Celina pergi ke sungai, pada saat itu kutabur sedikit bumbu di dalam busur x ke dalam air. efek obatnya kira kira bekerja setelah 3 jam.
Sungai ini mengalir ke perkemahan kelompok yang kuamati pada malam sebelumnya. Maka saat mereka meminum air dari sungai sekitar jam 05:00-06:00 pagi, yaitu waktu mereka bangun, orang-orang kurang beruntung itu akan terkena racun tanpa sadar.
Dan di sinilah mereka sekarang, terbaring tidur tanpa perlawanan sedikitpun.
Cermin Imajiner
1024 kata
YOU ARE READING
Cermin Imajiner
Teen FictionMari mendapati dirinya terbaring di hamparan hijau tak terbatas dengan kenampakan atasnya dicat dengan warna jingga-kemerahan. setiap tindakan kecil sang gadis akan merubah persepsi terhadap kenampakan dunia dan emosinya sendiri. Namun, tak sampai d...