Epilogue: She Ain't Soraya March
Sembilan tahun adalah masa di mana seorang bocah tengah senang bermain. Itu pun berlaku pada seorang bocah bernama Beladonna, Mann Nohara , dan Soraya March. Sudah hampir sebulan mereka bermain bersama setelah kepindahan Donna kemari. Dua bocah panti itu acapkali mengajaknya bermain.
Pun, sesekali Donna diajak bermain di panti dan bertemu banyak orang baru. "Kenapa? Kalau salah 'kan harus dihukum," ujar Soraya sembari menuntun bonekanya.
"Ini 'kan cuma permainan, Kak. Kita bisa nggak melakukan itu," sahut Nohara.
Donna turut mengangguk, "Ayolah, Ray. Kita bisa lakuin apa aja di sini."
Soraya pun hanya bisa terdiam sembari menatap boneka yang mereka pegang. Dirematnya boneka kelinci kumal yang dipegangnya, otak berlian dalam kepalanya pun bekerja. Tak lama dari itu, ibu Donna datang menghampiri mereka, "Ibu pulang bawa apa?"
"Ini, Ibu belikan monopoli dan kue. Tapi kuenya hanya ada dua," ujarnya menggunakan tangannya.
Nohara pun berbisik, "Ibu kamu bilang apa?"
"Ibu membelikan kita monopoli dan kue, tapi kuenya cuma ada dua," balasnya. Mereka sibuk mengobrol sedang bocah berboneka kelinci itu hanya memperhatikan papan permainan berwarna itu, "ini."
Soraya diberi satu kue utuh sedang Nohara dan Donna harus berbagi. Aku juga mau berbagi. "Ayo kita main!" seru si pemilik.
Mereka sangat fokus dan berlomba-lomba untuk menjadi pemenang. Rupanya Donna sangat lihai mengatur strategi dan menggerakkan pionnya ke sana kemari. Ia mendapatkan banyak uang dari negara yang dibelinya. "Gimana caranya?" tanya Soraya.
"Kita harus memonopoli semuanya, Soraya. Aku punya sedikit uang, aku gunakan itu untuk membeli sesuatu yang bisa menghasilkan lebih banyak uang," jelasnya.
Nohara ikut menimbrung, "Kalau punya uang, kita bisa melakukan apa saja?"
Yang ditanya pun mengangguk, "Ah, andai aku punya banyak uang, semuanya pasti bisa berjalan sesuai keinginan aku. Menurut kamu gimana, Soraya?"
"Aku suka permainan ini."
***
Hari demi hari berlalu, mereka bertiga jadi lebih sering bermain dan entah mengapa Soraya merasa bahwa dirinya disisihkan. Mulai dari makanan, hadiah, dan bahkan permainan. Donna dan Nohara seringkali memenangkan permain namun Soraya belum pernah sekali pun menjadi seorang pemenang.
"Nggak apa-apa, Soraya. Kamu pasti bakal menang."
"Iya, Kak. Ayo main lagi."
"Nggak mau."
Pergilah ia dari sana. Ia kepalang cemburu dan sakit hati atas apa yang terjadi barusan. Pun, ia kesal pada dirinya sendiri sebab tak bisa memenangkan permainan konyol itu. Di dalam kamar, bocah itu menangis sembari memukuli bantal. "Kenapa sih aku nggak bisa menang?" tanyaynya dengan suara yang bergetar.
"ITU 'KAN CUMA PERMAINAN!" teriaknya di dalam bantal yang membungkamnya. Merasa lebih baik, ia pun mengatur napasnya perlahan, "kalau nggak ada Nohara, pasti aku menang."
"KENAPA HARUS ADA NOHARA?!" Soraya kembali berteriak seraya melompat-lompat di atas kasurnya, "aku yang kenal Donna duluan!"
Di luar, ada Sano yang menggedor pintu kamar itu, "Kamu ada di dalam? Kata madam, kamu nggak boleh teriak-teriak." Meski tak terdengar jelas apa yang ia rancaukan, namun semua orang tahu bahwa bising itu berasal dari kamarnya.
"Pergi kamu!"
Soraya tinggal di satu kamar yang ukurannya jauh lebih besar dari kamar lainnya. Di kasurnya pun terdapat beberapa rantai di setiap sudutnya. Begitu juga dengan kursi yang berdiri di dekat jendela itu. Ia juga ingin mempunyai teman sekamar. Jarang betul dirinya keluar dari kamarnya sebab aturan yang dibuat pemimpin panti. Ini nggak adil. Bertemunya ia dengan Donna pun sebab puan itu yang menyapanya lewat jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE: Turning of The World✔️
AcciónMemang senang bisa menggenggam banyak butiran permen dalam satu genggaman tangan. Seusai itu pun bakal menginginkan lebih dari segenggam permen. Lagi. Dan lagi. Pada akhirnya tapak tangan itu tak lagi punyai kuasa sebab jumlah pernah yang terlalu ba...