Rebah, menikmati semilir angin yang mengelus halus wajahnya. Cahaya matahari yang kian meredup, menghilang di bawah garis cakrawala, berganti peran dengan sang rembulan. Di atas bukit belakang sekolah, Arthur dan ketenangannya.
Pikirannya berkelana pada pemuda dengan senyuman manis tanpa cacat cela. Senyumnya mengembang diikuti matanya yang kini memancarkan kekaguman.
Satu tahun dalam mengagumi membuat Arthur mengenal baik kebiasaan pemuda tersebut.
Melirik ke arah arloji yang menunjukkan pukul 19.00, Arthur memutuskan untuk beranjak, menuruni bukit yang tak pernah ada pengunjung lain selain dirinya.
Kini pemuda itu berada di depannya, sesuai perkiraannya, tengah berjalan menuju tempat yang disebut 'rumah' yang tak begitu jauh dari sekolah. Arthur benar-benar mengenal baik hingga jadwal pemuda itu.
Arthur berjalan pelan dengan jarak yang cukup, tak ingin pemuda di depannya merasakan kehadirannya. Begini sudah cukup, mengagumi dari titik ini sudah cukup.
Ketika pemuda tersebut berbelok ke arah rumahnya, maka Arthur pun berbelok pula. Membuka pagar secara bersamaan dan masuk ke rumah mereka masing-masing yang hanya berjarak dua rumah.
______________________________________
Arafat, dengan peluh yang membasahi tubuhnya, berjalan menuju ruang ganti setelah bermain basket bersama teman-temannya. Merupakan kegiatan rutin yang harus ia lakukan sebagai kewajibannya menjadi ketua.Ketua dari klub basket, jabatan yang membuat ia disukai dan disegani secara bersamaan. Semua pasang mata menatap dirinya memuja, seluruh atensi jatuh pada dirinya. Tapi bukan itu yang ia cari.
"Balik duluan." Arafat melambai pada temannya. Memasang earphone dan berjalan keluar area sekolah. Langkah kakinya ia ayun dengan pelan sambil menikmati lagu yang tengah memutar.
Cerita kita takkan
seperti di layar-layar
kaca~
Gemas, romantis, tak
masuk logika~Senyumnya mengembang tipis, pikirannya melayang, menciptakan adegan-adegan yang ia harapkan akan terjadi bersama cinta yang tengah ia gantungkan pada manusia yang ia kagumi.
Langkahnya sampai pada tujuannya, membuka pagar yang menjadi pembatas antara rumahnya dan jalanan umum. Ia masuk, setelah melirik pada pemuda yang selalu mengikuti dirinya pulang.
Arafat bukan pemuda berhati dingin yang tak tersentuh. Ia hanya irit bicara dengan senyum manis yang mengganti peran suara. Ia juga seperti orang lain, memiliki hati yang ingin di gapai.
Sengaja untuk selalu bermain hingga malam dan selesai pada waktu yang sama. Sengaja memelankan ayunan kakinya pada setiap langkah yang ia bawa menuju rumah. Untuk pulang bersama pemuda yang menjadi tempat ia menyandarkan kagum. Untuk menghabiskan waktu bersama tanpa kata.
Dipercayakan menjadi ketua adalah bonus bagi dirinya, tapi yang utama adalah melihat pemuda manis yang selalu ada untuk mendukungnya di tengah-tengah tribun.