V

119 36 14
                                    

"Ven, gua udah bawa permennya." Arafat mengeluarkan dan menunjukkan sekantung plastik berisi permen manis.

"Mantep, Raf. Bagus persiapan lu. Menurut yang gua baca kemaren, nanti yang lu taro ke mejanya cuman bungkusnya ya jangan sama isinya."

Arafat mengangguk, mantap dengan rencana yang akan ia lakukan.

Melangkah kakinya dengan pasti menuju kelas, percaya diri dengan mitos yang akan ia terapkan pada pujaannya.

Waktu bergulir, menunjukkan saatnya pergantian jam pelajaran. Sambil menunggu guru yang akan mengajar, Rendy dan Venko berputar menghadap Arafat, bersenda gurau membunuh waktu kosong yang ada.

Sambil mengobrol Arafat teringat akan permen-permennya. Segera ia keluarkan hendak memakannya. Arafat membuka bungkusnya, memakan isinya dan dengan santai meletakkan bungkusnya pada meja Arthur seolah-olah meletakkannya pada tempat sampah.

Venko dan Rendy menganga, tak menyangka Arafat akan meletakkannya di depan mata Arthur. Arthur yang tengah membaca buku refleks melirik sinis. Ia bahkan tak ditawari dan pemuda disebelahnya meletakkan sampah di mejanya? Yang benar saja?!

1 bungkus, Arthur masih menahan. Mungkin hanya salah peletakkan. Namun matanya menatap tajam ketika bungkus-bungkus lain menghampiri mejanya.

"Mau ga Ren? Ven? Nih ambil aja." Rendy dan Venko mengambilnya masih dengan tatapan heran, heran dimana Arafat meninggalkan otak kecilnya itu.

Arafat langsung merebut bungkus permen yang sudah kosong dari tangan Rendy dan Venko, meletakkannya tanpa rasa bersalah di atas meja Arthur. Bahkan kini wajahnya dihiasi senyum seakan-akan rencananya berbuah manis.

Geram, Arthur mengambil bungkus-bungkus permen yang sudah berserakkan di atas mejanya dan melemparnya tepat pada wajah Arafat.

"Maksud lo apa anjing? Nawarin kagak tapi berani naro sampahnya di meja gua?" Persetan dengan rasa sukanya, Arthur tak membiarkan perasaannya membuat dirinya lemah.

Arafat membeku, bukankah ia sudah melakukan sesuai instruksi dari Venko? Matanya melirik ke arah Venko yang kini menepuk jidatnya, lelah dengan kebodohan Arafat.

Rendy yang sempat terkejut segera mengendalikan dirinya. Beranjak ke arah Arafat dan mengumpulkan sampah permen yang berserakkan, menggenggamnya pada kepalan tangan kirinya. Tangan kanannya terangkat menyentuh bahu Arthur.

"Thur, sorry. Arafat pasti ga maksud gitu. Dia emang goblok aja tapi dia ga ada maksud apa-apa kok. Liat aja tuh muka dongonya yang lagi shock."

Arthur mendengus, mengangguk pada Rendy dan kembali membaca bukunya, tak ingin lanjut marah akan kebodohan Arafat.

Arafat masih membeku, sungguh ia tak menyangka akan menerima semprotan dari Arthur. Kesadarannya kembali ketika guru yang mengajar masuk.

"Araf kontol, yang bener aja anjing. Masa lu taro sampahnya di depan muka dia?" Venko memukul kepala Arafat, biar sadar pikirnya. Sebenarnya ingin sekali ia melemparkan bola basket yang kini terapit diantara lengan dan badannya, tapi kasihan sudah bodoh nanti makin bodoh.

"Biar dia tau Ven kalo itu dari gua." Rendy menyerah, langkahnya ia percepat menuju tribun, malas mendengar kebodohan Arafat lebih lanjut.

"Pokoknya nanti lu minta maaf sama Arthur, ga usah pake cara dari internet. Langsung aja lu minta maaf menurut pikiran lu. Pinter tapi tolol, bingung gua." Venko berjalan cepat menuju lapangan sambil merangkul leher Arafat agar latihan mereka dimulai dengan cepat.

19.02, Arafat sengaja sedikit lebih telat keluar dari ruang ganti. Matanya menemukan Arthur yang tengah menengok ke kanan kiri yang Arafat asumsikan tengah mencari dirinya.

Berlagak tak tahu, Arafat berjalan melewati Arthur dengan earphone tanpa lagu pada telinganya. Senyum tipis terukir ketika langkah kaki Arthur yang mengikutinya ia rasakan.

Kakinya berhenti tepat di depan rumah Arthur. Membalikkan badannya dan menemukan wajah datar Arthur.

"Thur." Arafat mengayunkan tangannya tanda ingin Arthut mendekat. Alisnya terangkat, langkahnya mendekat, heran tapi tetap ia lakukan.

"Sorry yang tadi siang, gua ga maksud." Tangannya terangkat menepuk-nepuk pelan kepala Arthur. "Masuk. Malem, dingin." Arafat berbalik menuju rumahnya. Sampai di dalam, dengan cepat ia berlari ke arah kamar dan menyembunyikan wajahnya di balik bantal.

"Bangsaaaat, tangan tolol ga sopan nyentuh kepala orang sembarangan. Tapi halus banget anjir ga ngotakkk." Kepalanya ia angkat mengais udara sebanyak mungkin, napasnya terengah-engah.

"Minta maaf apa pula anjing kayak gitu. Sok keren banget tai." Arafat hendak mengusak rambutnya kasar namun ia hentikan beralih mencium telapak tangannya.

"Ga nempel sih wanginya tapi bekas kena si cantik." Tersenyum-senyum menatap telapak tangannya. "Gua cium sekalian aja anjing harusnya." Dilanjutkan dengan tawa salah tingkahnya.

Meninggalkan Arthur yang wajahnya memerah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang